Minggu, 24 Oktober 2010

Haji 2006 - Makanannya Maknyus.....

Kami tidak tahu bagaimana urusan makan jemaah sebelumnya. Tahun 2006 jemaah memasak sendiri. Beruntung kami siap dengan bekal lauk pauk kering atau makanan kaleng. Praktis kami hanya perlu memasak nasi. Beras tersedia, rice cooker pun ada, maka sekedar nasi hangat selalu tersedia. Namun siklus hidup seperti berubah. Waktu tidur lebih banyak digunakan itikaf di mesjid. Siang sebagai waktu beraktivitas, digunakan beristirahat. Kebiasaan tersebut terbawa pada pola makan. Adakalanya dini hari sepulang dari masjid, perut keroncongan minta diisi. Maka tidak heran jadi terbiasa menyantap nasi jam 2 malam. Sukar diprediksi kapan seharusnya makan, yang pasti begitu lapar ya saat itu juga membuka rice cooker.

Bosan dengan bekal yang di bawa, sepanjang jalan banyak restoran-restoran Arab, Pakistan bahwan restoran Indonesia. Sebelah kiri pintu maktab ada rumah makan Nekmah Surabaya, sedangkan sebelah kanannya sebuah restaurant sederhana milik orang Serang menjual berbagai masakan Indonesia. Namun, kami lebih cocok dengan ayam bakar di RM Pakistan di ujung maktab. 1/2 ekor dihargai 6 riyal. Racikan bumbunya tidak terlalu lekker, mirip yang biasa dimasak mamah. Penjualnya sampai hapal kalau aku pelanggan setianya. Melihat paling pendek terselip dalam antrian, kasirnya selalu lebih dulu memberi nomor waiting list. Biasanya tak lupa kubeli juice buah. 1 liter cukup mengeluarkan kocek 5 riyal. Juicenya memiliki berbagai aroma rasa ; mangga, jambu, jeruk, fruit punch wah pokoknya sesegar buah aslinya. He he…cocok buatku yang malas mengupas buah-buahaan.

Rindu sayuran? Banyak...tapi harganya gila-gilaan. Kangkung, bayam atau daun kacang seikat harganya 1 riyal. Sedangkan wortel dan kol harganya lebih mahal. Padahal di tanah air, Rp. 500 dapat 3 ikat. Tapi apa boleh buat, keinginan makan bakwan goreng membuat kami dengan rela mengeluarkan sejumlah uang. Bisa dimaklumi, sayur-sayuran tersebut diimpor karena tanah arab tidak memungkinkan menanam sayuran. Sesekali sayuran tersebut direbus, disiram bumbu pecel yang dibawa.

Ritual pagi, biasanya mie rebus. Aksesorisnya Cuma telur, kadang direbus, atau didadar. Ditaburi sedikit bumbu penyedap, cukup nikmat disantap panas-panas. Oh ya....telur mudah diperoleh. 3 riyal dapat 4 butir yang mentah, tapi di restoranpun menjual telur rebus 2 riyal dapat 3 butir. Pilihan lainnya, segelas teh susu seharga 1 riyal berpadu dengan roti gandum seharga 2 real dengan isinya ada 8 buah. Duh lezatnya....

Seiring berjalannya waktu, makin hari makin pintar mencari menu baru. Ternyata, di sepanjang jalan menuju Jarwal banyak TKI berjualan lauk pauk. Satu plastik kecil rata-rata 1 riyal juga. Menunya beragam, semur daging, sate ayam (per bungkus isinya 3), terong balado, kembung goreng, bahkan serabi, nasi goreng goreng ataupun nasi kuning tersedia. Transaksinya hanya berlangsungdi pagi hari, biasanya sepulang shalat subuh. Siang sedikit sudah tidak ada. Entah karena habis atau karena pedagangnya bersembunyi di gang-gang kecil akibat dikejar-kejar polisi Arab yang sering melakukan razia buat pendatang haram. Dari logatnya, sepertinya berasal dari Sulawesi. Kalau lagi beruntung bisa beroleh diskon, 3 bungkus cukup membayar 2 riyal saja. Jadi, daripada disibukan memasak, lebih baik belanja yang sudah jadi saja. Toh juga ada living cost yang diberikan kepada jamaah haji untuk biaya hidup sehari-hari.

Ada jamaah yang cukup dekat, aku kerap memanggilnya Mak Imoh, istri istri pensiunan pegawai negeri. Profesinya adalah paraji (dukun beranak). Kalau berpergian dengan memakai bus aku sering duduk berdampingan. Dalam perjalanan sering tertidur karena tangannya tak henti memijit punggungku yang pegal. Benar-benar membuatku teringat mamah di rumah. Malam-malam kalau badan pegal, aku sengaja datang malam-malam ke kamarnya minta diurut. Dan Mak Imoh dengan senang hati mengurut-urut, padahal dipikir-pikir mak Imoh juga sama kecapaiannya. Tidak hanya itu, kadang-kadang kalau kami sudah bingung dengan selera makan, mak Imoh membuatkan tutug oncom. Nasi panas dicampur bumbu penyedap dan goreng oncom yang kering. Duh…kalau sudah makan ini sering home sick.

Pernah kami merindukan sambel, padahal saospun sudah habis. Turun ke bawah, lari ke toko sebelah beli cabe hijau 1 riyal sejumput, kemudian digoreng ½ matang dengan mentega, terus disiram kecap, dimakan dengan nasi hangat. Nikmat sekali rasanya.

Sekali-kali menyantap Mac Donald yang outletnya terletak di Bindawood, persis berbatasan dengan halaman masjid Harram. Harganya 15 riyal, kendati agak mahal sebanding kuantitasnya ; 3 potong ayam besar plus setumpuk kentang goreng. Namun kami sendiri lebih suka Albaik Fried Chiken. Ayam goreng Arabic ini sangat lezat. Bumbunya meresap dan saosnya itu yang bikin nikmat, mirip saus Salad thousand Island. Selain ayam goreng, tersedia juga udang dan kakap. Namun untuk mendapatnya kita harus masuk dalam antrian panjang.

Adakalanya bolak-balik ke maktab dari masjid terasa cukup melelahkan. Malas kembali ke maktab untuk makan siang, biasanya membekali diri dengan sebungkus nasi putih buat berdua. Usai salta tingla mencari lauk pauk di restaurant yang berderet di pinggir masjid. Kami memilih tempat di pelataran masjid yang teduh. Banyak jemaah melakukan hal yang sama. Tak jarang kami berbagi penganan dengan jamaah dari berbagai negara. Cukup dengan tersenyum dan menyodorkan segenggam makanan, mereka sudah dapat menangkap niat tulus kami. Kadang berbalas, mereka kerap menyodorkan makanan yang mereka miliki. Alhasil kami sempat mencicipi beberapa makanan asing yang agak aneh di lidah.

Sebelum berangkat ke tanah suci, kami pernah berdoa agar segala makanan yang kami santap menjadi berkah. Selera suamiku yang kukhawatirkan. Suamiku agak pemilih. Setiap menyantap sayur, tak mau irisan bawang ikut termakan.. Maka sambil menyantap nasi, semua irisan bawangnya bertumpuk memenuhi pinggiran piring. Belum kalau makanannya tidak sesuai selera sudah dipastikan tidak mau makan sebelum dibujuk. Namun Alhamdullilah....Allah SWT mengabulkan doa kami sehingga tidak pernah menemukan kendala dengan makanan. Semua yang masuk langsung beradaptasi dengan perut melayu. Benar-benar barokah dari Allah SWT. Apapun yang disodorkan selalu dihabiskan tanpa protes. Gulai kambingpun dilahapnya dengan semangat. aku hanya mampu menatapnya dengan cemas mengingat hasil pemeriksaan terakhir gula darah dan kolesterol suamiku cukup tinggi. Namun suamiku selalu meyakini bahwa air zam-zam adalah obat dari segala penyakit. Amiin....

Pokoknya, disini tidak usah bicara komposisi gizi, melahap makanan yang semuanya dalam kategori karbohidratpun tak masalah yang penting tenaga pulih seperti sedia kala. Jadi kalau meniru istilah Pak Bondan....makanannya maknyus.....

0 komentar:

Posting Komentar