Minggu, 24 Oktober 2010

Haji 2006 - Jarwal 21 Menjadi Rumah Kedua....


Pemerintah Saudi tampaknya terus berupaya untuk memberikan fasilitas yang memadai buat tamu-tamu Allah SWT. Bukit-bukit batu yang memagar Makkah dikeruk diubah menjadi terowongan yang menghubungkan jalan yang satu dengan jalan yang lainnya. Makkah sudah mulai hijau, pohon-pohonan menghias halaman-halaman gedung pemerintah dan jalan protokol.

Bus langsung menuju Maktab 21 di Jarwal, tempat jamaah kloter 70 bermukim selama 1 bulan. Lokasinya berjarak 1 km dari masjid Harram ke arah utara. Pemilik bangunan keturunan Pakistan. Tempat tersebut merupakan bangunan tua bertingkat 8. Semua serba sederhana namun cukup bersih sebagai sebuah hunian sementara. Jamaah Asy Syifaa wal Mahmudyah menempati lantai 6 dan lantai 7. Lantai 6 untuk perempuan dan lantai 7 ditempati laki-laki.

Seluruh paspor dipegang muasasah. Sebagai gantinya adalah kartu identitas yang harus selalu dibawa ketika bepergian ke luar maktab. Tulisannya arab gundul sehingga sulit memahami apa yang tertera di atasnya. Dari fungsinya kutebak pasti memuat lokasi dan nomor maktab. Bila disematkan dibaju dengan menggunakan peniti jadi seperti panitia seminar.

Maklum gedung tua, lift lambat dan kapasitasnya hanya 8 orang. Untuk menggunakannya harus menunggu giliran. Beberapa jamaah yang menempati lantai 1,2 atau 3 banyak memilih menaiki tangga darurat. Begitu lift mulai kosong, aku mengambil giliran. Beberapa ibu tua memegang tanganku dengan kencang, beberapa malah istighfar, maklum lift merupakan barang langka dan belum familiar. Aku mengajari mereka cara menggunakan tombol-tombolnya agar mandiri ketika harus naik turun gedung sendiri.

Tiba di lantai 6, koridor penuh dengan jamaah yang direpotkan oleh tentengan tas. Seluruh kunci kamar masih dipegang Pak Kiai. Setiap jamaah sudah berdiri di hadapan kamar yang diincarnya. Aku menandai kamar di pojok kanan bersama 3 saudara dari Sumedang : Bi Nunung, Teh Teti dan Nina. Maklum sejak awal kami bersepakat untuk tidur sekamar. Kami memilih kamar yang bertuliskan 4 orang.
Begitu pintu kamar terbuka agak tercium bau apek. Bisa jadi kamar ini hanya berpenghuni pada musim haji. Artinya, dalam setahun hanya 1 bulan berpenghuni. Sebuah kamar berukuran sekitar 3,5 x 3,5 m. Ada 3 tempat tidur single yang berjejer rapi dan 1 lagi diletakan melintang di bagian kaki 3 tempat tidur tadi.
Aku edarkan pandangan melihat sudut-sudut kamar. Kendati yang terakhir dibuka, kamar ini lumayan paling nyaman. View nya menghadap ke jalan. Dari jendela kecil terlihat iringan jamaah yang menyemut hilir mudik menjadi pemandangan yang menarik.

Di pojok kiri tampak pintu kamar mandi dengan ubin putih kusam kekuning-kuningan. Aku melongok kedalamnya, cukup bersih kendati sudah tidak ketahuan lagi warna asli interiornya. Satu AC split terpasang di dekat pintu masuk. Sebuah kipas angin tergantung di langit-langit. Aku cek satu demi satu, suara AC mendengung ketika ditekan tombol on. Begitu juga dengan kipas angin suaranya berkelepak memutar baling-baling. Ah...lumayan... Alat-alat itu pasti bermanfaat pada saat kepanasan. Belakangan baru ketahuan, ternyata dari 4 penghuni kamar kamar hanya aku yang tinggal di Jakarta yang membutuhkan AC, sementara saudara-saudaraku dari Sumedang lebih memilih kipas angin. Padahal kamar tersebut didisain untuk AC, satu-satunya ventilasi hanya jendela kecil. Alhasil aku sering merasa pengap, tapi memaksakan memakai AC pun kasihan yang lainnya. Namun inilah ujian untuk ikhlas karena harus lebih toleran terhadap penghuni lain.


Suamiku bergabung dengan 2 temannya menempati salah satu kamar di lantai 7. Seluruh lantai memang dihuni oleh jamaah laki-laki. Pemisahan ini akan dilakukan selama ibadah haji.

Selesai beristirahat, Ketua Regu mengingatkan kami segera membenahi barang-barang sampai tersimpan dengan aman di kamar masing-masing. Usai menyimpan barang, secara berombongan jamaah berjalan kaki menuju masjid Harram untuk melakukan thawaf qudum.
Aku memilih membereskan barang karena sedang berhalangan sehingga tidak bisa pergi ke masjid. Rasa letih yang tiba-tiba menyerang sedikit meredakan kekecewaan karena tidak dapat bersama-sama pergi melaksanakan thawaf Qudum. Seperti kata Pak Kiai, halangan yang dialami setiap perempuan pun merupakan ketentuan Allah SWT karena tubuh kita diberi kesempatan buat beristirahat. Di maktabpun dzikir dan doa dapat kita panjatkan, karena Allah SWT sangat dekat dengan mereka yang senang menyeruNya.

0 komentar:

Posting Komentar