Selama mukim di Makkah dan Madinah, suami istri terpisah ruangan. Pemisahan tersebut sangat ketat terutama pada saat kami berihram. Namun sejak awal Pak Kiai mengosongkan 2 kamar. Kamar tersebut diklaim sebagai kamar barokah.
Awalnya aku tidak memahami apa yang dimaksud kamar Barokah. Namun usai menjalankan ibadah haji banyak mulai yang kasak-kusuk. Hal itu menjadi jelas setelah Pak Kiai mulai mempersilahkan pasangan suami istri menempatinya bergantian. Ternyata kamar tersebut diperuntukan bagi suami istri yang ingin melepaskan hasrat berhubungan mengingat sudah tertahan beberapa minggu. Entah sejak kapan adanya tradisi kamar barokah ini.
Karena dikhawatirkan antri, maka setiap pasangan hanya boleh menempatinya selama 2 jam. Kuncinya dipegang ketua regu. Banyak diantaranya jamaah laki-laki yang dengan pedenya meminjam kunci. Jamaah perempuan biasanya menunggu ajakan. Kendati ada yang diam-diam, namun ada juga yang terang-terangan memproklamirkan rencananya memanfaatkan kamar barokah. Sudah dapat dipastikan, mereka yang ketahuan masuk kamar barokah menjadi bahan guyonan. Biasanya yang dituju hanya mesam-mesem dengan muka merona merah.
Sebenarnya banyak cara untuk tidak tergantung kamar barokah. Kamar maktabpun banyak digunakan bergantian. Toh kebanyakan waktu dihabiskan untuk itikaf di masjid. Yang penting satu jamaah dengan jamaah lainnya berunding dahulu. Ketika temannya menempati kamar beserta suami/istrinya, teman sekamarnya sudah dberi kode untuk lebih lama itikaf di masjid. Konon tiap kamar memiliki tanda kalau sedang ”dipakai”. Ada yang menggunakan pertanda dengan sandal yang diletakan di depan pintu kamar. Bila sandal hanya sebelah, berarti yang satu lagi ada di dalam kamar beserta pemiliknya. Lampu juga bisa dijadikan isyarat. Pokoknya kalau untuk masalah yang satu ini tumbuh kreativitasnya tanpa diminta.
Antrian kamar barokah berkurang seiringnya banyaknya jamaah haji yang pulang atau berpindah ke Madinah. Seminggu sebelum kami beranjak Ke Madinah, maktab hanya diisi oleh kloter 70. Beberapa lantai sudah kosong ditinggal penghuninya. Belakangan saya baru tahu, ternyata beberapa jamaah ”main mata” dengan pengelola maktab menyewa kamar-kamar tersebut. Katanya lebih bebas karena bisa lebih leluasa dan tidak perlu mengendap-endap ketika memasuki kamar. Namun dari bisik-bisik yang kudengar, hotel-hotel yang mulai kosong juga menyediakan kamar short time. Tarifnya 20 – 50 riyal sekali pakai. Ha ha ha.... Memang kalau hasrat sudah di kepala, tidak di rumah, tidak di tanah harram selagi dihalalkan tetap akan dicari.
Banyak yang mengira kami lebih suka menyewa kamar hotel di sepanjang jalan menuju Harram. Padahal tidak sama sekali. Bisa dibayangkan bagaimana cara mengkomunikasikan maksud kami ke penjaga hotel, mengingat mereka kebanyakan hanya bisa berbahasa Arab.
Beberapa kali Pak Kiai mempertanyakan apakah sudah memperoleh giliran menempati kamar barokah. Kami hanya menjawabnya dengan senyum kecil. Suatu hal yang membuat kami malu kalau harus diungkapkan secara terang-terangan. Toh untuk masalah yang satu ini bisa saja diatur dan dikendalikan tanpa harus ribut-ribut.
Minggu, 24 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar