Minggu, 24 Oktober 2010

Haji 2006 - Miqot Ji’ronah Dan legenda Nyi Roitoh

Tempat miqat yang kerap kami kunjungi adalah Jirannah. Ji’ranah merupakan nama seorang perempuan yang konon memiliki nama lain yaitu Roitoh. Bukan perempuan istimewa, melainkan perempuan bodoh yang melakukan pekerjaan sia-sia. Allah menggambarkan perempuan ini dalam Surat An nahl ayat 92 ; ” Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali...”.

Ji’ranah merupakan sebuah perkampungan di wa’di Saraf yang berjarak sekitar 24 km dari Masjidil Harram menyusuri jalan Ma’bad. Rasullulah dan sahabatnya yang terlibat perang Hunain, pernah meninggalkan tawanan dan rampasan perang dari orang-orang hawazain. Dan usai perang, pada malam yang sama Rasullulah dan rombongan mengambil miqot di tempat ini.

Di sekitar masjid Ji’ranah terdapat Sumur Thoflah. Menurut riwayat disumur ini terdapat salah satu Mu'jizat Rasulullah saat kehabisan air setelah usai perang Hunain. Ketika Rasulullah bersama pejuang Islam berhenti untuk membagi-bagikan hasil kemenangan perang, karena persediaan air habis Rasulullah memukulkan tongkatnya dan serta merta keluarlah air. Air sumur disini tidak pernah kering.

Beberapa anak menawarkan jerigen dan menunjukkan sebuah sumur yang dipasangi kran air. Konon air ji’ranah berkhasiat untuk mengobati beser (banyak buang air). Beberapa jamaah laki-laki kasak-kusuk berbisik satu sama lain, ternyata air Ji’ranah juga berkhasiat menambah keperkasaan laki-laki.

Melihat beberapa diantara sudah mulai celingukan mencari penjual jerigen, Pak Kiai memperingatkan bahwa sumur yang berkhasiat itu bukanlah sumur yang dikerubuti para jamaah. Sumur yang asli berada di belakang masjid yang dikeliling pagar besi terkunci.

Seorang kakek tua penjaga masjid, memperhatikan kami yang dengan tekun mendengarkan tausyiah. Setelah mengucap salam bersama, kakek tua itu melambaikan tangannya kepada Pak Kiai. Dalam pembicaraan singkat yang tidak kami pahami ternyata kakek penjaga itu memberi tahu bahwa air yang diperebutkan orang itu bukan air yang berkhasiat. Dengan sedikit lobby dan diplomasi, Pak Kiai diminta kembali tengah malam untuk mengambil air dari sumur yang berada di dalam bangunan terkunci. Alhamdullilah...yang namanya rezeki tidak kemana-mana. (Malam hari berikutnya, tiap jamaah sudah diantar satu botol air Ji’ranah ke masing-masing kamarnya).

Usai shalat sunat thahiyatul masjid dan salat sunat ihram, di pelataran masjid kami bersama-sama mengucapkan niat umroh. Di bawah komando ketua regu kami diminta menaiki bisnya masing-masing. Beberapa jamaah mampir sebentar singgah di kedai kaki lima yang menggelar batu-batu dan tasbih. Disini memang banyak penjual segala macam batu mirah delima, kecubung, dll.

Kami berdua bukan peminat batu. Toh kalaupun suka tentu sudah sering hunting ke pasar rawa bening di Jatinegara. Tapi sekedar oleh-oleh aku ambil beberapa. Yang istimewa adalah tasbih yang terbuat dari batang kayu yang mengeluarkan aroma wewangian. Rasanya sangat lembut, makanya tasbih itu sering kucium-cium. Harganya cukup mahal, tergantung kepiawaian kita menawarnya. Suamiku membelinya 40 riyal, sementara temanku harus mengeluarkan uang 60 riyal. Selain itu, kami juga membeli tasbih raksasa yang terbuat dari batu berwarna mencolok ; hijau, merah, ungu, dll. Harganya hanya 10 riyal.

Setelah dipanggil beberapa kali lewat pengeras suara, akhirnya kami beriringan menuju mobil. Di mobil kami kembali dalam kekhusuan mengucapkan talbiyah sepanjang perjalanan menuju masjidil Harram. Saatnya ibadah kembali tiba, saatnya persoalan dunia dilupakan, menghadapkan muka dan pikiran pada Allah SWT.

0 komentar:

Posting Komentar