Kedatangan kami yang berbarengan dengan waktu shalat subuh, namun waktu yang mepet tidak memungkinkan ikut shalat berjamaah di masjid. Waktu tersita untuk menurunkan barang dan membenahinya ke kamar masing-masing. Pak Kiai kembali berpesan agar jam pagi berkumpul di lobby hotel untuk bersama-sama ziarah ke makam nabi. Jam 7.00 semua sudah siap dengan dandanan terbaiknya.
Pagi ini kami akan ‘mengunjungi’ junjunan yang paling kami cintai. Bukanlah Allah berfirman ”Hai anak-anak Adam! Pakaialah perhiasan kalian pada tiap-tiap pergi ke masjid; makanlah dan minumlah, tetapi janganlah kamu melewati batas, karena sesungguhnya Allah itu tidak suka kepada orang-orang yang melewati batas”. Pagi itu, semua jamaah tampak cantik dan gagah. Aura positif ini tidak semata-mata dikarenakan pakaian terbaik yang dikenakan, melainkan oleh kebahagiaan karena kami hendak ’bertemu” kekasih Allah.
Matahari mulai meninggi, udara Madinah masih sangat dingin menusuk kulit. Jas hitam yang kerap menemani menyusuri Makkah di malam hari, tak membuat kami merasa lebih hangat. Sehelai phasmina tebal kubalutkan pada leher sekedar menghangatkan badan.
Setelah tausyiah singkat mengenai keutamaan Madinah dan Masjid Nabawi, seluruh rombongan bergerak menuju masjid dengan tertib. Masjid hanya terlihat dari sudut jalan, karena persis di depan pelatarannya dibentengi oleh hotel berbintang yang merangkap pusat perbelanjaan.Kendati untuk kedua kalinya ke Madinah, seperti juga saat menyaksikan masjid harram, tak urung tetap tergetar menyaksikan keagungan masjid Nabawi yang begitu luas. Pagar hijau yang tinggi dan kokoh menjadi penanda batas antara masjid dengan area umum.
Masjid ini menjadi pusat kegiatan kota Madinah karena ada makam Nabi Muhammad SAW beserta 2 sahabat yang sangat dikasihinya Abu Bakar As Sidiq dan Umar bin Khatab. Dari luar masjid, letak makam ditandai dengan kubah besar berwarna hijau.
Dari pintu masuk kami berbelok ke kanan, menyusuri area depan masjid terus melewati tempat imam. Sebelum sampai di ujung yang berbatasan dengan makam baqi, iringan berhenti tepat depan kubah hijau. Dengan serta merta Pak Kiai merapatkan jamaah dan memulainya dengan shalawat dan salam kepada Rasullulah SAW beserta kedua sahabatnya yang setia menemaninya sampai akhir hidupnya.
“ Assolatu wassalamu alaika ya Rasullulah wa ya Nabiyallah wa ya Habiballah…Shalawat dan salam bagimu wahai rasul Allah, Nabi Allah dan kekasih Allah….Ya Allah tempatkanlah junjunan kami pada tempat yang semulia-mulianya disisiMu dan semoga kelak kami termasuk hambamu yang shaleh sehingga dapat berkumpul dengan manusia mulia yang menjadi kecintaanMu ini”.
Kami terpekur dengan pikiran mencoba menerawang menembus batas ruang dan waktu mengingat segala perjuangannya menegakkan Islam. Banyak kemuliaan yang dianugerahkan dalam menegakkan panji-panji Islam. Junjunan kita adalah satu-satunya nabi yang menyaksikan pertumbuhan agama yang diajarkannya sampai diakui seluruh bangsa. Kendati dilahirkan sebagai bangsa quraisy, beliau diakui sebagai pemimpin bangsa, tidak diperuntukkan untuk orang Arab saja melainkan juga untuk bangsa-bangsa dari seluruh golongan ; berkulit putih, merah, kuning bahkan hitam. Beliau mengajarkan kesamaan, tidak ada bangsa (golongan) lebih baik (lebih tinggi) dari bangsa-bangsa yang lain dan tidak ada bangsa lebih rendah dari bangsa yang lain. Beliau senantiasa mengajarkan bahwa manusia memiliki hak yang sama dihadapannya, yang membedakan adalah : ”Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Tuhan ialah yang lebih bertaqwa (memelihara diri dari kejahatan)." 49: 13.
Beliau dikejar-kejar dalam masa dakwahnya. Namun beliau tidak pernah jumawa ketika mengalahkan penentang-penentangnya, malah dengan jiwa besar menyampaikan wahyu : ” Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah." (2: 256)
Beliau satu-satunya nabi yang memperkenalkan pada dunia mengenai satu buku yang berisikan kalimat-kalimat Tuhan yang disampaikan melalui perantaraan jibril untuk disebarluaskan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW.
Kematiannya mengakhiri kenabiannya. Namun ajarannya tetap abadi sampai akhir zaman. Kitab suci yang dibawanya memperoleh jaminan dari Allah SWT untuk tetap terpelihara dari tangan-tangan yang ingin merusak ajaran-ajarannya. Sampai saat ini tak kurang dari 5 milyar umat bumi, minimal 5 kali sehari, menghadapkan wajah dan memusatkan pikiran pada satu tempat yang sama yaitu ka’bah baitullah, sebagai wujud pengakuan terhadap keesaan Allah dan Muhammad sebagai rasulNya. Belum lagi takbir, tahmid dan talbiyah yang berkumandang tiada henti, tak bergeming oleh perubahan siang dan malam. Subhanallah.
Mengenang masa nabi meninggalkan umatnya, aku jadi teringat satu email yang kirim temanku. Kisah itu menceritakan detik-detik Rasulullah saw menjelang sakratul maut.
Pagi itu, meskipun langit telah mulai menguning,burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap. Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah, "Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al Qur'an. Barang siapa mencintai sunnahku, berrti mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk syurga bersama aku."
Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Ummar dadanya naik turun menahan napas dan tangis nya. Ustman menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. "Rasulullah akan meninggalkan kita semua," desah hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar. Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau busa.
Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.
Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam.
"Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk,
“Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah,
"Siapakah itu wahai anakku?"
"Tak tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak di kenang.
"Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut," kata Rasulullah,
Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap diatas langit dunia menyambut roh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.
"Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?", tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah.
"Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti rohmu. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu,"kata jibril.
Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
"Engkau tidak senang mendengar kabar ini?"Tanya Jibril lagi.
"Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?".
"Jangan khuawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada didalamnya," kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan roh Rasulullah ditarik nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang.
"Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini," lirih Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka.
"Jijikkah kau melihatku, hingga kaupalingkan wajahmu Jibril?" tanya Rasulullah pada Malaikat penghantar wahyu itu.
"Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril.
Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, kerana sakit yang tak tertahankan lagi.
"Ya Allah, dahsyat niat maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku. "
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membusikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bus shalati, wa maa malakat aimanuku, peliharalah solat dan santuni orang-orang lemah di antaramu" .
Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan diwajahnya dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii...Umatku,umatku, umatku"
Dan, pupuslah kembang hidup manusia mulia itu. Kini, mampukah kita mencinta sepertinya? Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wasalim 'alaihi. Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.
Aku tidak mengetahui secara pasti apakah itu kisah yang sesungguhnya mengenai detik meninggalnya nabi, karena pernah kudengar juga dari sebuah tausyiah bahwa nabi meninggal didampingi Siti Aisyah RA usai bersiwak. Namun cerita di atas begitu terpatri di hati.
Sekarang makam Rasullulah berada di dalam masjid. Dulunya, makam beliau merupakan bekas peraduannya di rumah Siti Aisyah. Pada saat orang ramai mencarikan tempat memakamkan Rasullulah, Abu Bakar menengahi dengan mengatakan ”Aku mendengar Rasullulah SAW berkata tak seorang nabipun meninggal kecuali akan dikebumikan di tempat dia meninggal”.
Pada saat Nabi masih hidup, Siti Asyah bermimpi kejatuhan 3 bulan di pangkuannya yang kemudian diceritakan kepada ayahanda Abu bakar As Sidiq. Ketika Nabi wafat, ayahandanya hanya berucap “Ia adalah salah satu dari 3 bulan itu dan yang terbaik”. Ternyata, bulan yang ke 2 adalah Abu bakar yang mewasiatkan agar dimakamkan di samping Rasullulah. Yang ke 3 sahabat lainnya yaitu Umar bin Khattab yang meninggal di tangan seorang majusi bernama Abu lu’luah. Dalam keadaan besimbah darah dan usus terburai, sahabat Rasullulah mengutus anaknya meminta ijin Siti Aisyah untuk dimakamkan disamping Rasullulah yang dikasihi dan dicintainya, sahabat sekaligus menantunya. Siti Aisyah mengijinkannya. Maka 3 manusia mulia yang hidupnya dipersembahkan untuk memperkuat panji-panji agama Islam bersemayam. Persahabatan mereka begitu abadi. Jasadnya terkubur berdampingan seakan tidak rela untuk berjauhan.
Jasad Nabi ternyata menjadi incaran para musuh-musuh Islam. Tak kurang 5 upaya pencurian digagalkan dengan bantuan Allah Azza wa jalla. Berbagai upaya untuk mengamankan makam Rasullulah dilakukan, diantaranya dengan membangun sekat segi lima yang mengitari ke 3 makam tersebut.
Dan sepertinya pembangunan hotel disekeliling masjid merupakan kesengajaan agar orang-orang jahat tidak lagi dapat menggali tanah membuat terowongan dari radius sekian ratus meter menuju makam nabi dengan harapan dapat mencurinya untuk dibawa keluar Madinah. Sekarang, dengan berpagar hotel berbintang lima di sekeliling masjid (kecuali yang berbatasan dengan Baqi), para pencuri akan berhadapan dengan beton-beton bertulang besi yang kokoh. Barangkali itulah upaya yang dilakukan manusia menjaga persemayanan Nabi yang dicintainya, selebihnya aku meyakini Allah SWT akan campur tangan menghadapi setiap gangguan terhadap umat yang paling dkasihinya.
Dan hari ini, aku kembali berdiri di depan masjid Nabawi tepat menghadap ke arah makam Nabi. Hanya doa yang dapat dipanjatkan untuk junjunan tercinta. Rentang waktu yang memisahkan kehidupan Rasullulah dengan kehidupan kita dalam ribuan tahun tak menyurutkan hati untuk tetap mencintai sebagaimana beliau begitu menyayangi dan mengkhawatirkan nasib umatnya, lebih-lebih pada umat yang tidak sejaman dengan masa hidupnya.
Maka dengan takzim sambil menghadap kubah hijau, kami uluk salam dan menyampaikan shalawat kepada Rasullulah. Selangkah ke kanan salam kembali ditujukan buat sahabat nabi, Abu Bakar As Shidiq. “ Selamat sejahtera kepadamu wahai Khalifah Allah dan sahabat Rasullulah”. Abu Bakar As Shidiq merupakan sahabat, mertua yang mendermakan seluruh hartanya untuk membela Islam dan menegakkan kebenaran sampai akhir hayat. Selangkah ke kanan, salam aku ganti untuk Umar bin Khatab “ Selamat sejahtera wahai orang yang dengan tegas memisahkan yang benar dan salah, yang menjaga anak yatim, yang menghubungkan silaturahmi.”
Tiga jenazah suci terkubur abadi di tanah yang dicintai Allah SWT. Kemudian kami panjatkan doa semoga penghulu kami memperoleh tempat yang mulai di sisi Allah SWT. Sebelum meninggalkan tempat, aku menyampaikan salam ustadz Jeffri Al Bukhori (UJE) yang menitipkan salam kepada Rasullulah dan ke 2 sahabatnya.
Minggu, 24 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar