Usai menjalankan ibadah haji, kami memilih beristirahat dan menjalankan ibadah rutin ke masjid Harram. 2 hari kemudian, Pak Kiai mulai merencanakan untuk umroh. Kata umroh diambil dari kata i’timar yang berarti ziarah atau berkunjung. Umroh disini artinya adalah menziarahi Ka’bah, thawaf di sekelilingnya, sa’i antara shafa dan marwa, serta bercukur atau menggunting rambut.
Kami masih memiliki waktu sekitar 2 minggu di Makkah akan lebih baik dimanfaatkan untuk umroh. Seluruh rombongan hampir tiap hari melakukannya. Biasanya mengambil miqot dilaksanakan pagi hari.
Umroh memang tidak wajib sebagai mana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam at- Tirmizi, Imam Ahmad bin Hanbal, dan al-Baihaki dari Jabir bin Abdullah. Dalam hadis itu diceritakan bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW: "Beritahu kepada saya, apakah umrah itu wajib atau tidak?"
Rasulullah SAW menjawab: "Tidak, tetapi jika kamu melaksanakan umrah lebih baik bagi engkau."
Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda: "Haji itu adalah jihad dan umrah itu adalah ta-tawwu' (amalan sunah)" (HR. ad-Daruqutni dan al-Baihaki dari Abu Hurairah). Oleh karena itu kami berusaha rajin untuk melakukannya, karena berpikir bahwa ke depan belum tentu Allah SWT memberi kesempatan kepada kami untuk datang kembali ke baitullah yang agung ini. Padahal Nabi dalam sabda lainnya jelas mengatakan ”Antara umrah yang satu ke umrah yang berikutnya akan menghapuskan dosa yang terdapat diantara keduanya, sedangkan haji yang mabrur tidak ada ganjaran yang pantas selain surga”. (HR Ahmad Bukhari dan Muslim).
Sebagaimana hukumnya untuk yang tinggal di Makkah, maka ketika akan melaksanakan kami harus keluar tanah harram terlebih dahulu untuk mengambil miqot.
Di Miqat inilah perbedaan manusia harus dilepaskan. Mulai di tempat miqwat kita kembali mengenakan dua helai pakaian berwarna putih-putih. Sebuah warna yang kelak akan dikenakan ketika manusia membalut tubuh setiap tubuh manusia ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini.
Ada beberapa tempat yang lazim kami datangi untuk mengambil miqot. Dari arah utara, Masjid Tan’im, yang terletak di perjalanan menuju kota Madinah, kurang lebih 6 km dari Masjidil Harram. Dari arah selatan, tempat idha-atu laban, yang terletak di perjalanan menuju Yaman, kurang lebih 12 km dari Masjid. Dari sebelah timur, Ja’ranah, yang terletak di perjalanan menuju Thaif. Dari sinilah Rasulullah SAW biasa berihram untuk umrah. Dari sebelah barat, daerah Hudaibiyah (Syumaisi) yang terletak di jalur lama jalan menuju Jeddah dan sebagai tempat pelaksanaan Bai’at Ridhwan.
Jam 8 pagi biasanya sampai di tempat miqot, usai mengulangi wudhu kami lakukan shalat tahiyatul masjid yang diikuti shalat sunat ihram, kemudian membaca niat umroh, baik bagi diri sendiri maupun untuk orang lain. Jam 10.00 mobil sudah menurunkan kami di pelataran Masjid Harram. Dimulai dengan thawaf, kemudian shalat sunat 2 rakaat di maqom Ibrahim, meminum air zamzam, sa’i dan berakhir dengan mencukur rambut. Maka selesailah satu ibadah umroh. Alhamdullilah selama menunggu keberangkatan ke Madinah aku mampu menunaikan seluruh ibadah umroh yang dijadwalkan yaitu 10 kali.
Pak Kiai sangat memperhatikan batas tanah Harram, terutama di masjid Tan’im ada beberapa area di pelataran masjid yang tidak menjadikan sah dalam mengucapkan niat. Umroh ini kami lakukan sepenuh hati. Mumpung kami masih berkesempatan tinggal di tanah Harram maka segala bentuk ibadah yang memungkinkan ingin aku lakukan dengan sebaik-baiknya. Maka dengan melawan rasa kantuk, kami tetap bergembira menempuh perjalanan untuk mengambil miqot.
Bila bermaksud mengambil miqot dengan menggunakan mobil umum sebaiknya memilih taxi. Pengemudi omprengan biasanya berasal dari Arab badui yang berkulit gelap, mereka agakkasar dan mengemudikan kendaraan dengan ugal-ugalan. Syukur kalau ada mutawif yang mengingatkan. Kalau kita paling diam saja karena tidak paham harus bilang apa.
Minggu, 24 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar