Hari kedua sesusai shalat dhuha, aku berniat mengunjungi Raudah. Tempat ini memiliki kemuliaan karena Rasullulah pernah bersabda ” Diantara rumah dan mimbarku adalah taman dari taman-taman surga, dan mimbarku ada di atas telaga”. Banyak yang memberi penafsiran atas sabda nabi tersebut salah satunya mengartikan tempat tersebut kelak akan berpindah ke akherat.
Menuju Raudah kami mulai dari pintu 25. Masuk masjid dengan puluhan pintu membuatku berupaya mempermudahnya dengan cara mengingat nomor pintu dari pada mengingat namanya. Rombonganku akhirnya tepecah menjadi kelompok kecil. Aku berangkat berempat. Kami langsung menuju batas shalat antara laki-laki dan wanita.
Partisi masih menutupi pintu penghubung menuju Raudah. Askar perempuan sudah berteriak-teriak memandu. Mereka membawa papan nama bertuliskan masing-masing negara. Sebut saja Turki, India, Indonesia, Malaysia, dll. Karena bercampur baurnya jamaah Indonesia dan Malaysia, papan pengganti berganti menjadi bahasa Melayu. Dengan demikian, Indonesia dan Malaysia dianggap satu rombongan.
Setiap kelompok dipisahkan, bergeser satu ruangan demi ruangan. Kebetulan Askar yang memandu kami fasih berbahasa Indonesia. Berulang kali askar tersebut menyuruh duduk setiap melihat diantara kami mulai berdiri dan siap berlari menerobos ke depan. Sempat ada kejadian yang lucu. Melihat kami berada dalam kerumunan paling depan, beberapa penyusup mulai beraksi. Jamaah Pakistan yang menyela dengan cara menyeruduk, diminta untuk tidak bergabung oleh beberapa jamah Indonesia. Ketika mereka bersikukuh masuk dalam rombongan “Bahasa Melayu”, jamaah berteriak memanggil askar dan menunjuk adanya tamu tak diundang. Dengan bujukan askar mereka kembali ke rombongannya di belakang. Di dekatku ada 3 nenek dari Syria.
“Where are you came from?”, aku mencoba mendiplomasi.
“Indonesia”, jawabnya dengan agak sengau. Wajahnya tersenyum menggoda. Mereka juga tahu maksud pertanyaan kami sekedar mengingatkan untuk tidak bergabung.
“No…no… it’s a different”, jawabku sambil mengusap hidungku yang mancung tidak, pesekpun nggak, kemudian mengusap hidungnya yang mancung.Sadar dia digoda, ibu tersebut malah memeluk. Bahasanya memang tidak dimengerti, tapi senyumnya yang ramah, caranya membujuk dan memeluk membuat kami luluh dan mengijinkannya menyelip di tengah rombongan Indonesia yang lebih dulu memperoleh giliran.
“Assalamuallaikum ummi, nanti kita bawa ke Indonesia lho”, temanku rupanya tak sabar juga ingin menggodanya. Ibu itu mengangguk-angguk, tak sadar apa yang kami bicarakan. Akhirnya kami tergelak.
Rombongan makin beringsut. Ketika dalam pandanganku sudah tampak bangunan yang mengelilingi makam nabi, desakan air mata kembali menggulirkan tangis. Padahal semenit sebelumnya kami masih bercanda.
Dalam cucuran air mata, tak henti bibir mengucap shalat. Assalamualaika Ya Rasullulah…Assalamualaika Ya Abu Bakar As Sidiq…Assalamualaika ya Umar bin Khatab… Antrian makin memadat, desakan dari belakang sering mendorong aku yang tertahan oleh pagar betis askar-askar tersebut. Rasanya lama waktu menunggu rombongan jamaah dari Negara Turki yang tengah berdoa. Tempat itu begitu sempit, aku perkirakan ruangannya tidak lebih dari 8 x 8 m sementara jamaah orang yang ingin shalat disana berjumlah ratusan dan dibelakangnya sampai ada ribuan menunggu giliran.
Ketika rombongan Turki sudah beranjak pergi, kami mempercepat langkah sambil bertakbir.…Sesungguhnya aku malu telah berlaku tidak sopan ”dihadapan Rasullulah”, di saat semua sikap harus terjaga malahan bersikap tidak ingin didahului. Tetapi, dorongan manusia di punggung kami dan desakan dari dalam hati, membuat kami mempercepat langkah. Kedua tanganku masuk di bawah ketiak temanku yang sudah berumur Dengan demikian aku dapat mengarahkannya kemana kaki harus menuju.
Awalnya kami berdiri di samping bangunan yang menutupi makam. Aku pernah melihat beberapa orang menyodorkan tangan dan mengusap bangunan tersebut dengan saputangannya dan mencium wangi yang tertempel. Aku sendiri mencoba menahan diri. Sedetik kemudian melihat desakan manusia, kami bergeser ke tengah menuju di dekat tiang dimana seorang askar berdiri. Temanku di depan dan aku dibelakangnya. Tanpa menghiraukan keadaan kami mulai melaksakan shalat sunat dua raka’at dengan tetap menghadap kiblat. Pada saat orang-orang diusir untuk berganti tempat dengan jamaah lain, kami masih dengan tumaninah dapat berdoa, di tiang dengan panggung adzan. Melihat jamaah yang semakin membludak dan masih menunggu giliran shalat, maka dengan berat hati kami bergeser. Perlahan-lahan kami menyisir sekat yang membatasi tempat shalat. Tiba ti pojokan pas dibawah panggung adzan kami kembali bersimpuh. Dengan tubuh agak tersembunyi, kembali melanjutkan berdoa dengan berdiri. Menunggu jamah yang duduk beranjak, diam-diam aku berjinjit, mencoba melihat mihrab dan mimbar nabi. Dua tempat mulia tersebut, hanya terlihat ujungnya karena terhalang kain penyekat setinggi 2 meter yang menghalangi tempat shalat kami dengan tempat shalat jamaah laki-laki.
Seorang ibu tua bangkit dari duduknya. Kami mengambil tempat menggantikannya. Selanjutnya sujud syukur, karena telah diberi kesempatan untuk shalat di Raudah. Kami berdua berpelukan dengan erat sambil sesegukan. Beberapa kali temanku mengucapkan terima kasih karena aku telah menuntunnya. Namun bagiku hal itu lebih tepat adalah, anugrah dari yang maha kuasa. Aku yang biasanya ketakutan melihat kerumunan, aku yang biasanya sangat tergantung dari perlindungan suami, dapat dengan berani menuntun seorang teman. Rasanya sangat mustahil kalau ini semata-mata bukan karena pertolongan Allah semata.
Minggu, 24 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar