Maka, sebagaimana kaum muslimin seluruh dunia, melaksanakan ibadah ke tanah haram menjadi dambaan kami. Haji merupakan rukun Islam ke lima yang di dalamnya terkandung rukun-rukun Islam lainnya seperti Syahadat, Shalat, Puasa dan Zakat. Haji sering dianggap sebagai penyempurna rukun Islam. Kewajiban haji jelas tertuang dalam QS Al Imron ayat 97 ”Berhaji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah, barang siapa yang kafir [mengingkari], maka sesungguhnya Allah Maha Kaya”.
Sejak tahun 2000 kami mulai menabung dengan harapan tahun 2010 dapat berangkat ke tanah suci. Kami ingin menunaikannya paling tidak sekali seumur hidup. Bukankah Rasulullah SAW berpesan "Wahai manusia, Allah telah memfardukan haji bagi kamu, maka laksanakanlah." Kemudian seseorang bertanya, "Apakah haji itu dikerjakan setiap tahun ya Rasulullah?" Rasulullah SAW kemudian diam, sampai-sampai lelaki itu mengulangi pertanyaan itu sebanyak tiga kali. Kemudian Rasulullah SAW berkata: "Andaikan aku katakan Ya maka akan menjadi wajib sedang engkau tidak akan mampu memenuhinya", lalu Nabi melanjutkan ”Biarkan jangan otak-atik apa yang tidak akan sebut. Kecelakaan bagi orang-orang terdahulu adalah mereka banyak bertanya dan berselisih dengan nabi-Nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu lakukanlah, jika aku larang maka hentikanlah”.
Dari apa yang disampaikannya, jelas bahwa Nabi seorang pemimpin yang berwawasan panjang. Kelak, umat islam tersebar sampai ke pelosok bumi, perjalanan haji tidak hanya memerlukan kekuatan fisik, namun juga materi. Oleh karenanya agar tidak memberatkan wajib haji hanya sekali selebihnya sunnah.
Apakah harus disegerakan? tentunya iya karena Rasullulah juga mengatakan "Segeralah engkau laksanakan ibadah haji, karena tidak satu orang pun yang mengetahui apa yang akan terjadi".
Sejelas apapun petunjuk tentang ibadah haji, saat itu hati kami tetap belum tergerak untuk mempercepat dari jadwal yang direncanakan. Yang kupikirkan anak-anakku yang masih kecil ; 9 tahun dan 6 tahun. Perasaan belum tega meninggalkan mereka 40 hari.
Kepulangan orang tua kami dari tanah suci pada bulan Februari 2005 menorehkan kisah perjalanan ruhaniah yang begitu menggores jiwa. 2 Mei 2005 kami memutuskan untuk ibadah umroh. Pikiran kami ibadah umroh ini akan dijadikan semacam ibadah perkenalan sebelum sampai pada ibadah akbar yaitu haji. Bertiga ; aku, suami dan kakak berangkat menunaikan ibadah Umroh.
Perjalanan umroh tersebut menoreh hikmah yang tak terlupakan karena memberikan pengalaman bathin yang luar biasa. Ada kenikmatan yang tak sanggup kulukiskan dengan kata ketika bersujud di rumah Allah datang dengan seribu penyesalan, memohon setitik pengampunan atas selaksa kekhilapan. Ada penyesalan yang mendalam, mengapa selama ini terhanyut dalam godaan kesibukan dunia sampai menunda suatu kenikmatan yang tidak ternilai ini.
Sekembalinya umroh, keinginan kembali ke tanah haram begitu merasuki hati. Baitullah tak lepas di pelupuk mata, kerinduan untuk berdoa di Multazam dan Raudah begitu menggelora. Namun rasa berat meninggalkan anak-anakku masih menggoyahkan niatku. Begitu juga dengan kesibukan menyelesaikan studiku menambah keraguan.
KH. Muhyiddin Abdul Qadir Zaelani MS seorang kyai kharismatik di Sumedang tempat memahami kegamanangan kami dan menyampaikan nasihat yang langsung menghujam pikiran. ”Tidak bijak kita mendahului yang kuasa. Siapapun suatu saat akan meninggal dunia, bisa orang tuanya atau bahkan anaknya yang mendahului. Dalam alur kehidupoan hanya ada 2 pilihan, meninggalkan atau ditinggalkan. Manusia tidak berdaya, semua harus dikembalikan kepada Allah SWT. Kuatkan hati, tekadkan niat, pertebal iman, Insyaallah kita berangkat sama-sama”.
Mendengar nasihat tersebut, tiba-tiba malu menyergap perasaan. Malu karena merebut apa yang menjadi hak Allah SWT dalam menentukan nasib manusia.
Alhamdullilah...sejak itu tumbuh keberanian untuk mempercepat keberangkatan. Diawali basmallah, kami membuka tabungan haji dan menyetor Rp. 20 juta sebagai syarat untuk memperoleh kursi. Juni 2006, tersiar kabar bahwa kami termasuk calon jamaah haji yang dapat berangkat pada akhir 2006. Aku dapat membuktikan tausyiah Ustadz yang ceramah di kantorku, ”Haji itu yang utama adalah niat, perkara rezeki insyaallah Allah SWT yang akan memberi kemudahan”. Allah SWT banyak memberi kelapangan dalam meneratas jalan menuju baitullah. Pada saat memerlukan biaya selalu terbuka jalan sehingga dapat terpenuhi sesuai ketentuan.
Kami meyakini ibadah haji merupakan bentuk keimanan kepada yang pencipta yang harus dibarengi oleh tata cara yang benar, dalam tahapan-tahapan sesuai aturan dan ditempuh menurut ketentuan waktunya masing-masing. Tentunya, kami tidak ingin seperti berjalan dalam kegelapan sehingga memerlukan pembimbing yang senantiasa menuntun agar sampai ditujuan yang seharusnya. Untuk itu, kami memilih bergabung bersama Majelis Taklim Asy – Syifaa Al Mahmudyah dibawah bimbingan langsung KH. Muhyiddin Abdul Qadir Zaelani MS.
Waktu bergulir dengan cepat, keberangkatan tinggal dalam hitungan bulan. Perasaan kembali berkecamuk antara bahagia dan sedih berbaur menjadi satu. Bahagia karena dapat berangkah lebih cepat dari yang direncanakan. Sedihnya, harus meninggalkan anak-anak. Apabila kekhawatiran sudah mendominasi pikiran aku istighfar seraya memohon kekuatan dari sang pencipta.
Kami mulai menata hati agar lebih kuat, ikhlas dan tawakal terutama dalam mempersiapkan mental anak-anak. Awalnya ada penolakan kendati tidak secarta frontal. Setiap kami sibuk mempersiapkan segala sesuatunya, diam-diam mereka memandang di sudut ruangan dengan mata berlinang. Ada perasaan tidak tega, namun kami harus kuat dan mencoba memberi pemahaman. Alhamdullilah...ayahnya sudah mengajarkan tauhid sejak mereka kecil, kami tengah memetik hasilnya. Dengan alam pikirannya yang masih sederhana, lambat laun mereka memahami kewajiban setiap muslim kepada penciptanya. Bahkan hati semakin mengharu biru, takala mereka mengutarakan tekadnya untuk rajin menabung agar bisa berangkat umroh. ”Ya Allah kabulkanlah keinginan mereka... Ya malaikat Allah aminkan doa mereka... berilah kami kesehatan dan panjang umur agar kelak dapat membawa mereka ke baitullahMu”.
Persiapan fisik tak luput dari perhatian kami. Selesai shalat subuh biasanya mulai latihan jalan kaki. Beberapa barang yang diperlukan sudah dikumpulkan. Baik untukku maupun untuk suamiku. Barang terakhir yang masuk ke koper adalah kain kafan. Kain itu lama dalam genggamanku karena hati tiba-tiba menjadi nelangsa. Kain kafan menjadi pertanda bahwa setiap yang berangkat harus ikhlas sekalipun harus pulang hanya membawa nama.
Dalam hitungan hari kami mulai menitip berbagai pesan (berat menyebutnya wasiat) terutama yang bersentuhan langsung dengan masa depan anak-anak. Hal tersebut tidak pernah dapat dibicarakan secara tuntas. Pembicaraan berlangsung berulang-ulang karena kalau sudah tidak sanggup membicarakannya pembicaraan dialihkan ke masalah lain terlebih dahulu. harinya.
Manasik dilaksanakan di Sumedang setiap Sabtu mulai jam 10.00 WIB. Waktunya bertepatan dengan jadwal bimbinganku. Praktis waktu kubagi dengan ketat. Beruntung, Prof. Nina Syam merupakan dosen yang tiap tahun berangkat umroh sangat islami, begitu juga dengan Pak Pawit yang baru saja menunaikan ibadah haji, mengetahui aku tengah marathon mengejar waktu penyelesaian tesis dengan keberangkatan ke tanah suci, keduanya sangat mendukung dan memberi kemudahan.
Usaha itu tidak sia-sia, tanggal 25 Nopember 2006 sidang tesis, 4 Desember 2006 wisuda, 17 Desember 2006 acara walimatul safar dan 20 Desember 2006 berangkat tanah suci Mekah. Sungguh Allah maha rahman dan maha rahiim...yang senantiasa membuka pintu bagi orang yang selalu berusaha.
Minggu, 24 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar