Usai thahalul awal kami bergegas menuju maktab. Di jalan kami melihat hati daging unta yang dijemur. Konon dendeng hati unta ini bermanfaat untuk menyembuhkan asma. Pastinya sebentar lagi akan banyak ‘pedagang asong” yang menawarkannya ke kami di sepanjang jalan menuju harram atau menyatroni ke maktab.
Sejak hari ini kami sudah boleh lepas ihram. Sesampai di maktab, ternyata banyak jamaah yang memilih thahalul dengan cara membotaki kepala. Usai makan siang suamiku menghilang ½ jam, datang kembali dalam keadaan kepala plontos. Aku tertawa terpingkal-pingkal, karena seumur menikah baru kali ini menyaksikannya tanpa rambut. Sementara dagunya yang tidak tersentuh shaver dibiarkan berjanggut. ”Kapan lagi begini...”, begitu alasannya.
Usai Magrib kami siap-siap ke Mina untuk mabit dan melempar jumroh pada hari tasyrik. Kali ini suami istri sudah boleh duduk berdampingan. Bercermin pada pengalaman ”kelaparan” di Arafah dan Muzdhalifah beberapa perlengkapan dan makanan dibawa serta, termasuk ember dan selimut. Beres menyimpan semua perlengkapan di tenda, kembali naik bis menuju Mina. Untuk melempar Jumroh di malam hari membuat badan sedikit nyaman dan terhindar dari panas matahari.
Usai melempar seluruh rombongan menepi ke tiang-tiang di yang melingkari ketiga sumur tersebut. Di bawah tiang kami memilih duduk dengan alas seadanya. Beberapa orang berwajah Indonesia (sepertinya mereka adalah TKI yang libur) bergerombol, rupanya sedang mabit juga. Pak Kia memerintah berpencar di dua dinding agar tidak menarik perhatian askar. Benar saja, dua askar muda mulai mengusik kenyamanan kami. Setengah berteriak mereka menghalau untuk pindah. Kami hanya tertawa saja. Daripada sebagai polisi, mereka lebih mirip pelajar yang diperbantukan. Kau di Indonesia mungkin seperti anggota Palang Merah Remaja atau Pramuka.
Gerah diusir terus kamipun beranjak pergi, atau lebih tepat mengajak mereka kucing-kucingan. Kami beberapa kali diingingatkan untuk tidak keluar dari batas dinding karena daerah tersebut sudah di luar batas Mina. Inilah upaya maksimal untuk menjaga agar mabit ini sempurna dalam tempat dan waktu yang diharuskan. Melihat kami ’bandel” akhirnya askar muda itu menyerah dan beringsut pergi meninggalkan dan membiarkan kami duduk tenang.
Jam 2 dini hari, seluruh rombongan keluar dari dari tempat mabit dan berpindah ke masjid Khaif. Masjid ini terletak di kaki gunung sebelah selatan Mina, dekat dengan al jumrah al sughra (jumrah kecil). Dan Nabi sebagaimana Nabi lainnya pernah shalat di masjid ini.
Masjid khaif terletak di ruang terbuka, sehingga udara dingin menyergap tubuh. Suamiku memilih masuk ke dalam masjid, sementara aku diminta berkumpul dengan saudaraku di pelataran masjid. Di belakang masjid Al Khaif terdapat Gua Mursalat (Ghar Mursalat) tempat dimana turunnya surat al Mursalat. Sayangnya kami tidak sempat mendatangi tempat tersebut.
Balutan phasmina dan masker penutup mulut tidak mampu melawan angin dingin yang kering. Untuk melawannya, aku memilih tidur dengan badan ditekuk setengah lingkaran. Kedua lutut menyentuh perut, lumayan agak hangat. Menjelang shalat subuh semuanya kembali ke tenda.
Tersiar kabar ada jamaah satu kloter yang meninggal namun berbeda KBIH. Tendanya persis bersebelahan dengan tenda kami. Mungkin usia yang sudah tua membuat Bapak tersebut kelelahan secara fisik. Aku teringat anak-anak, bagaimana rasanya mereka melepas orang tuanya secara utuh, namun yang kembali hanya 1 orang.
Kami semua ikut menangis takala mengucapkan bela sungkawa terhadap istrinya yang termangu menatap jenazah suaminya. Secara spontan bersama-sama membaca surah Yasiin dan mendoakan almarhum.
Pemimpin KBIH tersebut ternyata ”murid”nya pak Kiai sehingga semuanya dilakukan sesuai petunjuk Pak Kiai. Mulai dari memandikan, mengkapani dan menshalatkannya. Selanjutnya pemakaman mayat tersebut diurus oleh jamaah pria.
Alhamdullilah...kiriman makanan di Mina lancar sehingga tidak perlu memasak sendiri. Tragedi 2 hari telah menjadi sorotan dunia. Dari obrolan dengan Saudaraku yang orang ”pemerintah”, terbetik kabar Menteri Agama dan DPR datang ke Arab untuk membahas persoalan yang terjadi. Entah karena hasil pembicaraan atau kebijaksanaan pemerintah lokal yang tidak mau lagi kehilangan muka di hadapan dunia, supplai makanan berlansung lancar dan tepat waktu. Cukup baik dalam jumlah maupun komposisi gizi.
Untuk sekedar mencari menu yang lebih variatif, kami lebih sering jajan makanan di sepanjang perkemahan. Biasanya usai shalat subuh berdua suami kami jalan-jalan ”window shoping”, sekedar mencari barang-barang kebutuhan sehari-hari. Nasi gorang ala Arab dapat dijumpai di pinggir-pingir jalan dengan mengeluarkan uang sebanyak 8 riyal. Memang agak mahal dibandingkan harga di Makkah. Tapi melihat posri yang diberikan, rasanya harga itu cukup pantas untuk setumpuk nasi dan ½ ekor ayam gorengnya.
Adakalanya kami berjalan-jalan tanpa didahului mandi pagi, namun berbekal perlengkapan mandi. Setiap melihat tempat pemandian yang kosong disitulah kami membersihkan badan. Entah mengapa, di tempat pemandian yang berdekatan dengan tenda kami selalu penuh dan berebut. Penuhnya tidak saja oleh jamaah melainkan juga pendagang-pedagang kaki lima berkulit hitam yang menumpang ke kamar kecil. Kebiasaan ini juga kami lakukan tidak sengaja. Saat memutari areal seputar tenda, kebutuhan ke kamar mandi begitu mendesak. Untuk lari ke toilet dekat tenda kami rasanya sudah tidak mungkin. Melihat ada pintu gerbang di kloter 22 kami berbelok menuju toilet. Kebetulan sedang kosong sehingga bisa membuang hajat dengan senang. Saat kami keluar jamaah yang antri hanya mengangguk kecil. Dari situlah kami yakin bahwa toilet ini bebas untuk setiap jemaah haji. Dan sejak itu kami tidak tergantung dengan satu toilet.
Ada kejadian yang tak terlupakan, saat mengantri di maktab 23 seseorang menatapku. Rasanya wajah itu aku kenal dengan baik. Tapi siapa ya...Aku memutar otak agar benar-benar ingat siapa wajah yang siap tersenyum itu. Ya...aku ingat.
”Erni ya....?”, tanyanya mendahuluiku.
”Iya...Erna ya”, balas saya.
Setelah sama-sama mengangguk kami saling memeluk. Ternyata, teman kuliahku di Unpad Bandung. Dipikir-pikir 15 tahun tidak berjumpa dan dipertemukan di tempat yang sama sekali tidak diperkirakan. Sayangnya aku sampai diantrian terdepan, setelah bertukar alamat kamipun berpisah. Ternyata Erna masih seberani dulu, layaknya seorang anggota Palawa (Kelompok Pencinta Alam Unpad), ibadah hajinyapun berani pergi sendiri tanpa ditemani Yuri suaminya. Sedangkan aku, rasanya entah kemana kemandirian itu menguap, sejak menikah menjadi penakut dan sangat tergantung. Apapun dan kemanapun harus beserta suami.
Dalam setiap kesempatan aku melakukan dalam lindungan suamiku. Termasuk ketika harus melempar Al Jumrat Al Sughra (jumrah kecil/pertama), Al Jumrat Al Wutsa (jumrah pertengahan/kedua) dan Al Jumrat Al Aqobah (Jumrah aqobah).
Melempar jumroh selain perlu fisik yang kuat, juga perlu memperhatikan tata caranya agar tetap. Jumrah ini terkandung makna kemarahan dan penghinaan manusia kepada syaitan yang senantiasa menggoda keimanan kita. Biasanya untuk menyempurnakannya, kami berdua melempar batu pada tengah tiang-tiang. Tiang yang terdapat dalam setiap sumur merupakan tempat menandai munculnya syaitan yang kemudian dilempar kerikil oleh nabi Ibrahim. Dahulunya tempat tersebut menempel pada dinding bukit kecil yang tingginya hanya 100 meter. Adapun maksud pemerintah membuat bundaran seperti sumur untuk memperluas area lemparan agar tidak padat dan rapat dan berdesak-desakan di depan tiang. Sekarang tempat lempar jumrah dibangun bertingkat-tingkat. Terakhir, aku melihatnya 3 tingkat dari 5 tingkat yang direncanakan.
Saat hari ke 13 untuk melakukan lemparan terakhir, kami sudah berangkat dari tenda 1 jam sebelum shalat dzuhur. Waktu yang paling afdol dimulai setelah shalat Dzuhur. Kami sengaja melangkahkan kaki dengan perlahan. Beberapa kali menghentikan barisan. Matahari yang menyengat, membakar kepala. Beberapa jamaah yang sudah berumur jatuh pingsan. Jarak kami dengan pelemparan hanya tinggal 700 meter ketika adzan dzuhur terdengar. Serentak, jutaan manusia bergerak dari berbagai arah menuju satu titik. Beruntung kemanan sigap mengatur suasana. Buka tutur pagar diberlakukan untuk memberi ruang bagi jamaah yang ingin melakukan lempar jumrah.
Pak Kiai berpesan agar lemparan dilakukan di lantai dasar. Maka kami bergerak dalam antrian di sebelah kiri. Beberapa rombongan lebih memilih jalan fly over untuk melempar dari lantai atas.
Alhamdullilah Allah memberikan perlindungan. Kami melakukan lemparan dengan aman dan tumaninah. Bergerombol kami menepi kemudian saling memeluk dan kembali menangis terisak sebagai tumpahan kelegaan. Setelah itu kami kembali ke kemah dan membereskan semua perlengkapan untuk kembali ke Makkah.
Minggu, 24 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar