Diakui atau tidak, hampir 100% perempuan memiliki hobby belanja. Hobby inipun tak hilang hanya karena kami yang sedang beribadah haji. Deretan kios di sepanjang jalan menuju masjid, atau mal-mal yang berada di lantai hotel-hotel menjadi penyegar mata. Waktu belanja yang paling tepat adalah malam seusai shalat isya sebelum kembali ke masjid untuk itikaf. Pagi hari juga nyaman, tapi siklus tidur orang Makkah agak diluar kelaziman. Setelah shalat subuh mereka tidur, toko banyak yang tutup, buka kembali menjelang shalat dzuhur sampai subuh.
Waktu Umroh, kami hanya 3 hari di Makkah. Walaupun. Tempat menginap di hotel bintang 4 yang berbatasan dengan pelataran masjid sehingga daya jelajahnya pendek. Didorong rasa penasaran terhadap cerita pasar seng, akurela mengitari 62 pintu masjid Harram dikarenakan salah mengambil arah. Bagaimanapun, hikayat tentang Pasar Seng senantiasa menjadi magnet tujuan belanja sejak di tanah air. Kabarnya, harganya agak miring dan bisa ditawar.Nama Pasar Seng sendiri awalnya diberikan oleh jamaah Indonesia, mengingat atap pasar ini kebanyakan terbuat dari seng.
Ternyata mirip Pasar Baru Bandung jaman baheula. Toko-toko kecil dengan bangunan seadanya, untuk masuk ke los dalam harus melawat gang Senggol. Sebaiknya belanja di Pasar Seng harus ditemani pria. Jangan masuk sendiri ke dalam toko. Orang Arab kalau melihat jamaah Indonesia sudah banyak cerita. Makanya aku selalu bergandengan tangan dengan suami menyusuri toko demi toko. Pasar Seng ramai dan padat. Jalanan sempit antara satu kios dengan kios lainnya, membuat pasar itu terasa sesak. Ada teman berpesan agar berhati-hati. Jangan kira di Makkah tidak ada copet, tetap saja orang jahat tersedia dimana-mana, termasuk di tanah yang dimulai Allah dimana kebaikan maupun keburukan dilipatgandakan Allah SWT. Astagfirullahalladziim...
Tawar menawar menjadi prosesi yang paling seru. Kendali memiliki bahasa yang berbeda, hal tersebut tidak menjadi kendala. Apalagi banyak pedagang yang mengerti sepatah dua patah kata Indonesia. Asal kita bisa menyebut angka dalam bahasa Arah cukuplah sudah. Atau dengan mengacungkan jari sesuai jumlah yang kita maksud. Penjual pun memahami, kalau sepakat transaksi pun terjadi. Bertemu angka yang lebih besar, kalkulator siap menolong. Uang rupiahpun masih dapat diterima, asalkan bernilai seratus ribu dan tidak koyak.
”Ini murah Siti rahmah”, rayu mereka berulang-ulang. Padahal dengan kualitas yang sama, di Pasar tanah Abang baju seperti itu berharga separo dari yang mereka tawarkan. Aku yang terbiasa belanja di pasar tradisionil semangat menawar. Kalau harga yang saya minta terlalu rendah, mereka akan tertawa sambil berucap ”Indonesia pelit...bahil...”.
Ada yang sedikit kreatif, panggilan itu direkamnya dalam tape recorder, diputar berulang-ulang, sementara si empunya toko kadang sibuk melayanai pembeli, atau malah duduk ongkang-ongkang kaki. Pedagang kebanyakan hanya ada pada musim haji. Saat umroh aku lihat gedung banyak yang melompong. Kadang berubah fungsi menjadi perkantoran, bengkel atau tempat usaha lainnya.
Satu yang tidak boleh terlewatkan di pasar Seng adalah Bakso Mang Udin. Satu porsi 5 riyal bahkan kadang dijual 8 riyal, setara Rp. 12.500,- sampai Rp. 20.000 di Indonesia. Cukup mahal memang...tapi apa mau dikata, yang bikin mahalnya adalah khasiatnya sebagai pengobat rindu.
Perburuan pertama kami di Pasar Seng menghasilkan tentengan 4 karpet dan pernak pernik lucu buat oleh-oleh. Keesokan harinya kami lebih nyaman mengitari mall di bawah hotel. Harganya sedikit lebih mahal, tapi kualitas barang dan kenyamanan berbelanja lebih terjamin.
Dengan pengalaman tersebut, saat musim haji kami kembali ke Makkah untuk urusan belanja kami sudah memiliki referensi. Namun demikian keriuhan pedagang sepanjang perjalanan tetap menjadi pemandangan yang menarik. Sepanjang jalan banyak dijual aneka barang. Mulai pakaian, makanan, buku, kaset, dll.
Kendati Pak Kiai menganjurkan kami untuk belanja di Madinah, tetap saja ada jamaah yang diam-diam menenteng belanjaan setiap pulang dari Harram. Daripada kepergok, langsung disembunyikan di kolong tempat tidur.
Waktu pulang umroh, minat belanjaku sangat tinggi. 2 kopor penuh dengan berbagai karpet, sajadah, kerudung juga pernak-pernik yang lucu. Bahkan 2 ransel menjadi menggelembung diisi berbagai coklat. Namun pada saat haji ini, sebelum berangkat aku pernah membatin di hati bahwa kali ini perjalanan benar—benar ingin aku isi dengan ibadah. Ternyata sesampainya di Makkah maupun Madinah, minat belanja tidak sebagaimana biasanya. Aku menjadi guide atau membantu memilihkan bila teman-teman berbelanja. Aku sendiri tak tertarik membeli apa-apa. Ketika bercerita belum terpikir apa yang harus kubeli Pak Kiai hanya berpesan ”Teteh mah jangan belanja, beli surga aja...” ntah karena niatku memang untuk ibadah, atau perkataan Pak Kiai, aku hanya membeli barang seadanya. Bahkan 2 potong baju yang sempat kubeli dihadiahkan pada Bi Nunung.
Tiba-tiba waktu bergulir, tahu-tahu tiga hari menjelang kepulangan sudah ada perintah bahwa kopor harus di kumpulkan dua hari sebelumnya. Baru terpikir belum mencari oleh-oleh untuk anak-anak. Pak Kiai mahfum, beliau mengajak belanja pada keesokan hari jam 21.00.
Ternyata Pak Kiai mengajak keluar saat waktu sudah jam 23.00. Terus terang aku agak bingung, dalam malam selarut ini mana ada toko yang buka. Sejenak mobil memutar di sekitar kota Madinah, mobil menembus malam memasuki daerah yang cukup asing bagiku yang terbiasa menjelajah hanya seputar masjid Nabawi.
Mobil rupanya memasuki daerah perniagaan beberapa showroom mobil, bank, perkantoran tampak berjajar di pinggir jalan. Mobil berhenti di pelataran parkir sebuah toko besar. Jam sudah menunjukkan pukul 23.30, pak Karim (yang mengantar kami belanja) membesarkan hatiku bahwa masih ada waktu sekitar 30 menit.
Begitu masuk kami langsung menggaet trolly. Wow...ternyata toko ini semacam FO (Factory outlet). Dan pengunjungnya penuh dengan keluarga-keluarga Arab. Mata langsung terbelalak melihat display pakaian, lingerie sexy, atasan tank top sampai celana jeans original sampai yang hippster. Aku membelokan langkah meninggalkan segala macam kebutuhan perempuan. Kami lebih tertarik pada counter pakaian anak. Kupilih satu demi satu, kuraih yang cocok untuk kedua anakku. Saya memilih stelan kasual berbahan jeans atau coduroy. Stelan jas kecil menghentikan langkahku, tampaknya cocok buat si ganteng buah hatiku. Kuambil nomor 10 berwarna coklat tua. Harganya lumayan dari mulai 45 riyal sd 60 riyal. Setumpuk baju anak2 memenuhi trolyku, iseng saya nanya diskon sama penjaga toko. Ternyata ada...tangannya menunjuk satu lorong di depan kasir. Baju anak-anak yang didiskon lumayan bagus, ada beberapa rok anak perempuan yang manis-manis.. Dengan serta merata kupilih beberapa potong untuk gadis kecilku. Keasyikan memilih pakaian terganggu dengan padamnya beberapa sudut lampu toko. Ternyata jam sudah sampai di pukul 24.00 berarti toko tutup dan transaksi dihentikan.
”Just wait for minutes please...”, pintaku.
Kasirnya mengangguk melihat semangat belanja masih tinggi. Aku berballik menuju lorong diskon yang menjual baju anak-anak seharga 20 riyal, lumayan bagus dengan model yang girly cocok untuk gadis kecilku.
Aku memilah baju hasil perburuan. Setelah dihitung, jumlah baju untuk Asya lebih sedikit dari Diaz, maka sedikit terburu-buru aku ambil beberapa potong baju laki-laki untuk menggenapi jumlahnya agar sama. Kalau tidak sama bisa berabe...terutama adiknya yang selalu minta disamakan dengan milik kakaknya. Diujung kasir kami ketemu lagi dengan Pak Kia yang juga menenteng baju untuk anak-anak beliau. Usai sudah perburuan 30 menit. Kami keluar dengan 4 tentengan tas. Puas rasanya bisa membawakan sesuatu untuk anak2 yang teramat saya cintai ini.
Tempat lainnya untuk belanja biasanya di ballad Jeddah. Terkenal sekali kalau kita mau mencari parfum. Namun perlu ekstra hati-hati juga karena seringkali parfumnya oplosan juga. Alih-alih mau barang asli, dapatnya tiruan juga. Biasanya aku jarang belanja lagi, paling masuk ke super market dan memilih makanan yang jarang ditemui di Indonesia. Aku senang belanja sabun zaitun, shampo, coklat sampai keju. Bentuknya lucu-lucu dan harganya tidak terlalu mahal.
Beginilah repotnya jadi perempuan....masuk toko tetap saja lapar mata terutama kalau ada reserve dari si kecil pasti dibela-belain. Bahkan boneka onta sekalipun terpaksa aku tenteng di ketiak saat masuk pesawat karena sudah tidak bisa masuk kopor. Beberapa jamaah yang melihatku kerepotan mencoba mengguyoni ”Bu untanya suruh angkut bawannya tuh..”, Aku hanya nyengir dan tidak kecil hati karena dibelakang barisan belakang beberapa ibu melakukan hal yang sama.
Sayangnya hikayat pasar Seng sudah berakhir. Dari cerita teman yang pergi umroh bulan April 2008, pasar seng kabarnya sudah dibongkar untuk memperluas pelataran masjid. Sudah menjadi tradisi setiap pemerintahan baru selaku melakukan upaya perbaikan/perluasan masjid. Dan yang paling memungkinkan perluasan dilakukan ke arah pasar Seng. Kalau ke arah sebaliknya sudah rapat tertutup hotel bintang 5.
Minggu, 24 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar