Minggu, 24 Oktober 2010

Haji 2006 - Hari-Hari Berhiaskan Iman...

Ibadah haji merupakan saat dimanusia menanggalkan segala bentuk urusan dunia untuk berpaling pada urusan-urusan ukhrowi. Manusia datang ke baitullah, meninggalkan segala sesuatu yang dimilikinya, tidak saja harta, kedudukan bahkan keluarga yang dicintainya, untuk memenuhi panggilan Allah. Mungkin ada saja yang bertanya, mengapa kita harus dipanggil? bukankah seorang hamba dengan Allah SWT lebih dekat daripada dengan urat lehernya? Sepertinya panggilan ini tidak dimaknai seperti panggilan ibu yang memanggil anaknya menyuruh belajar. Mulai dari intonasi yang lembut sampai suara menggelegar mengancamnya dengan hukuman. Panggilan Allah tak bersuara. Panggilan disini tidak harus dimaknai sesuai tatabahasa. Panggilan dimaksud tentunya ibarat panah yang busurnya tertuju pada sanubari. Jadi iman kitalah yang dipanggil oleh Allah.

Dan menjalankan ibadah haji merupakan salah bukti keimanan dan kecintaan seorang hamba terhadap penciptanya. Bagaimana tidak, ibadah haji bukan perjalanan ringan atau mudah ; ada syarat yang harus dipenuhi, ada tata cara yang harus dituruti dan ada waktu yang harus dipenuhi. Namun demikian haji juga bukan perjalanan yang berat dan sukar. Iman yang kuat, hati yang ikhlas dan fisik sangat dibutuhkan dalam melewati tahapan demi tahapannya.

Allah SWT melapangkan kesempatan untuk mengisi waktu sebulan penuh mendekat dalam kemurahanNya. Di Makkah dan di masjid Harram penuh dengan tempat untuk kita menabung pahala. Allah SWT membantu kita untuk menghadapkan hati dan pikiran pada keinginan untuk beribadah. Jiwa kita ibarat musafir yang haus di tengah gurun membara, ibadah menjadi pelepas dahaga.

Pada saat berangkat kami sangat berat meninggalkan anak-anak, sampai di Makkah kekhawatiran itu hilang dengan sendirinya. Ibadah tidak diganggu oleh kecemasan yang tidak perlu. Doa yang mengalir untuk anak-anak dan keluarga di tanah air membantu memperkokoh keyakinan bahwa Allah akan menjaga semuanya dengan baik.

Waktu bergulir detik demi detik dengan menunggu waktu shalat yang satu ke waktu shalat lainnya. Jeda diantara keduanya lebih banyak diisi dengan dzikir dan membaca al qur’an. Masjid harram terbuka 2 jam. Ruang yang berbalut ribuan pahala ini senantiasa terbuka untuk mereka yang ingin senantiasa “berkomunikasi” dengan Allah. Takbir dan tahmid bergema sepanjang waktu memuji Allah yang bertahta di arsy yang agung.

Siang terik dengan panas membakar kulit atau dini hari yang menurunkan embun tidak menyurutkan jemaah untuk memenuhi jalanan menuju masjid untuk mengejar shalat berjamaah atau ibadah sunnah.

Shalat berjamaah ibarat ‘candu’ yang harus selalu dipenuhi dan merasa tidak nyaman takala terlewati. Alunan ayat-ayat dalam bacaan imam setiap shalat terasa meresap ke dalam relung hati.

Untuk beberapa daerah di Indonesia, shalat jum’at jarang sekali dilakukan oleh perempuan. Di Makkah ini lak-laki dan perempuan berjamaah. Jam 10.00 pagi jalanan sudah dipenuhi oleh jamaah. Suatu waktu, kami berangkat lebih awal karena shalat jum’at biasanya jamaah meluber sampai jalanan dalam radius 500 meter. Jalanan menuju masjid sangat padat. Langkah tersendat beberapa kali terhalang jamaah yang sudah mengambil tempat duduk.

Sampai di masjid kami merangsek masuk ke dalam masjid. Selanjutnya memulai thawaf sunat. Di areal thawaf biasanya hanya ada sebuah areal kecil yang diperuntukkan bagi shaft perempuan. Selebihnya perempuan ditempatkan di belakang, di dalam masjid. Ternyata shaft perempuan sudah penuh.

Usai thawaf masih ada aktu 30 menit lagi untuk mulai shalat jum’at. Kami memilih areal multazam untuk shalat sunat. 15 menit sebelum shalat jum’at dimulai askar mulai menyisir areal thawaf. Jamaah perempuan segera diusir untuk berpindah ke belakang. Ada beberapa yang tak bergeming karena ingin shalat berdampingan dengan suaminya. Beberapa orang menarik kami bertiga, “haj...tarikh...tarikh...haram haram...”.

Kami tetap khusu menyelesaikan doa. Waktu tinggal 5 menit lagi shalat jum’at. Dari tempat kami duduk tampak beberapa jamaah perempuan celingak celinguk mencari tempat duduk. Suamiku bergeser ke shaft belakangku dan menyuruh kami bertiga memakai phasmina sebagai penutup kepala. Jilbab putih membuat orang gampang menerka kalau kami salah satu kelompok perempuan yang masih tersisa di areal tersebut.
Dengan berlindung di balik tubuh suami, kami menunduk berdzikir dan berdoa sambil memohon agar tidak diusir. Di tengah ribuan manusia yang sudah duduk tenang di tempatnya masing-masing tentu bukan perkara mudah untuk berpindah. Tak kurang orang di sebelah mengusir kami. Dengan memelas kami memandang mereka dan memohon pengertiannya agar membiarkan tenang shalat di sini. Akhirnya seseorang yang duduk diantara kami menjauh, memberi tempat agar berjarak.

Usiran itu terhenti ketika imam sudah berada di depan. Seluruh jamaah sudah duduk rapi. Tak ada yang berdiri lagi di areal thawaf. Subhanallah...kami duduk pada shaft ke 5 persih di depan Hajar Aswad. Saudaraku sempat berbisik, “Teh...itu tempat apa?”, tangannya menunjuk batu hitam yang tertanam di pojok ka’bah. Dapat dimaklumi kalau masih banyak yang belum paham dimana batu mulia itu ditempatkan. Kami berada di Makkah baru beberapa hari. Belum hapal dan belum banyak areal yang didatangi. “Itu yang disebut Hajar Aswad teh...”, jawabku, Mendengar jawaban itu Saudaraku tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Wajahnya ditenggelamkan dalam pangkuannya. “Subhanallah.... subhanallah....subhanallah...Alhamdullilah ya Allah hamba berkesempatan memandang batu agungmu ini”, suaranya lebih mirip rintihan. Matanya, tertuju menatap ke arah ka’bah. Aku hanya menepuknya sekedar memberikan kekuatan. Sementara mataku lebih tertarik pada imam yang bersiap memimpin shalat. Pakaiannya terbalut gamis warna keemasan. Kepalanya terutup kifayeh putih, dengan bulatan hitam melingkar di kepalanya. Pikiranku menerawang ke ribuah tahun yang lampau. Barangkali seperti inilah junjunan kita memimpin umatnya shalat di baitullah. Rasa syukur menikmati moment tersebut menimbulkan keharuan yang mendesak butiran air mataku.

Aku merasa inilah shalat yang paling khusu dan paling nikmat. Dekat dengan imam masjid harram, di depan baitullah yang agung, kami shalat sebagai bentuk pengakuan pada Allah sebagai Tuhan kami satu-satunya. Kami ingin terus mereguknya tanpa bosan. Kami ingin terus mengisi hari-hari dengan lebih mendekatkan diri kepada Allah agar kelak kami kembali di akhirat dapat berkumpul dengan junjunan kami dan orang-orang shaleh yang dicintai dan mencintai Nabi.

0 komentar:

Posting Komentar