Sekitar jam 8.00 kami sampai di Maktab. Seperti orang yang ”rindu rumah” dengan sukacita kami memasukinya. Dipan kecil berderak saat aku melemparkan tubuh ke atasnya. Kendati ini suasana Idul Adha, tak terdengar takbir atau keriuhan sebagaimana yang sering kita lakukan di Indonesia. Suasana berjalan normal, hanya agak sedikit lengang.
Sambil berbaring aku membuka sms di hp yang belum sempat terbaca sekaligus ingin berkirim kabar dengan dr.Woro (teman sekerja yang sedang bertugas sebagai paramedis untuk salah satu KBIH) dan Bu Hani (atasanku). Keduanya ikut dalam rombongan haji plus. Dari jawaban yang kuterima, di tempat mereka tinggal makanan berlimpah ruah disediakan pihak KBIH. Adanya kabar tentang ketiadaan suplai makanan untuk sebagian besar haji reguler sudah sampai di kalangan jamaah Indonesia. Bu Hani menanyakan lokasi perkemahanku di Mina dan bermaksud mengirimkan makanan. Aku terharu dan kusampaikan terima kasih sekaligus kuinformasikan bahwa kelaparan tidak menimpa rombongan kami.
Usai membersihkan diri kami bermaksud melakukan thawaf ifadah. Sunnah bagi wanita menyegerakan ifadah karena dikhawatirkan didahului oleh haid. Masjid tetap ramai, kiswah sudah diganti dengan yang baru. Aroma keharuman ka’bah meruap memenuhi penciuman kami.
Usai thawaf, kami tetap melakukan shalat sunat di Maqam Ibrahim. Setelah meminum air zamzam bergegas menuju bukit untuk mengawali ibadah sa’i. Ibadah Sa'i termasuk salah satu rukun Haji dan umrah. Dilakukan dengan berjalan kaki ( berlari - lari kecil ) bolak - balik 7 kali dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah dan sebaliknya.
Shafa merupakan bukit kecil yang berada sekitar 130 m kearah selatan dari masjidil Harram. Sekarang di atas sudah dibangun atap bulat berbentuk kubah. Bukit inilah yang syariatnya menjadi titik awal ibadah sa’i.
Bukit Shafa penanda peristiwa penting mengenai perjuangan Siti Hajar, istri dari ‘Abul Anbiya’ Ibrahim AS yang berusaha mencari air takala Ismail kecil sangat kehausan. Allah SWT menurunkan perintahNya agar Nabi Ibrahim menempatkan istri dan anaknya yang masih balita untuk tinggal di Makkah. Atas perintah Allah ini, Nabi Ibrahim menempatkan keduanya di lembah yang sunyi ini dengan meninggalkan sekantung kurma dan satu bejana air.
Melihat sang suami meninggalkanya, Siti Hajar pun bertanya. “Wahai suamiku, ke mana engkau akan pergi, apakah engkau akan tinggalkan kami di lembah ini, yang tidak ada seorang manusia pun, juga tidak ada sesuatu?” . Pertanyaan tersebut diulangnya berkali-kali karena sang suami tidak menoleh sedikit pun. Padahal tak kurang bersedihnya nabi Ibrahim harus meninggalkan istri dan anak yang sangat diharapkannya. Siti Hajar bertanya kembali:
“Apakah Allah yang memerintahkan engkau dengan hal ini?”
Maka Nabi Ibrahim menjawab “Ya.”
Hajar berkata lagi: “Kalau demikian, Ia tidak akan menyia-nyiakan kami.” (HR. Bukhori).
Ibrahim meneruskan langkahnya sampai ke atas, kemudian berbalik menghadap baitullah seraya berdoa ”Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumahMu (baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami semoga saja mereka tetap mendirikan shalat, jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rejeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur”.
Sementara Hajar kembali mengurusi Ismail kecil. Tidak lama kemudian habislah perbekalan air yang dimiliki Hajar. Kecemasan mulai dirasakan ketika mendengar tangisan bayi Ismail dalam nada memilukan. Jeritan bayi itu mengoyak naluri keibuannya. Siti Hajar berdiri tegak berdiri di atas bukit yang paling dekat darinya, yaitu Shafa, kemudian menghadap ke lembah untuk melihat apakah ada orang yang lewat, ketika tidak melihat seorang pun. Beliau turun dari Shafa mengangkat ujung pakaiannya dan berlari kencang melewati lembah tersebut dan menaiki bukit Marwah. Hal tersebut dilakukannya sampai tujuh kali, sambil tak henti-hentinya memohon pertolongan Allah SWT dengan hati pasrah.
Pada akhir yang ketujuh datanglah Jibril. Dengan mengepakan sayapnya ke tempat zamzam sampai tampak airnya. Siti Hajar langsung menciduk air dengan kedua telapak tangannya. Dengan sukacita Ismail kecil terbebas dari kehausan.
Keimanan, ketakwaan, keberanian keluarga inilah yang senantiasa Allah contohkan untuk umat manusia. Perjuangan Hajar yang berlari-lari kecil 7 kali antara bukit Shafa dan marwah menjadi salah satu rukun haji. Sa’i sebuah ritual yang sengaja dilahirkan untuk menghidupkan kembali sejarah perjuangan seorang perempuan. Nabi Muhamaad pun bersabda : “ Itulah kisah kenapa manusia bersa’i, (berlari).” (HR. Bukhori).
Peristiwa penting lainnya di shafa terukir karena bukit ini kerap menjadi tempat pilihan nabi berdakwah, termasuk ketika harus berhadapan dengan Abu Jahal yang sering menjahatinya. Oleh karenanya Allah pun menorehkan keutamaan shafa dalam Al Qur’an: “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah satu dari sekian tanda kebesaran Tuhan”.(QS. Al Baqarah, 2: 158).
Sambil membayangkan jerih payah Siti hajar kami mulai mendaki bukit Shafa. Bukit itu hanya ditandai dengan batu-batu yang diletakan lebih tinggi dari areal thawaf. Mungkin dahulunya mendaki bukit ini bukan pekerjaan mudah. Kami mulai mengucapkan niat untuk melakukan sa’i.
Di bukit batu yang mulia ini kami memandang Ka’bah dan kupanjatkan doa.”Ya Allah yang maha pengasih dan maha penyayang. Aku mulai dengan apa yang telah dimulai Allah dan rasulNya. Sesungguhnya dan marwah sebagian dari syiar-syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke baitullah ataupun berumrah, maka tiada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barang siapa mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah maha menerima kebaikan lagi maha mengetahui”.
Panjang tempat sa’i kira-kira 394,5 m mulai dari ujung dinding di Bukit Shafa sampai ujung dinding bukit Marwa. Lebarnya kurang lebih 20 m. Dengan demikian luas tempat sa’i mencapai 394,5 m x 20 m = 7890 m2 untuk satu tingkat. Jika digabung 2 tingkat keseluruhannya menjadi 15.780 m2. Keinggian lantai pertama mencapai 11,75 m, sedangkan pada lantai atas 8,5 m.
Di lantai bawah antara Shafa dan Marwa banyak pintu masuk. Sedangkan lantai atas hanya memiliki 2 tangga masuk dari Shafa dan Babussalam. Di Shafa terdapat 2 tangga disamping escalator. Sepanjang Shafa dan Marwa terdapat 7 jembatan penyeberangan yang ingin keluar masuk masjid harram.
Lantai bawah dibagi menjadi 2 bagian, satu untuk sa’i menuju Marwa dan lainnya untuk Sa’i dari Marwa ke Shafa. Untuk orang tua yang mulai udzur, ibadah Sa’i dapat dilakukan dengan duduk di kursi roda menempati 2 jalan kecil yang sengaja dibuat seukuran kursi roda.
Melintasi Bathnul Waadi yaitu kawasan yang terletak diantara bukit Shafa dan bukit Marwah (saat ini ditandai dengan lampu neon berwarna hijau) para jama'ah pria disunatkan untuk berlari-lari kecil sedangkan untuk jama'ah wanita berjalan cepat. Ibadah Sa'i boleh dilakukan dalam keadaan tidak berwudhu dan oleh wanita yang datang Haid atau Nifas. Kendati bangunannya menempel dengan masjid, tempat sa’i tidak termasuk bangunan masjid.
Usai takbir dan melambaikan tangan, kami mengawali sa’i dengan menuruni bukit batu. Dari arah bukit yang lebih tinggi, kami melihat kepadatan manusia dan gema suara doa memenuhi seluruh area. ”Ya Allah ampunilah dosa-dosa kami dari kejahatan diri kami sendiri, matikanlah kami bersama-sama dengan orang yang berbuat baik, sesungguhnya Engkah maha pengasih dan maha penyayang. Berilah cahaya terang dalam hati, telinga dan penglihatanku. Lapangkanlah dadaku, mudahkanlah segala urusanku. Dan aku berlindung padamu dari kecemasan dan segala fitnah kubur. Aku berlindung padaMu dari kejahatan yang tersembunyi di waktu siang maupun malam serta kejahatan yang dibawa angin. Engkau maha mengetahui yang ghaib. Tiada tuhan selain Allah”.
Kami (selalu) memilih sa’i di lantai dasar untuk memastikan batu-batu di kedua bukit tersebut telah terpijak dengan benar. Sampai di pilar hijau, suamiku mengganti langkah dengan berlari-lari kecil Tidak bisa cepat karena antrian begitu padat. Cukup dengan mengangkat kaki lebih tinggi lazaimnya orang berlari. Dengan demikian aku masih dapat mengikutinya dengan jalan kaki. Suara talbiyah dan doa bergemuruh karena ruangannya tertutup, berbeda dengan areal thawaf yang berada di udara terbuka kendati letaknya di tengah masjid. Beberapa kali kami berpapasan dengan keluarga-keluarga muda. Lucu sekali melihat anak laki-laki usia 1 atau 2 tahun memakai kain ihram. Biasanya anak tersebut dipanggul di pundak ayahnya, sementara ibunya melenggang. Tak sengaja aku saling memandang dengan suami. Sepertinya pemandangan itu mengingatkan pada anak-anak kami di rumah. ”Ya Allah ijinkan agar kelak kami dapat membawa anak-anak beribadah di baitullah”, aku menyelipkan doa tersebut beriulang-ulang.
Marwah yang menjadi bukit perantara untuk sa’i merupakan bukit kecil dari batu api atau geretan berupa batu putih yang keras. Bukit berjarak 300 m arah Timur dari Rukun Syami pada Ka’bah. Bukit Marwah inilah yang menjadi akhir dari Sa’i.
Awalnya tanah tempat Sa’i berliku, curam dan naik turun. Konon dulunya tempat Sa’i terhalang bangunan dan pasar sehingga orang melakukan sa’i di tengah pasar. Pemerintah Arab Saudi melakukan pembongkaran terhadap pasar tersebut. Sekarang Shafa dan Marwah berada dalam bangunan bertingkat 2 yang menempel pada masjidil harram.
Panas yang menyengat tak lagi dirasakan jamaah karena sudah dilengkapi dengan AC yang sejuk. Lantainyapun sudah lantai marmer yang mengkilat dan dingin sehingga kaki tetap nyaman berlari hanya beralaskan kaos kaki. Sepanjang jalan ada galon dan keran air zamzam sehingga jamaah dapat beristirahat sampai merasakan kesejukan air zamzam. Beberapa memanfaatkan kran tersebut untuk wudhu.
Sambil berdoa dan berdzikir sempat terpikir di benakku. Teknologi sudah semakin canggih, rasanya tidak susahnya membuat eskalator(yang datar entah apa namanya) sebagaimana yang sering kita jumpai di bandara Soekarno Hatta. Jamaah tinggal berdiri dan escalator berjalan sendiri. Namun inilah keutamaan ibadah haji. Ritual yang dibaluti iman dan taqwa senantiasa tetap berpegang pada ketentuan yang disyariatkan. Esensi Sa’i tetap terpelihara pada perjuangan Siti hajar yang belari-lari mencari air, tak lengkang oleh peradaban dan teknologi yang melaju kencang. Lain halnya dengan perjalanan menuju arafah. Nabi mencontohkan memakai tumpangan seperti unta. Maka, untuk masa kini dimungkinkan digantikan oleh bus-bus yang dilengkapi AC.
Penanda bukit Shafa dan Marwah terletak pada jalanan yang mulai menanjak menuju gundukan batu. Kami selalu dipesankan Pak Kiai untuk mengakhiri setiap putaran dengan menginjak batu dan mengungkapkan doa sambil menghadap ke kiblat. Bila melihat lautan manusia yang berjejal, terutama pada saat memutar, kami kerap memilih bukit tersebut untuk sejenak melepas penat. Pandangan kami tebar sepanjang tempat sa’i. Duhai pikiran jutaan manusia dengan khusu memusatkan pikiran menyerukan keimanan dan tahuid kepada sang pencipta alam.
Kalau jalanan sudah penuh, biasanya kami memilih jalan yang dilalui kursi roda. Paling-paling dipelototi petugas yang mendorongnya karena langkah mereka terhalang kami. Kalau sudah begitu paling cuma kita ingatkan sabar haj...sabar.. Biasanya mereka luluh dan melunakan pandangannya. Tapi itulah cara yang paling aman daripada harus berdesak-desakan. Yang lucu, yang sering menyikut kami adalah jamaah se tanah air. Mereka berteriak-teriak menirukan peritah askar...tarikh...tarikh... Dan mereka baru berhenti setelah sadar kalau yang diteriakinya jamaah setanah air.
Beberapa kali sa’i kami terhalang waktu shalat, maka dimana waktu shalat tiba, disitu jugalah kami memilih berhenti. Makanya, dalam sa’i ini kami tetap menjada wudlu.
Kepadatan terjadi pada saat menjelang ujung bukit. Kami selalu diingatkan untuk sampai di batas bukit. Bukit batu masih terlihat, sedangkan bukit batu di Marwah sudah sejajar dengan lantai. Banyak jamaah yang sudah memutar di punggung bukit, tapi kami selalu merangsek sampai ke ujung sampai benar-benar dapat menginjak batu. Sesekali kalau agak letih, dapat beristirahat di bukit sambil menuju antrian agak longgar. Sai diakhiri dengan menginjak lantai batu di bukit Marwa. ”Ya Allah mohon diterima doa kami, berilah pertolongan untuk selalu taat dan bersyukur kepadaMu. Jangan jadikan kami bergantung pada selain Mu. Matikanlah kami dalam Islam yang sempurna. Rahmatillah agar kami meninggalkan segala kejahatan selama hidup kami. Karuniakanlah keridhaanMu wahan Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang”.
Usai sa’i kami menuju belakang bukit. Suami saya mengeluarkan gunting kecil dari tas pinggangnya. Dengan mengucap bismillah memotong sendiri beberapa helai rambutnya. Tangan suami masuk ke bawah kerudung saya dan menggunting sejumput kecil anak rambut. ”Ya Allah inilah ubun-ubunku, terimalah doa. Ya Allah yang maha luas ampunanNya, ampunilah dosaku dan dosa orang-orang yang bercukur”. Kami mengucap doa tersebut dengan penuh keharuan. Kemudian menepi ke dinding belakang dan kembali menghaturkan doa kepada Allah SWT ”Segala puji bagi Allah yang telah menyelesaikan ibadah kami. Ya Allah tambahkanlah keimanan kami, taufiq dan pertolonganMu pada kami. Ampuni dosa-dosa kami, orang tua kami dan kaum muslimin semuanya”. Alhamdullilah satu rentetan ibadah sudah dilalui.
Minggu, 24 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar