Minggu, 24 Oktober 2010

Labbaika Allahumma Hajjan...


Pesawat mulai bergerak meninggalkan landasan. Sepintas kulirik jam di pergelangan tanganku, waktu menunjukkan jam 24.00. Perjalanan Jakarta menuju Jeddah ditempuh dalam kurun waktu 9 jam. Berarti tiba di Bandara King Abdul Azis sekitar pukul 9.00 WIB atau jam 04.00 waktu Jeddah.

Pesawat melaju tak terasa, padahal dari screen besar di depan kursi penumpang terpampang kecepatannya 1000 km/jam. Satu-satunya pertanda sedang mengudara adalah gemuruh dengungannya. Keberadaan pesawat di atas satu negara ke negara lainnya dapat diikuti dari anak panah yang bergerak perlahan di atas sebuah peta. Setiap beberapa menit mataku melirik screen untuk mengetahui lokasinya.

Selama penerbangan, banyak jemaah yang memilih tidur untuk memulihkan tenaga setelah 24 jam tertahan di Bandara Soekarno Hatta. Aku belum bisa memejamkan mata. Pikiran senantiasa tertambat pada anak-anak di rumah. Tiba-tiba rindu menyergap dada. Mataku kembali berkabut, perasaanku sukar digambarkan karena seperti dihadapkan pada bayangan perjalanan yang masih penuh tanda tanya.

Dalam kelelahan mengikuti angan-angan, pikiran kukembalikan pada kepasrahan untuk menyerahkan segalanya kepada yang kuasa. “Ya Allah lindungi kami, dan lindungi anak-anak dan bapak ibu kami serta semua orang yang mencintai dan mendoakan kami, semoga Engkau memberikan keberkahan, kemudahan dan keselamatan”, doa ini terus kupanjatkan.

Pemandangan di luar gelap gulita. Dalam keheningan, aku melirik sekeliling, kebanyakan sudah tertidur lelap. Kurogoh tas mencoba mencari sesuatu yang mungkin mampu memancing kantukku. Cuma ada HP dan beberapa kartu identitas. Dalam keadaan offline aku masih bisa membaca memory. Iseng kubuka sms yang belum sempat aku baca. Yang paling banyak dari Asya dan Diaz, kemudian dari kakak/adikku, ada juga dari atasanku, beberapa dari teman sekantor dan kawan-kawan alumni Fikom Unpad. Isinya mendoakan agar kami diberikan kemudahan dan keridhoan serta beroleh haji yang mabrur. Ucapan-ucapan tersebut terekam dengan baik di pikiran. Aku bertekad, mereka yang dengan ikhlas mendoakan kami akan menjadi salah satu yang akan kami doakan di tanah suci.

Bosan itu, kembali aku baca doa dari buku bersampul merah marun yang sempat dihadiahkan Ade, sahabatku. Lelah mata menyusuri tulisan-tulisan tersebut, aku menggantinya dengan dzikir melafadzkan asma Allah. Begitu juga halnya dengan suamiku yang tak lepas menggenggam tasbih dan al Qur’an kecil.
Semakin lama ruang pesawat semakin temaram. Hanya beberapa kursi yang masih menyalakan lampu baca. Aku menarik satu selimut berbahan planel yang tersedia di kantung kursi pesawat. Seluruh kaki kubungkus dengan kain berwarna biru itu. Lumayan... terasa lebih hangat. Melihat nyamannya bergelung dibungkus selimut, suamiku melakukan hal yang sama.

Rasa dingin yang makin menyeruak terusir minuman hangat yang ditawarkan pramugari. Ada beberapa yang susah senyum, bisa jadi mereka juga kecapaian menunggu seperti kami. Namun ada juga yang selalu mengumbar senyum, menampakkan ketulusannya dalam melayani jamaah yang kebanyakan baru pertama kali naik pesawat.

Entah berapa lama tertidur, tiba-tiba terdengar suara merdu announcer yang mengingatkan penumpang untuk kembali ke tempat duduk dan mengenakan safety belt. Rupanya pesawat siap melakukan pendaratan. Beberapa jamaah membangunkan jamaah yang masih tertidur. Suara Pak Kiai kembali terdengar mengingatkan untuk selalu berdoa memohon keselamatan. Suasana menjadi hening. Dengung pesawat tidak mampu mengalahan gemuruh di hati kami. Pesawat mengambil posisi landing dan mulai menurunkan ketinggian. Kerlap kerlip lampu di seputar bandara menjadi pemandangan yang sangat menarik. Saking takjubnya, beberapa jamaah yang duduk disamping jendela ada yang memutar tubuh agar dapat mengintip suasana bandara pada dini hari. mereka melupakan perut yang sakit tergulung safety belt.

Pesawat menurun perlahan, bunyi roda keluar dari badan pesawat sempat terdengar di telingaku. Dengan satu goncangan halus, pesawat mendarat di negeri yang menjadi impian setiap kaum muslimin. Saat pesawat mulai menurunkan kecepatan, perasaan tambah berkecamuk, haru dan bahagia membuncah di dada. Alhamdullilah ya Allah…
Awak Saudi Arabia Airlines berjajar mengucapkan salam dan mengantar jamaah dari sebelah dalam pintu. Angin dingin menerpa wajah ketika keluar dari pesawat. Rombongan perlahan menuruni tangga pesawat. Tak nampak sisa kelelahan tampak dari wajah para jamaah. Yang terlihat binar-binar kebahagiaan sampai selamat di tanah penuh barokah ini.

”Ya Allah, hamba mohon kepadaMu kebaikan negeri ini dan kebaikan penduduknya serta kebaikan yang ada di dalamnya. Dan aku berlindung kepadaMu dari kejahatan negeri ini dan kejahatan penduduknya serta kejahatan yang ada di dalamnya”.
Seorang petugas bandara menyambut di landasan dan mengarahkan kami menuju shuttle bus. Sadar ada di negeri orang, setiap calon jamaah berkelompok dan memilih berjejal-jejalan dalam satu bus asal satu kelompok. Bus bergerak perlahan menuju terminal penumpang.

Bandara King Abdul Azis sepertinya tak pernah tidur selama musim haji. Petugas bandara 24 jam beroperasi untuk melayani transit jamaah yang datang dari berbagai belahan dunia. Sesuai perkiraan, menjelang subuh rombongan sampai di lobby pemeriksaan imigrasi. Kami tidak langsung dilayani. Petugas masih memeriksa jamaah dari negara lain. Selama menunggu giliran, kami duduk di kursi kayu panjang. Cukup nyaman untuk meluruskan kaki dan melemaskan pinggang yang kaku.

Suasana antar bangsa mulai terasa. Di pojokan ada sekelompok rombongan berkulit hitam tengah berbincang dengan suara berbisik. Sementara di sudut lain, tampak rombongan kakek dan nenek, mereka sudah berumur tapi kelihatan sehat dan bersemangat. Seragam warna khaki membuat gampang menebak bahwa mereka rombongan jamaah dari Turki. Subhanallah...dalam keragaman budaya dan ras, kami dipersatukan oleh niat yang sama menjejakan kaki di tanah harramMu, semata-mata hanya untuk beribadah dan menganggungkan asmaMu Ya Allah...

Sebagian jemaah mulai antri ke toilet mengambil wudhu. Shalat subuh segera tiba. Di tengah kerumunan, Jamaah bergantian melaksanakan shalat secara berjamaah.
Pemeriksaan memakan waktu sekitar 2 jam. Dapat dimaklumi, pemeriksaan imigrasi tak bisa dilakukan secara kolektif. Kelengkapan dokumen jamaah seperti paspor dan identitas lainnya diperiksa satu persatu dibantu oleh petugas imigrasi Indonesia.
Petugas bandara rata-rata masih muda. Mayoritas berwajah negara teluk, namun ada juga terselip wajah-wajah India. Mereka menyapa ramah dengan menggunakan bahasa Indonesia yang terpatah-patah.

Kami berbaris dalam antrian panjang dengan berbagai tentengan di tangan. Tiba di meja pemeriksaan, petugas mengambil paspor, menatap fotoku kemudian selintas melirik wajahku. Barangkali sedang menyamakan foto dengan wajah yang berdiri di hadapannya. Tanpa bersuara, paspor tersebut di cap sebagai legalisasi. Sambil menunggu aku merogoh segenggam permen yang memang sudah dipersiapkan sejak di tanah air.
”Do you like candy ? ”

Mata petugas itu langsung bersinar. ”Oh yes, I like it”, timpalnya.
Setumpuk kecil permen kusimpan di meja pemeriksaan. Dengan antusias petugas tersebut meraupnya. Dalam sekejap permen beraneka rasa tersebut berpindah ke dalam genggamannya.
”Sukron Siti Rahmah...terima kasih”, ujarnya berulang-ulang. Aku membalasnya dengan senyum kecil.

Hari sudah mulai terang saat jamaah terakhir ke luar dari meja imigrasi. Kami digiring sekitar 300 meter menuju areal terbuka. Rupanya tempat penampungan sementara sebelum diberangkatkan ke Makkah atau Madinah.

Matahari pagi membuat area ini bersimbah cahaya dan menampakan keunikan artistekturnya. Atapnya berbentuk kerucut mirip tenda. Ujung atas tenda dilengkapi beberapa lubang sebagai tempat masuknya udara dari blower pendingin. Tinggi atap sekitar 30-an meter. Satu atap dengan atap lainnya saling berangkaian, sehingga mirip arena perkemahan masal. Tiang-tiang kokoh berdiri meyangga atap berbahan fiberglass menaungi aktivitas awal para jemaah. AC central dipasang di tiap sudut.
Alhamdullilah... Suhu di jajirah Arab sepertinya berkah dari Allah SWT, seterik apapun panas yang menyengat, kami tidak merasa kepanasan dan kegerahan. Tak ada mandi keringat. Cukup kepala dibalut kain, badan akan terasa sejuk.

Masalah fasilitas jangan ditanya. Pemerintah Arab Saudi menyediakan berbagai kebutuhan para jamaah. Kendati bandara ini dipenuhi jutaan manusia silih berganti, kedatangan para jamaah tersebut dapat diatur dengan baik dan ditempatkan dengan tertib sesuai dengan negara asalnya masing-masing.

Iring-iringan rombongan kami menepi menuju sebuah sudut yang ada plang kecil bertuliskan Indonesia. Tengah beristirahat, tiba-tiba kiriman makan siang datang.. Inilah makanan pertama kami di negara ini. Menunya cukup lengkap ; semur daging/ayam, sejumput sayuran dan beberapa goreng kerupuk udang dan buah jeruk atau pisang. Beberapa orang langsung menyantapnya seraya mengambil tempat duduk di lantai. Aku hanya menyimpannya. Selera makan belum tumbuh. Selama di pesawat aku lebih banyak begadang dan menikmati cemilan dan kenyangnya masih terasa.
Usai bebenah, seluruh jamaah diminta untuk segera bersuci. Kami mulai memenuhi kamar mandi yang tersebar di seputar ruang tunggu. Demi keamanan, jamaah perempuan diharuskan pergi bersama-sama, sekurang-kurangnya 2 orang, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Guyuran air yang jernih dan sejuk, menyegarkan badan dan menghilangkan penat perjalanan selama 9 jam. Sudah 2 hari sejak badan belum terguyur air secara penuh. Melihat gelontoran air, kubasuh badan badan mulai ujung rambut sampai ujung kaki. Mandi kali ini harus benar-benar bersih karena inilah mandi wajib menjelang ihram.
Usai mandi, aku keluarkan seperangkat baju ihram baru. Baju ihram yaitu pakaian yang menutup semua badan kecuali muka dan dua tapak tangan. Pergelangan tangan hendaklah terbuka sebagaimana dalam sembahyang. Baju ihram perempuan tidak jauh berbeda dengan pakaian muslim yang sehari-hari kita kenakan. Berbeda dengan kain ihram laki-laki yang berupa dua helai kain lepas (tidak berjahit), sehelai dipakai untuk menutupkan auratnya yaitu di antara pusat dan lutut, sehelai lagi dibuat selendang yang biasanya menutupi dada dan leher. Disunatkan berwarna putih dua kain tanpa jahitan yang menutup bagian bawah badan dan bagian atas.

Setelah semua melakukan mandi wajib, Pak Kiai mengumpulkan kami dan menanyakan kesiapan melaksanakan ibadah haji. Kami diberi pilihan untuk haji Ifrad dan haji Tamatu. Bagi yang sudah tua dapat mengikuti haji tamatu karena lebih praktis dan tidak memakan waktu. Namun semua rombongan menyatakan berniat untuk haji ifrod. Maka kami mulai mengucapkan niat bersama-sama. Berarti sampai thahalul awal kami harus tetap berihram dan menjaga larangan ihram.

Setelah beres melafalkan niat, jamaah langsung diurus petugas haji. Tampaknya mereka mahasiswa atau warga Indonesia yang sudah mukim disana. Hal itu tampak dari dialek jawa yang akrab di telinga kami, tapi juga fasih ketika berdialog dengan petugas-petugas bangsa Arab yang sesekali mengawasi dengan mata tajam tanpa senyum keramahan. Jamaah dibawa oleh seorang pemandu sesuai nomor rombongannya. Setelah memastikan jumlahnya lengkap, mereka mengantar ke atas bus menuju Makkah. Suami istri duduk terpisah. Pemisahan dilakukan karena kami sudah memakai ihram. Laki-laki duduk di bagian depan bis, sementara perempuan menempati bagian tengah dan belakang. Aku berusaha untuk mengingat larangan ihram sebagaimana yang pernah diajarkan di manasik ; tidak boleh memotong dan mencabut rambut, memotong kuku, menggaruk sampai kulit terkelupas atau mengeluarkan darah, tidak menggunakan parfum termasuk yang ada pada sabun, tidak boleh bertengkar, tidak boleh bermesraan, tidak boleh berhubungan suami isteri, tidak boleh berkata yang tidak senonoh, tidak boleh menikah atau menikahkan, tidak boleh berburu atau membantu berburu, tidak boleh membunuh binatang (kecuali mengancam jiwa) dan memotong atau mencabut tumbuhan dan segala hal yang mengganggu kehidupan mahluk, tidak boleh ber make-up, untuk pria tidak boleh memakai penutup kepala, memakai pakaian berjahit dan tidak boleh memakai alas kaki yang menutup mata kaki. Sedangkan wanita tidak boleh : menutup wajah dan memakai sarung tangan sehingga menutup telapak tangan.

Mulut kami tak henti mengucap talbiyah. Laki-laki diperbolehkan mengucapkannya dengan suara keras, sementara yang perempuan cukup melafadzkannya dengan perlahan atau di dalam hati saja.

”Labbaika Allaahumma labbaika, labbaika laa syariika laka labbaika, innal hamda wan ni'mata laka wal mulka laa syariika laka” (Kusambut panggilan-Mu, Ya Alloh, kusambut panggilan-Mu, Kusambut panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, Kusambut panggilan-Mu, sesungguhnya segala puji, karunia, dan kekuasaan hanyalah milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu).

Talbiyah merupakan bentuk pengikraran iman dan tauhid karena talbiyah adalah pengakuan yang sebenar-benarnya tentang keesaan dan kekuasaan Allah. Talbiyah juga merupakan puja-puji bagi Allah SWT yang maha rahman dan maha rahim. Talbiyah yang dikumandangkan jemaah haji laki-laki, sama menggeloranya dengan talbiyah perempuan yang diucapkan dengan perlahan. Yang mempersamakan adalah semangatnya untuk memenuhi panggilan Allah SWT guna melaksanakan ibadah haji. Semoga Allah menerima pengakuan dan kesungguhan kami…

0 komentar:

Posting Komentar