Malam semakin larut, jam yang tertempel di dinding kamar berdetak memecah kesunyian. Detaknya berpacu dengan detak jantung kami yang semakin kencang. Kami terpekur di ujung tempat tidur. Bergantian kuusap kepala kedua buah hati kami yang sudah tertidur lelap.
“Ya Allah… kendati balasannya surga bagi orang yang meninggal dunia pada saat berhaji, ijinkanlah kami pulang dengan selamat agar dapat bertemu kembali, mendidik dan membimbing mereka sampai dewasa agar kelak menjadi anak yang sholeh dan sholehah”.
Kepedihan makin terasa mendengar suamiku yang terbata-bata meninggalkan berbagai pesan di handphonenya. Mulai dari pesan untuk tidak meninggalkan shalat, mengingatkan untuk minta tolong kakeknya kalau ada Pe-er yang susah, saling membantu satu sama lain, juga tak lupa merekam berbagai cerita perjuangan nabi, sebagaimana yang diminta kedua anakku untuk nanti pengobat rindu.
Jakarta, 19 Desember 2006
Aku sendiri meninggalkan satu buku diary kecil meninggalkan pesan agar mereka meneruskan menuliskan berbagai hal-hal yang dialaminya selama mereka berjauhan dengan kami. ”Nak…ayah dan bunda pergi. Doakan agar perjalanan ayah dan bunda beroleh kemudahan dan keberkahan sehingga kita dapat berkumpul kembali. Kalau kalian merindukan ayah dan bunda, ambilah air wudhu, segera lakukan shalat, Allah akan mempertemukan kita karena dalam setiap detik jantung dan helaan nafas Ayah dan Bunda senantiasa mengalir doa untuk kalian berdua.…” kalimat itu tak sanggup kulanjutkan. Mataku makin berkabut, sedu sedan makin tak dapat kutahan. Sementara suamiku sudah bersimbah air mata. Dalam tangis yang tak bersuara, jelas kulihat guratan kesedihan.
Keheningan terusik ketika mamah mengingatkan untuk segera berangkat menuju Sumedang guna bergabung dengan jamaah Asy Syafiah wal Mahmudyah yang akan dilepas oleh Bupati Kepala Daerah Kabupaten Sumedang pada tanggal 20 Desember 2006 pukul 08.00 WIB.
“Mamah…Bapa…Ayah…tolong beri kami pintu maaf yang selebar-lebarnya, semoga pemaafan dari orang tua membantu memudahkan perjalanan kami yang hendak mencari keridhoan Allah SWT”. Cuma itu yang dapat kami sampaikan, takala orang tua melepas pergi. Hujan tangis kembali berderai. Kami teringat betapa selama ini belum berbuat banyak untuk menyenangkan hati mereka di hari tuanya.
Setelah melakukan shalat sunat 2 rakaat, kami meninggalkan rumah, tanpa sekalipun menengok lagi. ”Demi Allah yang menguasa jiwaku, demi Allah yang menentukan hidup dan matiku. Bismillah, tawakaltu Allaloh lahaulla walla quwata illaa billaah.....Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami berlindungan kepadaMu ya Allah. Tiada daya upaya dan kekuatan hanya dengan pertolongan Allah semata. Demi setiap dosa yang aku lakukan, demi setiap noktah noda yang aku torehkan, hanya rahmatMu yang akan meringankan jalanku dan melapangkan dadaku. Lindungan kami yang akan memenuhi panggilanMU, lindungi anak-anak yang kami tinggalkan serta lindungi kedua orang tua kami beserta orang-orang yang menyayangi dan turut menjaga anak-anak kami”.
20 Desember 2006
Pukul 01.00 WIB dini hari mobil berangkat menuju Sumedang 200 km ke arah Timur. Ada kehampaan Namur terasa menyesakkan dada ”Ya Allah…ajarilah kami tentang kelapangan hati, sehingga kepergian kami ke baitullahMu diiringi rasa ikhlas meninggalkan anak-anak yang masih kecil”.
Pukul 4.00 WIB mobil memasuki batas kota Sumedang. Kami menuju rumah orang tua. Rumah penuh dengan saudara-Saudara yang ingin melepas kami. Pak Ustadz yang biasa memberi ceramah di masjid dekat rumah sudah hadir untuk membimbing keberangkatan kami. Setelah shalat safar, kami mampir di masjid dekat rumah untuk shalat subuh berjamaah. Usai itu, talbiyah kembali bergema dari bibir para pengantar. Satu demi satu memeluk kami. Aku menitipkan mamah, bapak dan anak-anak. Kami meminta diantar sampai mobil saja. Tangisan itu hanya membuat jiwa kami semakin goyah.
Masjid Agung Sumedang sudah penuh. Samroh/marawis yang diperdendangkan santri-santri muda di panggung pada parkiran masjid membuat suasana bercampur baur antara bahagia dan kepedihan.
Jam 8.00 seluruh jamaah sudah berkumpul. Kami melaksanakan shalat sunat 2 rakaat. Dengan berbaris rapi, terpisah laki-laki perempuan, kami beriringan menuju gedung negara. Masyarakat yang mengantar berbaris memotong alun-alun kota. Kendati tidak kami kenal, terpancar sorot mata tulus dan turut mendoakan agar kami beroleh perlindungan Allah SWT. Hanya jamaah laki-laki yang mengikuti acara seremonial. Sedangkan jamaah wanita menunggu di bus yang siap berangkat ke asrama haji Bekasi.
Usai acara pelepasan oleh Bupati, jamaah kembali bergabung. Saat mobil mulai bergerak, lambaian masyarakat Sumedang menghantar kepergian kami. Kupegang erat-erat tangan suamiku sambil menahan tangis. Suamiku balas menggenggam dengan kencang. Kami menyatukan perasaan dalam genggaman yang erat, seakan menularkan kekuatan di hati masing- masing dan menumbuhkan keyakinan di diri, bahwa inilah jalan yang akan ditempuh, insyaallah semuanya akan baik-baik saja.
Minggu, 24 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar