Minggu, 24 Oktober 2010

haji 2006 - Indahnya Persahabatan....

Dari teori komunikasi yang diperoleh dari bangku kuliah, bahwa komunikasi berlangsung tune in karena terjadi terjadi kesamaan dalam pemaknaan. Rasanya hal itu tidak berlaku dalam komunitas jemaah haji. Mau bahasa apapun yang digunakan, kebiasaan apapun yang dibawa, tetap saja dapat tumbuh saling pengertian. Apakah karena bahasa tubuh, isyarat, dll ? bisa ya, bisa juga tidak.
Senyum cerminan keramahtamahan, mata melotot ekspresi dari kemarahan merupakan isyarat universal yang diterima oleh bangsa manapun.. Tapi jangan salah, ada bahasa tubuh yang tidak matching.

Beberapa kali aku memergoki ibu-ibu jamaah Indonesia yang marah-marah kepalanya ditepuk-tepuk jamaah dari bangsa yang melewati shaftnya. Tak pelak, mungkin merasa ‘dilancangi” ibu tampak agak sedikit sewot. Padahal mereka menepuknya dengan mengumbar senyum. Dalam teori Komunikasi Antar Budaya untuk beberapa Negara menepuk-nepuk kepala orang merupakan cerminan keakraban, padahal untuk orang Indonesia adalah hal yang ditabukan karena dianggap kurang ajar. Merasa menjadi alumnus komunikasi, aku mencoba memberikan pengertian ke ibu yang ngomel-ngomel bahwa mereka tidak bermaksud kurang ajar, namun dengan cara itulah menunjukkan keakrabannya. Akhirnya beliau dapat memahaminya.

Dari sekian banyak bangsa yang berbaur, aku senantiasa terkesan dengan jamaah dari Turki. Kendati rata-rata umurnya sudah lebih dari 60 tahun, mereka tampak segar dan bersemangat.

Satu senja, saat bermaksud shalat Maghrib di masjid Harram. Masuk shaft perempuan, kuselipkan badan di tengah rombongan jamaah Syria. Usai shalat dan berdoa, aku menselonjorkan kaki bermaksud istirahat sambil menunggu shalat isya. Tiba-tiba seorang ibu tua mengusap-usap tanganku yang mengenakan manset renda-renda. Rupanya beliau tertarik dengan manset yang kukenakan. Dengan isyarat tangannya beliau tampaknya memuji manset tersebut. Akhirnya manset putih dengan hiasan renda tersebut kucopot dan ku sodorkan. Aku dekapkan manset tersebut ke dada, kemudian kuberikan ke tangannya.
“Hadiah?” tanyanya dengan mata berbinar.
“Ya..” aku mengangguk pendek mengiyakan.

Dengan serta merta diraihnya manset tersebut, didekapnya ke dada dengan perasaan senang, matanya berbinar-binar, mulutnya nyerocos mengucap bahasa yang tidak kupahami kecuali kata-kata hadiah. Aku yang memberikannya benar-benar merasakan kebahagiaan tersebut. Tak cukup sampai disitu, ibu tua itu memamerkan ke teman-teman serombongannya. Sejak saat itu, aku ”bersahabat” dengan beliau. Selalu disediakan satu tempat untuk aku shalat di tempat yang sama, bila datang belakangan. Tukar menukar makananpun kerap terjadi. Beliau paling suka permen Indonesia, begitu juga aku yang antusias menerima manisan yang dibawanya. Pada malam terakhir di Makkah, shalat subuh kami kembali berjanji untuk saling bertemu. Aku membawakannya sebuah baju daster batik yang memang dibawa untuk hadiah. Aku kembali tidak memahami apa yang diucapkannya. Aku kira beliau pun melakukan apa yang kulakukan, berterima kasih karena Allah sudah mempertemukan kembali dan barangkali seumur hiduppun kecil tak bertemu lagi. Tentu juga saling mendokan agar kami sampai di tanah air dengan selamat. Saat berpisah aku memeluknya dengan hangat. Berulang kali beliau mencium pipiku.

Pada saat berikutnya, aku kembali terkesan dengan seorang ibu dari Turki. Seusai shalat ashar aku masih duduk berdoa, tiba-tiba seorang ibu tua menangis tersedu-sedu. Tak tega melihatnya, kuusap punggungnya dan kupijat kakinya yang agak bengkak. Pasti terasa lelah melewati prosesi haji untuk orang setua beliau. Ternyata tangisnya makin jadi, kendati suaranya tertahan lirih, air mata makin bercucuran. Dari temannya aku menangkap pesan yang tidak begitu jelas, namun kira-kira suami ibu itu sudah meninggal dan ibu itu sedang ingat suaminya. Akupun mencoba memeluknya dan menyodorkan beberapa makanan kecil yang senantiasa kubekal di tas kecil. Beliaupun menghentikan tangisnya dan mencoba makanan kecil yang kuberikan. Kemudian ibu tersebut berbincang-berbincang disertai segukan-segukan sisa tangisnya sambil sesekali menunjuk-nunjuk ka arahku. Menanggapinya, aku hanya tersenyum karena memang tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Ibu yang menangis tadi, tiba-tiba membuka sepatu rajutnya dan menyodorkan kepadaku. Aku cuma bisa membelalakan mata, sama sekali tidak menduga. Ibu tersebut meraih tanganku dan memindahkan sepatu rajut ditangannya ke telapak tanganku. Alhamdullilah....aku memperoleh hadiah sepatu rajut yang banyak dipakai ibu-ibu dari Turki. Sudah lama aku memperhatikan sepatu rajut tersebut dan bolak-balik mencarinya di toko-toko yang berderet sepanjang maktab sampai ke masjid Harram dan tidak berhasil menemukannya. Hari itu aku memperolehnya secara cuma-cuma. Sepatu tersebut mirip sepatu bayi, dibuat dari kain wol, dirajut dengan tangan. Yang membuatnya menarik adalah paduan warnanya. Walaupun senang, aku mencoba dengan bahasa isyarat berusaha meyakinkannya bahwa beliau pasti lebih membutuhkannya untuk udara dingin di Makkah ini. Namun beliau mengeluarkan satu gulungan berbagai sepatu wol sepertinya bermaksud meyakinkan bahwa masih banyak yang dimilikinya.

Akhirnya sepatu itu langsung aku pakai. Enak, empuk dan tidak licin untuk thawaf dan sa’i. Bukan pemberiannya yang kusyukuri tapi ketulusan ibu tua itu yang terukir di lubuk hati yang paling dalam. Semoga Allah senantisa melindungi dan membalas kebaikannya, Lebih dari yang sudah saya terima. Amiin.

Yang lebih tidak tune in lagi persahabatan dengan ibu dari Rusia. Tidak dibayangkan sebelumnya aku bakal bersahabat dengan salah satu penghuni negeri ”Tirai Besi” . Awalnya tak sengaja. Sepulang dari masjid, kami melihat jamaah mengerubungi 5 pedagang kaki lima. Ternyata mereka sedang memilih cincin yang berhiaskan batu-batu dari Rusia. Batunya cantik-cantik (sungguh aku tidak mengeri kalau yang setiap warna ada sebutannya) dan desainnya juga benar-benar memikat hati. Suamiku memilih cincin laki - laki berbahan perak dengan batu berwarna hitam. Sementara aku tertarik dengan warna hijau, merah dan ungu. Aku pikir kalau ada rezeki akan diikat dengan emas. Desainnya tentu ingin meniru persis. Saking seringnya membeli cincin, pedagangnya mengenalku dengan baik. Ternyata pedagang tersebut bersama 5 pedagang lainnya merupakan jamaah haji Rusia yang mencari tambahan dengan menjual cincin. Jadi, kalau kembali dari masjid, kami pasti mampir walaupun tidak membelinya. Terkadang dengan semangat mempromosikan jualannya kepada sesama jamaah Indonesia karena barang-barangnya memang bagus. Suatu hari malah ada kejadian lucu, tiba-tiba Askar datang menghalau pedagang kaki lima. Dengan terburu-buru Ibu Rusia itu membenahi barangnya. Daripada tertangkap Askar lebih baik menyelamatkan badan daripada dagangan. Secepat kilat, aku raup beberapa kotak jualannya. Dan ketika Askar datang, aku berlagak pembeli sehingga aman dari serbuan pasukan yang biasa menggunakan mobil box bertuliskan ”Holly Makkah”. Seperempat jam kemudian pasukan Holly Makkah beranjak pergi mencari mangsa baru. Setelah Askar menjauh, ibu-ibu Rusia itu kembali ke tempat jualannya. Kendati tidak berharap dagangannya utuh, mereka sepertinya tetap ingin memastikannya. Nah...itu dia sahabatku datang. Kamipun menghambur mendekatinya dan menyodorkan dagangannya yang sempat kubawa. Sebuah pelukan dan ciuman hangat kuperoleh sebagai hadiahnya. Dan persahabatan itu tetap berlanjut. Seringkali kubawakan makanan-makanan khas Indonesia. Jadi sambil menunggui jualannya, makanan itu dinikmatinya dengan suka cita. Komunikasi kami hanya tersenyum dan saling menepuk pipi. Selebihnya tak tahu apa yang harus dibicarakan. Sayangnya di hari terakhir kami tak bisa menjumpainya. Aku bingung mengkomunikasikan bagaimana caranya pamit sehingga tidak ada janji untuk farewell party. Semoga Allah selalu memberi kesehatan, kelapangan dan rezeki berlimpah kepada Ibu Rusia tersebut.

Inilah salah satu kelebihan Islam. Seluruh muslim di belahan dunia berkumpul menjadi tamu Allah. Spirit yang dibawa tentunya spirit ukhuwah islamiyah. Apabila kita mampu menangkap setiap makna dengan kepekaan mata bathin, insyaallah kendala bahasa, kebiasaan, ras tidak akan menghalangi persahabatan yang terjalin. Beruntung aku memperoleh kesempatan menyaksikan indahnya persahabatan antar bangsa, khususnya persahabatan umat muslim.

0 komentar:

Posting Komentar