Minggu, 24 Oktober 2010

Haji 2006 - Thawaf Qudum Dalam Dekapan Suami

Tempat thawaf merupakan area di sekitar kabah. Di areal tersebut hanya ada maqam Ibrahim. Allah berfirman : ”Dan (ingatlah) ketika kami menjadikan rumah itu (baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat”.

Thawaf merupakan salah satu ritual penting dalam ibadah haji. Thawaf adalah ibadah yang dicintai Allah : “Dan telah kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: Sucikanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan sujud.” (QS. Al Baqoroh: 121).

Kendati dilakukan dalam waktu yang tidak terikat, pelaksanaan thawaf hanya dilakukan di depan kabah (di luar Hijir Ismail) dan tidak boleh di tempat lain sekalipun di kuburan nabi Muhammad SAW. Imam An Nawawi berkata: ”Tidak diperbolehkan untuk berthawaf mengelilingi kuburan Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam”.


Thawaf dilakukan dengan tertib dan dalam keadaan suci, dari hadast besar dan kecil, serta menutup aurat selayaknya kita shalat. Dimulai dari Hajar Aswad, kemuadia melingkar berlawanan dengan arah jarum jam. Dengan demikian pada saat thawaf posisi kabah berada pada sebelah pundak kiri. Sementara pundak kanan terbuka sehingga bebas takala melakukan istilam.

Selama menjalankan ibadah haji dan umroh ada bermacam thawaf yang kami lakukan. Karena memilih haji ifrad, terlebih dahulu harus thawaf qudum (thawaf kedatangan) yaitu thawaf yang dikerjakan oleh orang baru datang dari luar tanah harram dan hendak melaksanakan haji ifrad.

Selanjutnya ada thawaf ifadah atau thawaf ziyaroh yaitu thawaf ini dikerjakan pada tanggal 10 Dzulhijjah atau sesudahnya. Thawaf ini harus dikerjakan dan merupakan tahallul tsani hagi yang berihram haji.

Kemudian adalah thawaf wada (thawaf berpamitan) yaitu thawaf ini dikerjakan saat mau berangkat meninggalkan Makkah. Thawat tersebut harus dikerjakan kecuali wanita yang sedang haid.

Ada lagi Thawaf Tathawwu atau thawaf sunat yang dapat dikerjakan setiap waktu baik siang maupun malam. Thawaf di masjid Harram memang tidak mengenal waktu. Dan dianjurkan orang mengerjakannya sebanyak mungkin selama berada di Makkah. Hal ini sejalan sebagaimana yang dikatakan Rasullulah SAW : Hai Bani abdi Manaf janganlah kamu melarang seseorang thawaf di Baitullah ini dan di saat manapun dia suka baik malam maupun siang hari”. (H.R. Ashabus Sunan).

Dari kejauhan areal thawaf seperti lukisan mozaik. Manusia menyemut bergerak ke satu arah. Sambil mengelilingi ka’bah mulut dan hati tak henti berdoa. Pinggiran areal thawaf yang biasanya dipinggirnya dipasang karpet untuk orang shalat 3 - 4 shaf sudah tidak terpasang lagi. Jamaah yang thawaf penuh sampai ke pinggir-pinggirnya.
Ka’bah berdiri megah dikelingi kaum muslimin menganggungkan kebesaran dan keesaan Allah. Kaum muslimin tertib berada pada jalur yang semestinya dipergunakan untuk thawaf. Konon yang pertama yang memberi ubin di tempat thawaf adalah Abdullah ibn Zubair dengan garis tengah 5 meter. Lalu diikuti oleh bagian lain sampai tahun 1375 H, dengan bentuk oval saling berhadapan 40-50 meter. Kini lantai tempat thawaf dibuat dari marmer dingin yang dapat menahan panasnya matahari, sehingga memungkinkan orang thawaf tanpa alas kaki di bawah terik matahari tanpa kepananasan.

Perlahan kami menjejakan kaki di area thawaf berbaur dengan jamaah lainnya. Posisi kami sudah melewati dari lampu hijau. Untuk amannya kami ikuti arus manusia sampai di lampu hijau tempat diawalinya thawaf. Berjalan mundur dengan melawan arus akan bertabrakan dengan jamaah yang sedang thawaf. Selain mengganggu kekhusuan juga membahayakan. Sampai di lampu hijau kami melakukan istilam (salam) yaitu melambaikan tangan kemudian mengecupnya seraya mengucapkan kalimat “Bismillahi…Allahu Akbar…”.
Dalam kepadatan manusia, kami mulai melakukan ibadah thawaf qudum. Jubelan manusia menumbuhkan rasa khawatir. Namun perasaan itu kubuang jauh karena yakin bahwa thawaf adalah hak yang memiliki batasan. Hak setiap muslim adalah melakukan thawaf 7 kali putaran berlawanan dengan arah jarum jam. Maka ketika selesai 7 putaran, hak tersebut akan berpindah ke orang lain.

Putaran pertama kami masih berada di ujung lingkaran. “Ya Allah aku thawaf karena beriman kepadaMu, membenarkan kitabMu, memenuhi janjiMu dan mengikuti sunah nabiMu Muhammad SAW. Ya Allah sesungguhnya kepadamu aku mohon ampunan, kesehatan, perlindungan yang kekal dalam menjalankan agama, di dunia dan di akhirat dan beruntung memperoleh surga serta terhindar dari api neraka”.

Perlahan kami berjalan, mulai di rukun yamani aku membaca doa sapu jagat “Rabbanaa aatinaa fiddun yaa hasanatan wa fil aakhirati hasanatan wa qinaa azaabannaar, Wahai Tuhan berilah kami kebaikan dunia dan akhirat dan hindarkanlah kami dari siksa neraka. Masukanlah kami ke dalam surga bersama orang-orang yang berbuat baik”. Setelah itu kami melafadzkan sebanyak-banyaknya takbir, tasbih dan tahmid.
Aku kembali cengeng, keharuan yang menyesak dada telah mendorong butiran-butiran air mata meleleh di sepanjang pipiku. Suamiku tak kurang terharunya. Kedua tangannya mendekap seluruh badanku dari belakang. Walaupun tidak dapat melihat wajahnya, namun bibirnya yang tertempel di telingaku terisak perlahan.

Pertengahan putaran pertama, langkah kami agak dipercepat. Putaran kedua kami mulai mendekat ke arah ka’bah dan mulai mengelilingi ka’bah diantara bangunan tersebut dan maqom Ibrahim.

Desakan manusia makin menggelora. Jamaah dari berbagai belahan bumi bersatu dalam satu pusaran dengan membawa karakter bangsanya masing-masing. Lautan manusia yang berjubel dari berbagai ras, menimbulkan perbedaan fisik yang cukup mencolok. Jamaah Indonesia lazimnya orang Asia memiliki tinggi sekitar 155 – 165 cm. Postur ini tampak kecil dibandingkan dengan jamaah berkulit hitam. Yang berasal dari Nigeria, Ghana, dan negeri afrika lainnya. Ciri-ciri umumnya : berbadan tegap dengan tinggi menjulang, baik laki-laki maupun perempuan. Ukuran dan tingga badan mereka membuatnya lebih leluasa dalam kerumunan. Beberapa kali kami terkurung dalam kerumunan mereka karenanya aku sering berjinjit meninggikan wajah agar dapat menghirup udara segar. Ketika dihadapkan situasi saling mendorong dengan sikutnya yang panjang dan kuat mereka tidak bergeming dalam pusaran lautan manusia. Sikut-sikut orang berkulit hitam terkadang menyerempet muka jamaah yang lebih pendek. “Please...Dont push like that”, beberapa kali aku meminta mereka meninggikan sikutnya agar menjauh dari wajah kami. Mereka biasanya tersenyum dan mengangguk tanda mengerti apa yang diminta. Seorang jamaah Nigeria yang pernah bersisian shalat bersamaku mengaku bahasa inggris sebagai bahasa kedua di negara mereka.
Lain lagi kebiasaan jamaah Turki yang berseragam baju warna khaki. Mereka sedikit lebih tinggi dari orang Asia, tubuhnya yang besar tampak lamban namun begitu kuat. Dengan bahasa tubuhnya dan senyumnya mereka menularkan keramahan kepada jamaah lainnya. Pada saat thawaf mereka berkelompok membentuk barikade yang kokoh.
Kami lebih sering thawaf di areal dekat ka’bah. Dengan mendekati titik pusat tentunya jarak putaran akan lebih pendek. Kami agak menjauh mulai dari Rukun Yamanai sampai Hajar Aswad karena disitulah manusia saling mendorong, terutama bagi mereka yang ingin mencium Hajar Aswad.

Alhamdullilah....7 putaran hampir kuselesaikan. Mulai Rukun Yamani langkah diarahkan ke tepi. Pas di lampu hijau, kami sudah ada diujung area thawaf. Alhamdullilah ya Allah..... Perlahan kami kembali masuk barisan mencoba mendekati maqom Ibrahim untuk melaksanakan shalat sunat 2 rakaat.

0 komentar:

Posting Komentar