Banyak cerita ’mencengangkan” yang dibawa orang sepulang haji. Anehnya, yang mengemuka seringkali yang menyusahkan dan menakutkan. Ini yang membuat banyak orang menjadi khawatir dan menunda keberangkatan ke tanah suci. Konon disana setiap orang akan dihadapkan pada peristiwa – peristiwa sebagai balasan atas dosa-dosa yang sudah dilakukan. Tak sedikit yang menganggap ibadah haji merupakan belengu sehingga lebih suka menunggu melaksanakannya pada usia beranjak tua.
Jujur saja, sebagai manusia aku merasa hidup berlumur dosa. Kekhawatiran sebagaimana yang dirasakan banyak orang menghantui pikiranku. Namun satu hal kuyakini Allah SWT memanggil kita untuk beribadah di tanah suciNya. Allah SWT akan memperlakukan tamuNya dengan baik mengingat umatNya datang dari berbagai belahan bumi yang harus menempuh perjalanan yang panjang dan biaya yang tidak sedikit. Tentunya Allah SWT akan membuka tanganNya memberi segala kemudahan, keberkahan dan kenyamanan selama kita selama menjadi tamuNya.
Setiap orang tentunya memperoleh pengalaman yang berbeda dalam melaksanakan ibadah haji. Setiap pengalaman akhirnya membentuk persepsi yang berbeda. Aku sendiri mencoba memandang setiap pengalaman dari kacamata yang jernih dan bertanya dalam hati...apakah makna dibalik semua ini. Jujur saja ada ketakutan, konon katanya setiap perbuatan akan memperoleh balasan. Tapi semua diikhlaskan saja. Kalaulah itu terjadi anggap saja sebagai sebuah kifarat.
Ternyata, banyak juga hal-hal yang kami alami. Kejadian yang menimbulkan tawa atau kejadian yang memancing kita berurai air mata membuat perjalanan ibadah menjadi lebih ”berwarna”.
Menjelang berangkat, mamah pernah berpesan kalau lagi berada di maktab, perbanyak dzikir, kalau sudah kelelahan lebih baik tidur beristirahat. Bagaimanapun juga, berkumpul sesama perempuan akan memancing obrolan ringan, dan apabila obrolan semakin asyik maka akan bergosip, begitu pesannya berulang-ulang.
Alhasil… kalau sudah sampai di maktab selalu diserang rasa kantuk. Mata susah sekali kubuka dengan normal. Bergelung di bawah selimut menjadi istirahat yang sangat nyaman. Bahkan pengajian rutin tiap malam Jum’atpun jarang dapat kuikuti sampai selesai karena mata tak kuat menahan kantuk. Namun lama kelamaan cukup mengganggu. Pernah satu waktu, kami bermaksud untuk itikaf di masjid, rasa kantuk kembali datang. Aku mendekati kran air zam-zam, kubasuh muka untuk memancing kesegaran. Ternyata mata meleknya hanya sekejap, selanjutnya kembali terkantuk-kantuk. Benar-benar membuat putus asa. Akhirnya aku berdiri, kulafalkan di hati niat shalat hajat. Doanya tunggal “Ya Allah semoga kantuk tidak menghalangi untuk beribadah di tanah suciMu”.
Alhamdullilah setelah shalat hajat, mata menjadi segar. Hari-hari berikutnya kantuk hanya menyerang pada saat yang benar-benar lelah dan butuh istirahat untuk menyegarkan kembali badanku. Aku sempat berpikir, kantuk yang senantiasa menyerangku ketika di maktab adalah pengabulan atas doa mamah. Namun secara akal sehat dapat dipahami rasa kantuk tersebut lebih dikarenakan kelelahan fisik sehingga secara alamiah badan memerlukan istirahat untuk memulihkannya.
Hal lain yang tidak seperti biasanya, dalam setiap kesempatan aku selalu menumpahkan air minum, tersenggol kakilah, tersikut tanganlah, bahkan ketika meminum air zam-zam di masjid Harram. Tiba-tiba aku ingat sering mengomeli Asya yang kerapkali menumpahkan air minumnya kalau kami sedang makan bersama. Astagfirullah....aku langsung menelponnya dan meminta maaf atas omelan-omelan yang mungkin membuatnya sedih. Believe or not....sejak itu tidak pernah menumpahkan air lagi sebagaimana yang sering dikeluhkan orang-orang. Begitu juga halnya dengan anakku, sejak saat itu kebiasannya hilang dengan sendirinya.
Namun ada hal yang membuat aku menarik pelajaran. Pulang dari shalat isya ada seorang kakek tua yang kebingungan di pintu gerbang masjid. Kami sapa beliau dan kami tanyakan mengapa sampai kebingungan bahkan hampir menangis. Ternyata Bapak tersebut dari Lampung, terpisah dari teman-temannya dan tidak tahu arah pulang padahal beliau sama sekali tidak membawa identitas. Maka kami berdua berpencar berlawanan mencoba mencari jamaah Indonesia dari lampung juga. Hampir seperempat jam kami tak menemukannya. Kami akhirnya mengajak Bapak tersebut untuk keluar gerbang dan menyusuri pinggiran hotel. Namun ajaibnya Bapak tersebut hanya mematung dan sesekali menggelengkan kepalanya. Kami memaksanyapun tidak mau, sementara malam semakin larut, tak mungkin kami meninggalkannya begitu saja. Setelah sekian lama kami menemaninya, bapak tersebut bilang bahwa beliau tidak mau karena tidak memiliki uang untuk tips kepada kami. Aku tercenung lama sekali.Aku ingat selama ini kalau aku minta tolong selalu memerikan tips. Bukan bermaksud mengukur bantuan tersebut dengan uang, hanya berusaha menghargai jerih payahnya. Ternyata, aku memperoleh pelajaran bahwa siapapun bisa menolong dengan ikhlas, tanpa upah atau uang tips sekalipun. Setelah istigfar...aku berusaha meyakinkan bapak tersebut dan menyatakan bahwa kami tidak bermaksud mencari upah karena benar-benar ingin menolong secara ikhlas. Setelah diyakinkan barulah Bapak tersebut mau kami tuntun. Dan Alhamdullilah kami menemukan seorang Bapak yang masih muda yang ternyata teman satu rombongannya.
Satu hal lain menjadikan aku berintrospeksi. Di tanah air banyak orang meyakini bahwa kami pasti bakal banyak menerima pemberian. Namun nyatanya, aku hanya sekali-sekali menemukan orang yang membagikan makanan. Dan jarang sekali kami memperolehnya. Akhirnya aku berpikir dan memohon ampun semoga sedekah atau hadiah yang diberikan ke orang lain dijaga ketulusannya dan dijauhi dari sifat riya. Namun pada sisi lain aku mencoba menilainya dengan kacamata jernih mengapa aku jarang memperoleh makanan gratis. Mungkin bukan karena sodaqoh kami yang kurang ikhlas, tapi lebih dikarenakan kemalasan kami berebut dan mengantri makanan tersebut. Berbeda dengan teman-temanku yang selalu ikut mengantri bila ada satu mobil yang dikerumuni jamaah yang membagikan makanan gratis. Aku hanya menerima makanan yang benar-benar disodorkan padaku, apakah itu kurma, juice ataupun roti.
Dari berbagai kejadian tersebut, aku menarik makna bahwa pada saat haji, kita terfokus pada penyerahan diri total kepada yang maha kuasa dan menerima dengan ikhlas apapun. Pada situasi yang khusu, biasanya orang berkontemplasi. Beberapa kejadian yang ditemui banyak dihubung-hubungkan dengan pengalaman masa lalu. Kesulitan dianggap hukuman, keberkahan dianggap sebagai buah dari kebaikan.
Namun tentu saja Allah berhak pun memberi teguran, terutama yang tidak dapat mengontrol sikap dan perbuatannya selama di tanah suci. Makanya dengan segera melakukan istigfar, insyaallah kesulitan itu teratasi.
Setiap ke masjid aku sering memperhatikan pedagang kaki lima atau pengemis yang berkulit hitam legam dari rambut sampai ujung kaki, hanya telapaknya saja yang kelihatan putih itupun sudah berhiaskan inai warna merah atau hitam. Aku hanya membatin geli...berjualan di tengah terik matahari tanpa alas kaki, apakah sempat mereka mandi. Ternyata setelah itu, 2 kali aku harus shalat di belakang orang hitam. Sujudku sering terhalang kaki mereka yang panjang. Alhasil, telapak kaki yang membuatku geli dan beraroma aneh itu berkali-kali tercium mukaku. Ketika hal ini berulang aku baru sadar dan meminta ampunan dengan Allah. Aku telah berbuat dzolim, membedakan manusia berdasarkan fisiknya. Padahal di hadapan Allah yang membedakan manusia adalah amal ibadahnya. Duh aku benar-benar malu dan menyesal.
Alhamdullilah... dengan permintaan ampunan yang sungguh-sungguh, selanjutnya aku dapat shalat dengan nyaman dan ikhlas-ikhlas saja kendati harus berdempetan dengan mereka tanpa terganggu aroma matahari yang menempel di badan mereka.
Jangan sombong dan jangan takabur adalah perilaku yang dijaga karena Allah seringkali ”turun tangan” memberi ujian. Sebaliknya awali segala sesuatu dengan basmallah dan meminta keridhaan Allah. Contoh yang terkecil masalah mengambil gambar. Suamiku mengambil gambar dari semua sudut masjid ; multazam, ka’bah, raudah, bahkan makam nabi sekalipun. Seringkali hal ini menjadi perdebatan diantara kami. Aku yang sering protes khawatir tertangkap askar. Suamiku tak menggubrisnya karena yakin Allah akan menolongnya. Gambar-gambar itu diambil untuk diperlihatkan pada anak-anak agar memahami apa yang dilakukan orang tuanya dan tempat mana saja yang beroleh kemuliaan Allah. Aku khawatir karena salah satu rombongan tertangkap askar ketika sedang mengambil gambar. Padahal memotretnya di luar masjid di tempat dimana orang mengambil zamzam dengan jerigen. 5 hari harus mendekam di penjara berpindah dari Mekkah ke Jeddah. Begitu juga dengan teman kami yang lainnya. Iseng menunggu, memotret ka’bah. Dari 3 orang yang berjejer memotret dengan kamre hpnya hanya temaku yang ditangkap. Tanpa ampun askar itu mengancamnya dengan memperagakan tangan tersilang dan berteriak ”jail...”. Astagfirullah...
Namun apapun yang kita alami, tidaklah seharusnya membuat kita mengurungkan niat beribadah ke tanah suci. Bagaimanapun kita tidak dapat mengetahui dengan pasti esok apa yang akan terjadi. Maka sebelum tertutup setiap kesempatan, segeralah dan jangan menunda kenikmatan ini. Apabila beroleh kejadian buruk segera istigfar...mohon ampunan dan pertolongan, insyaallah ujian tersebut akan segera berakhir.
Dengan banyaknya yang dialami, kami hanya mengambil kesimpulan subjektif bahwa setiap orang memiliki pengalaman, ujian, barokah yang berbeda satu sama lain. Seyogyanya hal itu tidak menjadikan kita takut. Ujian merupakan bentuk sayang Allah terhadap umatNya agar tetap mendekat dan meminta pertolonganNya. Kalaupun rasa takut itu tumbuh dan tidak dapat dicegah, jauh lebih bermanfaat kita lebih takut terhadap Allah ; takut berbuat dosa, takut bersikap riya, takut bersuudzon, takut khufur nikmat dan berbagai takut lainnya yang dapat mendekatkan kita kepada sang khalik. Dengan ketakutan itu insyaallah kita akan menjadi lebih iklas dan tawadhu. Yang lebih penting dari semua itu adalah berbaik sangka.
Hudznuzon kami berbuah manis. Dalam menjalankan ibadah haji beroleh kenikmatan luar biasa. Segala kemudahan menambah rasa syukur di hati, sedangkan berbagai kendala menjadi pembelajaran buat meniti hidup yang jauh lebih baik dari sebelum berangkat haji. Apapun yang Allah SWT berikan selama menjalankan ibadah haji, menjadi bekal meniti hidup yang jauh lebih baik dari sebelum berangkat haji. Kami menyikapinya dengan bermuara pada satu keinginan semoga Allah SWT menjaga lisan dan perbuatan pada hal-hal yang diridhoiNya. Di saat akhir kami di tanah suci, dengan segala hal yang sudah kami hadapi, kami meminta kerelaan Allah untuk senantiasa memanggil kami agar dapat kembali ke tanah sucinya. Semua itu semata-mata karena kenikmatan yang dirasakan selama menjalankan ibadah suci. Semoga allah yang maha pemurah mengabulkan. Amiin ya robbal alamiin....
Minggu, 24 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar