Mendekati hari-hari terakhir di Makkah, kami berdua lebih banyak mengisinya dengan itikaf di masjid. Semakin hari semakin berat meninggalkan kota yang dalam denyut kesehariannya sudah akrab mengisi hari-hari kami selama sebulan bermukim di negeri ini.
Seperti biasa setiap kami ke masjid kami akan mengusahakan untuk melakukan thawaf sunat. Aku kembali membuka buku doa dan membaca doa untuk setiap putaran thawaf, usa’i membaca doanya aku juga membaca artinya. Duhai bahasa yang indah itu menusuk relung hati, betapa kita manusia tak memiliki daya apa-apa dihadapan sang pencipta, hanyalah kesombongan yang senantiasa terpelihara. Maka disinilah manusia membasuh diri, memohon ampunan dari yang kuasa atas dosa-dosa yang pernah dibuatnya. Maka dalam linangan air mata, kami menyatukan pikiran menghadap sang khalik, larut dalam sebuah pertobatan.
Setiap thawaf, posisiku selalu di depan suami. Kedua tangan suami melindungi kedua bahuku dan mengarahkan langkahku yang sering menepi menjauhi Ka’bah ketika manusia mulai saling mendorong. Pada thawaf yang ke tiga suamiku mulai merasakan ada seseorang tinggi besar dari belakang memegang bahunya. Dari cengkeraman tangannya, diperkirakan orang tersebut tinggi besar. Ketika kain ihram turun ke lengan, maka dengan serta merta orang tersebut kembali merapikannya di bahu. Yang jelas terngiang adalah ucapannya di telinga kami yang seolah menuntun kami untuk senantiasa mengucapkan “Subhanallah…Walhammadullilah, Wallailahaillah…Wallahu akbar…” demikian diulang-ulangnya ditelinga, sehingga jernihnya suara itu masih terdengar. Rasa penasaran kerap membuat suamiku selalu ingin menengoknya, namun tangan itu selalu memegang bahu sehingga pandangan kami tetap mengarah ke depan, tanpa dapat menoleh sedikitpun ke belakang. Hal tersebut diakui suami terjadi berulang-ulang pada setiap thawaf.
Pada suatu thawaf kembali sang pemandu memegang bahu suamiku. Maka didorong rasa penasaran, aku yang tidak bersentuhan langsung diminta suami menengok untuk mengetahui siapa yang seringkali ‘menuntun dan menjaga’ pada setiap thawaf. Dengan serta merta aku bergeser ke samping suami dan menolehkan pandangan. Tak jelas wajah yang kulihat. Sekilas terakam wajah yang memiliki jambang dan janggut. Laki-laki tua itu melepaskan tangannya dibahu suamiku, sekilas menoleh, entah tersenyum entah tidak karena memang lupa, tapi seakan menyiratkan kata perpisahan. Selanjutnya tak ditemui laki laki-laki tua. Sampai sekarang kami selalu mengingat dengan baik bisikannya yang menuntun kami melafazkan al Qur’an.
Doa yang mengalir sederas air mata yang turun tanpa henti. Kulihat suamikupun bersimbah air mata. Inilah saat terberat yang harus kami lalui, meninggalkan kenikmatan dunia, berdoa di tanah Harram yang dimuliakan”.
Minggu, 24 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar