Untuk melaksanakan ibadah haji kami memutuskan bergabung dengan Kelompok Majelis Taklim Asy Syifa Al Mahmudyah pimpinan KH. M. Muhyiddin Abdul Qodir Al-Manafi, MA. Kami tak ingain seperti orang yang berjalan dalam kegelapan ; perlu pembimbing yang mengarahkan langkah titian demi titian agar sampai di tujuan yang diidamkan.
Kegiatan majelis ini terpusat di Bandung dan Sumedang sehingga banyak diantara rombongan berasal dari kedua kota tersebut. Jamaah biasa menyebut KH. M. Muhyiddin Abdul Qodir Al-Manafi, MA. ”Pangersa”. Kami sendiri lebih nyaman menyebut dengan panggilan ”Bapa” atau ”Pak Kiai”. Kendati masih muda, beliau ”mumpuni” dalam ilmu agama Islam. Penguasaan bahasa Arabnya sangat bagus, dari mulai bahasa Arab pedalaman sampai dengan tingkat ”tinggi”. Penguasaan bahasa ini sangat bermanfaat terutama dalam melakukan negosiasi takala jamaah harus berurusan dengan aparat di Arab.
Spirit yang dibawa Pak Kiai sangat membekas di hati. Spirit yang dibawa cerminan replika ibadah haji jaman Rasul dan para sahabat dimana kepemimpinan di bawah satu kepemimpinan/imam (Khalifah).
Ibadah yang rukun, wajib atau sunnah di bawah bimbingan langsung, baik dalam doa maupun dalam tatacara. Sebagai ketaatan pada setiap ketentuan, pengawasan masalah dam atas pelanggaranpun berusaha dipenuhi untuk menyempurnakan setiap langkah ibadah. Begitu juga ketika melakukan napak tilas di tempat-tempat yang dimuliakan. Kami diantar langsung ke tempat, mulai dari daerah sekitar masjid Harram, sampai ke puncak Jabal Nur maupun Jabal Tsur.
Tentunya beliau sudah berpuluh-puluh kali mendampingi jamaah ke setiap tempat. Namun itulah rahmatullah, bekerja sekaligus beribadah berhiaskan keikhlasan sungguh terasa indah bagi yang melihatnya. Ketaatan dan rasa hormat tercermin dari sikap dan perilaku jamaah yang sangat santun terutama pada saat berhadapan dengan beliau.
Dalam keseharian beribadah, nyaris tidak ada sikap saling berbantah-bantahan menghadapi suatu masalah, apalagi kalau hal tersebut sudah diambil alih Pak Kiai. Pun ketika kami harus jujur terhadap pelanggaran-pelanggaran selama ihram.
Sebelum berangkat, setiap jamaah diberi form isian pelanggaran yang dilakukan (tentunya dilsayakan tanpa kesengajaan). Maka saat terakhir meninggalkan Makkah, kami semua berkumpul dan dengan kerelaan hati menyetorkan form yang sudah terisi dengan daftar ”dosa” kami. Semua dihitung untuk ditentukan denda/dam nya. Kami yakin, itulah batas maksimal yang dapat diupayakan untuk menyempurnakan ibadah haji ini.
Seluruh dam dinilai dengan uang, sedangkan beras diberikan sebagai sodaqoh. Besoknya, satu truk penuh beras sudah terparkir di depan maktab. Kami bersama-sama turun mengikrarkan bahwa dam ini diserahkan kepada yang berhak menerimanya. Pak Kiai sudah memiliki tempat untuk menyalurkannya, mereka adalah kaum duafa di sekitar kota Makkah dan Jeddah yang benar-benar memerlukannya. Termasuk juga daging dari hewan qurban kami.
Selain masalah ibadah masalah yang sifatnya teknispun tak luput dari urusan beliau. Salah satu contoh adalah kesulitan/ketidakmengertian jamaah dalam tatacara menukar uang rupiah ke riyal. Pak Kiai bertindak sebagai ”money changer” terutama bagi jamaah yang sudah berusia lanjut. Kurs nya sesuai dengan pasaran. Kami dapat menukar uang dengan leluasa, dari yang nilainya ratusan sampai uang recehan. Padahal mencari uang recehan sangat susah sekalipun di money changer. Hebatnya, menukarkan pada beliau, selalu tersedia. Rahasianya baru kami ketahui pada berangkat ke masjid bersama. Ternyata memberikan sadaqoh pada pengemis, uangnya boleh meminta kembalian. Kita tahu sendiri kalau para pengemis itu mengumpulkan uang recehan dari sodaqoh sampai se kantong penuh. Maka, pengemis disini ternyata berfungsi sebagai kasir. Memberi sodaqoh 1 riyal, kita memperoleh pengembalian 9 riyal apabila disodorkan uang 10 riyal. Tentunya, perlu keahlian untuk berkomunikasi karena kalau tidak memakai ”introduction” bisa saja uang tersebut seluruhnya dianggap sodaqoh.
Masalah oleh-olehpun tak luput dari perhatian beliau, terutama yang berguna sebagai obat dan agak susah ditemui di pasaran seperti jintan hitam, buah tin, dll. Beliau memberi tahu dimana kami harus belanja, bagaimana cara menawar barang dan bagaimana mengirimkannya ke tanah air melalui perusahaan ekspedisi.
Beruntung segala bentuk uang yang menjadi hak kami diberikan langsung seperti living cost dan tunjangan uang transport (yang diberikan berdasarkan hitungan jarak dari Masjid Harram). Terakhir, ada tambahan uang sebagai konpensasi ketiadaan makanan selama di Arafah dan Muzdalifah. Kami biasa menyebutnya dengan ”tunjangan keparan”. Maka, dengan uang itulah sebagian jamaah membayar denda dan membeli pernak-pernik untuk keluarga tersayang di tanah air. Sementara untuk makan sehari-hari dianjurkan masak perbekalan yang sudah disiapkan dari tanah air. Alasan beliau sederhana saja, tidak semua orang punya kemampuan yang sama sehingga tidak membawa bekal yang sama sehingga perlu pengeluaran yang efisien. Bekalpun dianjurkan sebanyak-banyaknya yang bisa kami bawa. Dan dianjurkan ketika pulang jangan ada makanan yang tersisa karena di Mekkah dan Madinah banyak kaum duafa yang membutuhkan bantuan.
Sehari sebelum ke Madinah, kami memotong 3 kambing untuk syukuran. Hari itu dengan perlengkapan seadanya, kami masak besar walaupun hidangannya hanya gulai dan sate kambing. Namun ada yang berinisiatif membuat es buah atau makanan kecil lainnya. Semua jamaah berbagi tugas. Beras untuk makan dikumpulkan dari jamaah. Bisa dibayangkan, berapa lama harus memasak nasi kalau kapasitas rice cooker hanya ukuran 1,5 liter. Padahal, jamaah dan undangan ada sekitar 150 orang. Namun pada saatnya semua dapat makan kenyang dan nikmat.
Pengurus Maktab dan 2 office boynya yang orang Pakistan ikut pesta barbeque yang kami gelar. Beberapa pejabat yang mengundang kami makan dan menjamu baso di Jeddah turut hadir. Betapa menyenangkannya, kebersamaan ini tentunya tidak dapat terlupakan.
Hal-hal inilah yang terpatri dalam jiwa dan menyisakan janji di hati, kelak kalau Allah SWT memperkenankan dan memberikan umur panjang, kami ingin berangkat lagi bersama-sama dengan Asy Syifaa wal Mahmudyah. Semoga Allah memperkenankan.
Minggu, 24 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar