Madinah terkenal karena wilayahnya merupakan produsen kurma nomor 1. Pohon kurma memperoleh tempat yang paling tepat untuk tumbuh dan berkembang di kota ini. Dimanapun kota, buah kurma boleh berlimpah, tapi Madinah tetap menjadi pusatnya. Buahnya yang bisa kita jumpai dimana-mana, pohonnyapun bertebaran menjadi keindahan tersendiri kota yang penuh rahmat ini. Jangan takut kehabisan, karena Allah merahmati kota ini salah satunya dengan kurma yang tidak ada habisnya. Sebagai pusatnya, tentu berbelanja kurma di Madinah relatif lebih murah dibandingkan harus mencarinya di tempat lain di Makkah.
Ziarah ke kota Madinah belum lengkap rasanya kalau belum mampir ke Pasar Kurma (Suq Tamur). Kebu kurma banyak dijumpai di dekat masjid Quba, namun grosirannya ada di Pasar Kurma yang berjarak sekitar sekitar 200 meter dari Masjid Nabawi. Hotel tempat kami menginap persis bersebelan dengan pasar kurma. Usai shalat Isya aku mengajak beberapa ibu-ibu yang sudah tak sabar ingin mengunjungi pasar yang terkenal itu. Kami beriringan menuju pintu sebelah kanan, menyeberang satu lampu merah. Kali ini kami tidak belok kanan menuju hotel, melainkan belok kiri menuju area yang terang benderang terkena cahaya lampu neon lajimnya di sebuah pasar malam. Para suami tentunya harus mengikuti dan menjaga di belakang kami memasuki los-los yang mirip pasar tradisional.
Kami menyusuri los-los yang berjajar rapi dari arah tengah. Aku mencoba mengingat-ingat toko tempatku membeli kurma dan coklat pada waktu umroh setahun yang lalu. Selain harganya sangat miring, pemiliknyapun sangat pemurah. Setiap mencoba coklat yang akan dibeli, segenggam coklat disodorkannya ”Hadiah…halal...halal...halal...”. Dihitung-hitung, beli empat kilo coklat, hadiahnya hampir 1 kg.
Masing-masing los aku masuki, kutatap satu-satu display jualannya atau kadang kuperhatikan wajah penjualnya siapa tahu ada yang masih terekam di pikiranku. Namun ternyata sama sekali tidak mampu diingat. Wajah orang Arab hampir sama saja, berjanggut dengan muka tirus, hidung mancung dengan mata memakai celak. Akhirnya aku masuk ke los yang menawarkan harga agak rendah. Ternyata pegawainya TKI yang berasal dari Cianjur. ”Tambahin dong...”, pinta kami ketika menimbang kacang. Pegawai itu tampak meminta ijin dulu juragannya. Melihat yang belanja jamaah sebangsa dengan pegawainya, sang juragan mengangguk-angguk ”hadiah...hadiah...halal”. Maka, jadilah kami diberi lebihan. Setiap timbangan, diberi bonus segenggam.
Ada satu jenis diburu jamaah yaitu kurma nabi atau kurma ajwa. Kurma ini memiliki keistimewaan yang tidak diragukan mengingat nabi pernah mengatakan ''Barang siapa di waktu pagi makan tujuh butir kurma ajwa, pada hari itu ia tidak akan kena racun maupun sihir.'' (Shahih Bukhari). Bagi yang sudah tahu, kurma Ajwa berbeda dengan kurma pada umumnya. Warnanya kehitaman dengan banyak guratan di permukaan buahnya. Manisnya tidak perlu diragukan lagi, apalagi Ajwa memiliki daging yang tebal.
Tidak mengherankan setiap jamaah selalu menyertakan kurma ajwa dalam oleh-oleh kendati terbilang mahal. Di Pasar kurma sendiri ajwa ditawarkan 60 riyal per kg untuk yang buahnya kecil dan 80 riyal per kg untuk yang buahnya agak besar. Namun aku sempat ke pusat pengepakan kurma. Ternyata kurma Azwa per kilonya hanya 40 riyal. Harga di Makkah atau Jeddah biasanya lebih mahal. Kurma ajwa awet walaupun di simpan bertahun-tahun. Caranya, simpan dalam tempat tertutup agar tetap kering dan renyah. Ketika kami tanyakan kurma tersebut si abang Cianjur bilang kurma Ajwanya sedang tidak tersedia dan menjanjikan agar besok datang lagi. Si Abang juga berpesan agar hati-hati membeli kurma ajwa karena memang terbatas.
Tak dapat kurma ajwa buruan diganti pada kurma muda yang dingin, segar, manis dan renyah. Kurma dengan kesegaran yang asli hanya dapat dinikmati di tempatnya. Bentuknya seperti anggur hijau, hanya bulatannya lebih besar sedikit. Namun tak dapat bertahan lama, kepanasan sedikit akan berubah warna menjadi hitam dengan kulit mudah terkelupas.
Pulang dari Pasar Kurma tangan penuh dengan tentengan ; 2 kg kurma, 3 kg aneka kacang-kacangan ; 3 kilo coklat, cukup untuk belanja di episode pertama. Kalau masih kurang masih ada beberapa hari untuk episode berikutnya. Tiba-tiba aku ingat batas kopor hanya 35 kg. Yah...kalau over weight terpaksa harus kutenteng masuk kabin. Tapi memang harus kubawa, minimal ada yang bisa kusuguhkan pada penjemput pada saat kami kembali ke tanah air.
Selain kurma ajwa, air zamzam merupakan oleh-oleh yang paling dinantikan. Masalahnya, jatah setiap jamaah hanya 5 liter per orang. Untuk air zam-zam tidak perlu biaya, siapapun bebas mengambilnya di masjid. Namun untuk membawanya ke tanah air bukan perkara susah. Apalagi banyaknya bom yang diselundupkan dalam bentuk cairan membuat petugas bandara selalu mencurigai barang-barang cair di tas tentengan. Alhasil kami lebih suka mengisi botol-botol mineral dengan air zam-zam dan memasukannya ke saku-saku di baju kami. Kami menyiasatinya dengan membeli termos warna emas. Membawanya? Diselempangkan langsung ke badan. Memang agak merepotkan, belum lagi empat saku baju terisi botol air mineral berisi zam-zam. Tapi hal ini tidak membuat saya berkecil hati, sepertinya semua jamaah melakukan hal yang sama. Ini dilakukan semata-mata ingin menyuguhkan air zamzam yang asli yang diperoleh sendiri di tempatnya kepada kerabat di tanah air.
Minggu, 24 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar