Minggu, 24 Oktober 2010

haji 2006 - Suamiku ”disambut” Rasullulah

Shalat jamaah pertama bagi kami di masjid Nabawi adalah shalat jum’at. Usai shalat kami janjian bertemu di depan toilet nomor 5. Setelah itu kembali ke hotel karena barang-barang masih banyak yang belum dibereskan.

Akibat keletihan suamiku tidak dapat mengikuti shalat ashar Teman sekamarnya tak ada yang berani membangunkan melihatnya masih tertidur lelap. Aku sendiri tidak mengetahui secara persis karena menempati lantai yang berbeda. Berangkat ke masjid biasanya berombongan dengan teman-teman sesama perempuan. Dan setelah shalat ashar aku memilih itikaf di masjid. Biasanya, pada saat jamah keluar setelah melaksanakan shalat ashar, aku merangsek masuk mencari tempat yang kosong menunggu sampai adzan maghrib tiba. Selesai shalat maghrib pulang ke hotel karena perut biasanya minta diisi dulu. Makan malam sudah tersedia dalam kotak-kotak besar di depan lift. Alhamdullilah...jatah makanan normal, masakan Indonesia walaupun
jenisnya dari hari ke hari masih itu-itu saja.

Usai shalat Isya, di lobby aku lihat suami banyak diam dengan wajah murung. Ketika kutanya apa sebabnya, jawabnya hanya pendek karena ketinggalan shalat ashar akibat tertidur lelap. Sementara rekan sekamarnya tak berani membangunkannya. Sempat terbangun dan langsung ke masjid namun sudah tertinggal shalat jamaah. Suamiku tetap sedih walaupun untuk menggenapi shalat arbain masih cukup waktu. Setelah shalat Ashar kesedihannya tidak berkurang sehingga bermaksud ”mengadu” ddi Raudah. Tetapi seluruh pintu masuk sudah dijaga Askar. Langkah dibelokkan menuju pintu Babussalam, masuk menuju Raudah dan meminta ijin untuk berdoa di dalamnya. Doa terus dilanjutkan sampai shalat Isya.

Aku menghiburnya dan menyarankannya untuk menebusnya dengan itikaf. Suamiku memberi tahu kalau nanti malam akan datang awal. Aku hanya mengangguk, toh juga tidak bisa ikut karena tempat shalat terpisah.

Seusai shalat dhuha kami bertemu kembali. Suamiku banyak diam. Aku membiarkannya saja, menunggu kerelaan hatinya untuk menceritakan apa yang mengganggu pikirannya. Tak berapa lama mengalir ceritanya dan mengaku masih bingung karena mengalami pengalaman yang menakjubkan.

Dini hari pukul 2.30 bersama dengan teman-temannya, suamiku menuju Raudah. Di Raudah suamiku melaksanakan shalat tahiyatul masjid dilanjutkan shalat tahajud dengan berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Keluar dari raudah suamiku terlebih dahulu mengucapkan salam kepada Rasullulah beserta 2 sahabatnya. Kemudian lewat pintu Nisa suamiku masuk ke belakang makam Rasullulah. Sambil menunggu shalat subuh suamiku berdzikir dan berdoa serta bershalawat kepada Nabi. Merasa letih, suamiku mengubah duduk dengan berbaring dalam keadaan badan menghadap ka’bah. Kemudian duduk kembali dan melakukan tauhid untuk memusatkan hati dan pikiran pada yang maha kuasa. Sesekali diselingi oleh salam dan shalawat buat Rasullulah dan para sahabatnya. Dalam kekhusuan doa tiba-tiba muncul suara :

“Assalamualaikum…saya Rasullulah” (Saat itu sudah merasa berada di shaft pertama. Rasullulah muncul berdiri di sebelah kanan tempat imam dalam keadaan utuh di bagian depan)

“Wallaikum sallam...Ya... Rasullulah. Apakah engkau yang akan menjadi imam”. (Hati suamiku merasa sangat bahagia karena shalatnya akan diimami oleh Nabi).
“ Tidak”
“Kalau tidak menjadi imam apakah engkau akan menjadi makmum?”
”Tidak”
Tidak menjadi imam dan tidak menjadi makmum, lalu jadi apa. Hal iti yang terbersit dalam pikiran suamiku.
”Saya tidak menjadi imam dan tidan menjadi makmum karena saya sudah meninggal dunia”, jawabnya memahami keingintahuan suamiku.

Suamiku merasa kembali berada di belakang makam Rasullulah.
Rasullulah melanjutkan ”Jangankan diriku... Abu Bakar As Sidiq, Umar bin Khatab bahkan Utsman bin Affan (tangan beliau menunjuk ke arah pemakaman Baqi) sekalipun ada disini”.

Tatapan Rasullulah menuju Raudah di sisi mimbar. Terlihat jejeran para sahabat sedang duduk dengan takzim. Rasullulah kembali melanjutkan ”Aku ada dan selalu ada...Aku ada dan selalu ada...Aku ada dan selalu ada”, demikian diucapkan beliau berulang kali dan menyampaikan beberapa nasihat lainnya untuk mendekatkan diri pada Allah.

Suamiku tersadar saat berkumandang adzan subuh. Perasaan yang timbul berbaur antara sedih, takut, senang dan bingung. Kesedihan yang mendalam timbul karena merasa melaksanakan shalat jenazah. Perasaan takut tumbuh karena merasa shalat kali ini diawasi oleh Rasullulah sehingga khawatir shalatnya tidak khusu dan sempurna. Perasaan senang karena bisa bersua dengan Rasullulah. Sementara perasaan bingung terjadi karena kegalauan hati yang terus bertanya apakah itu mimpi atau khayalan. Namun suara itu masih terekam dengan baik, suara yang sangat lembut namun begitu jelas. Wajah yang begitu teduh, namun tergambar raut muka tegas. Muka tampan dengan rambut memakai penutup kepala (sorban). Kulitnya putih kemerahan.

Menurut suamiku, wajah yang dilihatnya persis sebagaimana yang pernah dilihatnya saat umroh 1,5 tahun yang lalu. Saat itu, sedang itikaf menungggu dzuhur berdoa menumpahkan kecintaan dan kerinduan kepada Nabi. Dengan badan merapat ke dinding masjid di shaft pertama sambil menghadap ke makam Rasullulah. Muncul seberkas cahaya terang dengan seraut wajah yang bersinar berada di tengah-tengah cahaya keluar dari makam Rasullulah dengan wajah tersenyum. Terpesona oleh kehadiran cahaya yang bersinar, hati suamiku bertanya wajah siapakah itu. Selesai shalat sempat ditanyakan suamiku pada banagnya. Jawaban yang diperoleh hanya mengisyarakatkan untuk diam dan tidak bertanya-tanya lagi.

Cerita tersebut selalu terpatri di hati kami berdua. Aku sebagai istrinya yang memahami kesehariannya, sangat mempercayai apa yang diceritakannya. Namun kami berdua takut dianggap mengada-ada. Cerita inipun sempat disampaikan kepada kedua anak kami yang mendengarnya dengan takjub. Dengan hati yang masih sangat bersih, mereka begitu terpukau dengan pengalaman ayahnya. Mereka juga meyakini dan mempercayai apa yang dialami oleh ayahnya.

Allah SWT memberi jawaban untuk keraguan kami berdua. Sekembalinya ke tanah air, kami membawa anak-anak ke Moslem Book Fair di Istora Senayan. Moment ini selalu kami manfaatkan untuk hunting buku-buku bacaan bermutu, terutama buat anak bungsuku yang menyukai cerita nabi dan sahabat-sahabatnya. Tiba-tiba si sulung mengambil satu buku yang tampak berada di tumpukan paling atas.
”Yah ada buku tentang mimpi bertemu nabi”, ujarnya sambil menyodorkan buku tersebut.

Bergegas kami berdua mengerubungi buku tersebut. Tidak perlu dibuka, dalam nukilan di covernya terlihat dengan jelas bahwa nabi pernah bersabda bahwa ”Barang siapa melihatku dalam mimpi, maka ia sesungguhnya telah melihatku dengan sebenarnya, karena syaitan tidak mampu menyerupaiku“.

Subhanallah....keraguan kami terjawab, keyakinan kami semakin menguat, ternyata apa yang dilihat suamiku memperoleh jaminan dari nabi sendiri. Aku lihat air matanya berjatuhan membasahi pipi. Anak-anak sampai terbengong-bengong melihat ayahnya tiba-tiba menangis, aku menarik keduanya membiarkan suamiku larut dalam perasannya.

Sampai saat sekarang suamiku tidak dapat memastikan apakah pada saat itu dalam kedaaan sadar atau bermimpi. Juga bahasa apa yang dipergunakan tidak dapat diingatnya dengan baik karena dialog yang disampaikan mengalir lancar. Suamiku mengaku tidak terus menerus menatap wajah itu karena sebagaimana lazimnya kita berbicara dengan seseorang, memandangnya hanya sesekali saja.

Maka dengan memohon keridhoan Allah SWT, aku menuliskan pengalaman ini dengan maksud berbagi dengan siapa saja yang membacanya. Aku yang tidak memiliki pengalaman yang sama dengan suamiku tak berkecil hati, karena hak Allah SWT untuk memilih siapa-siapa saja yang diberi kesempatan mengalami pengalaman batin yang luar biasa.

0 komentar:

Posting Komentar