Minggu, 24 Oktober 2010

Haji 2006 - Ber-shalawat Di Mulut Gua Hira

Di sela-sela umroh, kami dijadwalkan untuk napak tilas di beberapa tempat yang terkait erat dengan perjuangan Nabi menegakkan agama Islam di bumi Allah.
Sebagaimana yang sudah direncakana, saat pagi masih belum sepenuhnya tersentuh matahari (orang sunda menyebutnya masih “carangcang tihang), rombongan kami sudah berkumpul di lobby maktab. Hari itu berencana mengunjungi gua hira tempat Rasullulah menerima wahyu pertama dari Allah SWT yang diterima melalui perantaraan malaikat Jibril.

Untuk jaga-jaga kubawa perbekalan yang cukup banyak ; snack, permen, buah-buahan dan minuman 2 botol. Padahal sepiring mie instant dan sebutir telur sempat kusantap berdua suami sebelum masuk ke bus. Belum lagi sebutir suplemen untuk menjaga daya tahan tubuh karena batuk dan pilek kerap menggerogoti staminaku.

Di lobby maktab, wajah sumringah jamaah tampak sangat antusias. Beberapa ibu yang sudah berumur tak menampakan kekhawatiran akan perjalanan kali ini. 2 Bus sudah terparkir siap mengantarkan jamaah ke tempat tujuan. Dengan tertib kami kami mengambil tempat. Dari maktab menuju gua Hira hanya 30 menit. Bus meraung ketika sampai di jalan yang mendaki, kemudian terhenti di sebuh lapangan areal parkir.

Jabbal Nur merupakan gunung berbatu setinggi 621 meter dari permukaan laut, 281 meter dari permukaan tanah. Gunung ini berjarak sekitar 3,2 km sebelah timur Makkah. Letak gua Hira tidak persis di puncaknya, karena keberadaannya 20-21 meter di bawah puncak. Gua Hira berukuran sekitar 3 x 1,3 m dengan ketinggian sekitar 2 meter. Luas gua Hira hanya cukup untuk 2 orang shalat. Bagian kanannya terdapat teras dari batu yang cukup digunakan untuk shalat 1 orang dalam keadaan duduk.
Dulu, di gua inilah Nabi biasa menyendiri, terutama ketika Ramadhan. Dan di gua ini jugalah pada 17 Ramadhan 611 Masehi Nabi menerima wahyu pertama lewat perantaraan malaikat Jibril yang membawa wahyu pertama surat Al Alaq ayat 1 : ”Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu”.

Meneropong perjalanan dari bawah, lereng gua Hira sudah dipenuhi jamaah. Dari kejauhan tampak seperti semut putih yang merayap menyusuri bukit terjal berbatu. Untuk sampai di puncaknya dibutuhkan waktu tempuh kurang lebih 1 jam.
Bismillahirrahmanirahiim....kulangkahkan kakiku pelan-pelan. Tak berani mata terlalu sering menengadah mengingat perjalanan yang ditempuh bukanlah perjalanan mudah. Di kaki gunung banyak pedagang kaki lima menawarkan dagangannya. Kami tertarik dengan tongkat kayu seharga 5 riyal. Tongkat tersebut cukup membantu mendaki undakan-undakan batu.

Sepanjang jalan mulutku tak berhenti berdoa ” Ya Allah mudahkanlah... lapangkanlah...agar hamba sampai di tempat kekasihMu menerima wahyuMu. Subhanallah...walhamdullilaah, wallaillahaillalah...wallahu akbar”.
Aku bertekad untuk kuat mendaki sampai di puncak, sekuat Ibu Siti Khadijah Ra yang dengan setia mengirimkan makanan buat suami tercinta yang tengah menyepi di gua hira. Kubayangkan jaman dulu kedaannya pasti masih lebih terjal dan lebih berat untuk ditempuh, belum lagi ancaman binatang buas dan binatang melata. Namun demi kecintaanya terhadap suami, demi dukungannya terhadap sang pujaan hati, wanita mulia itu dengan tabah menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri.

Setengah pendakian, jalanan lebih terjal. Kami harus melompat dari satu batu ke batu yang lainnya. Pijakan harus benar-benar yang kokoh, salah kaki menumpu tidak tertutup kemungkinan jalanan tersebut longsor. Benar-benar perjalanan yang menguras keringat karena loncatan-loncatan itu membutuhkan kelincahan kaki dan tenaga ekstra. Jadinya saya memilih merayap, di punggung batu yang mengkilap itu.
Panas sinar matahari belum terlalu menyengat, namun angin dingin mulai terasa ketika sampai di lereng bukit. Jalanan bak arena off road, namun lebih ’ramah’ karena mulai kutemui lagi tangga-tangga semen alakadarnya. Beberapa orang, mungkin dari Pakistan atau Bangladesh membangun undakan dari semen dan pasir. Kemudian mereka meminta sedekah kepada jamaah yang lewat. Beruntung kami sudah menukarkan riyal dalam jumlah satuan. Sehingga secara bergantian kami membagikan uang tersebut kepada mereka yang memang layak menerimanya.

Rombongan mulai terpencar, kami berdua terpisah. Ketika keletihan menyergap kami maka batu-batu besar yang terongok di pinggir jalan menjadi tempat yang nyaman untuk sekedar beristirahat atau meluruskan kaki yang mulai berat. Air zamzam dan juice buah membantu menyegarkan stamina. Sepasang kakek nenek berjalan berpegangan tangan dari arah gunung. Mereka tampak bersemangat kendati wajahnya tak menyembunyikan kelelahan setalah menempuh pendakian panjang. Keduanya mengambil istirahat bersisian dengan tempat duduk kami. Aku mengulurkan permen dan beberapa bungkus makanan kecil. Mereka mengambilnya dengan suka cita. Beberapa kali suamiku mengambil moment ini untuk berfoto bersama agar kelak menjadi kenangan buat anak-anak di rumah.
Kami kembali melanjutkan perjalanan. Sepanjang lereng bukit pedagang kaki lima menawarkan berbagai jualannya. Sudah ¾ gunung kami tempuh. Subhanallah....dalam jalanan yang terjal ini ontapun sampai di atas bukit. Tidak mengherankan, binatang yang sangat besar dan lamban itu diciptakan di negeri bergurun pasir dan bergunung batu untuk menolong Rasullulah menyampaikan syiar Islam karena ternyata hewan tersebut mampu mendaki bukit termal.

Alhamdullilah akhirnya kami akhirnya sampai mulut gua Hira. Rombongan berkumpul di atas batu-batu raksasa sekitar 10 meter dari pintu gua. Kota Makkah terekam dengan jelas dari ketinggian. Angin yang menerpa wajah menghilangkan keletihan dan peluh yang mengucur sepanjang pendakian. Kamipun mulai mengambil untuk beristirahat.
Dalam istirahat tersebut beberapa penganan kecil mulai beredar. Opak dan rengginang keraspun serasa nikmat. Bahkan sampai remah-remahnyapun kami makan dengan lahap. Allah kembali mengajarkan bahwa kenikmatan makanan itu tidak semata-mata ditentukan oleh rasa dan rupa melainkan juga oleh rasa syukur karena kita masih bisa menyantapnya. Suamiku tampak sibuk mengambil pemandangan sekitar dengan handycamnya. Sesekali mengarahkan kameranya ke arah kami yang mulai terkantuk-kantuk dalami semilir angin membuat mata makin memberat.

Seragam kami yang terdiri dari pakaian/gamis putih ditutup jas warna hitam ditambah syal hijau dan topi lebar berwarna putih menarik perhatian jamaah asing. Belum lagi kacamata hitam membuat kami merasa lebih gaya dan lebih ”pede”. Satu dua orang secara berani meminta berfoto. Makin lama makin banyak yang meminta bahkan dengan pose duduk di tengah-tengah kerumunan kami. Kami mirip selebritis yang sedang jumpa artis.

Keriuhan terhenti ketika Pak Kiai bergabung bersama kami. Selanjutnya dengan takzim semua jamaah mendengarkan tausyiah singkat mengenai riwayat Nabi Mumammad SAW di Gua Hira. Tausyiah diakhiri dengan mengumandangkan shalawat. Air mata kembali bercucuran, seluruh kulit terasa merinding seolah merasakan kehadiran nabi diantara kami. Bagaiamana tidak, bukankah Nabi sering berkata ”Shalawatlah...maka aku akan ada bersama kalian”.

Beberapa jamaah dari negeri asing tampak termangu mendengar kami bershalawat, selanjutnya mereka menghentikan langkah ditempat mereka berdiri, kemudian dengan khidmat bersama-sama ikut bershalawat. Wahai Rasullulah....inilah umatmu, yang mencintaimu, meyakini ajaranmu, meyakini semua kebenaran yang engkau ajaran. Semoga kami termasuk orang yang engkau beri syafaat di yaumil qiyamah kelak....

0 komentar:

Posting Komentar