Minggu, 24 Oktober 2010
Haji 2006 - Di Arafah Manusia Menanggalkan Perbedaan
Majelis Pengadilan Tertinggi Syariah Arab Saudi telah menetapkan Hari Arafah jatuh pada hari Jumat (29/12). Sedangkan Idul Adha bertepatan dengan hari Sabtu, 30 Desember 2006. Pak Kiai menyampaikan hal tersebut dengan penuh rasa syukur.
Dengan demikian, haji tahun 2006 merupakan haji akbar. Seluruh jamaah semakin diwanti-wanti agar lebih berhati-hati karena haji Akbar merupakan dambaan setiap muslimin. Oleh karena itu jamaah yang menunaikan ibadah haji bisa bertambah 3 sampai 4 kali lipat. Penduduk yang datang tidak hanya dari pelosok Arab Saudi melainkan juga dari kawasan Teluk. Oleh karena itu jemaah haji harus mempersiapkan diri dan berhati-hati menghadapi situasi penuh sesaknya jemaah di Masjidil Harram dan di Jamarat.
Berita tersebut selain memberikan kegembiraan sekaligus kecemasan, Namun keyakinan bahwa Allah akan melindungi umatnya yang hendak beribadah sehingga semuanya akan berlangsung dengan lancar, mententramkan bathin kami.
Benar saja, sejak Selasa gelombang jamaah yang masuk kota Makkah bertambah banyak. Kepadatan manusia tidak hanya di masjid namun di jalan-jalan utama menuju Masjid Harram. Antrian begitu padat, badan berhimpitan, kadang kakipun sukar untuk dilangkahkan. Di jalanan, banyak jemaah laki-laki yang sudah memakai kain Ihram. Tandanya mereka sudah memulai ibadah haji.
Rabu malam ada pengumuman bahwa kami menuju Arafah dalam gelombang terakhir. Pemberangkatan dilakukan seusai shalat ashar. Kami semua diinstrusikan untuk mengepak barang dan hanya membawa perbekalan secukupnya. Masih menurut pengumuman, selama di Arafah jamaah akan disediakan makanan. Uang dan barang berharga dikumpulkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Se tas penuh uang dititipkan Pak Kiai di tempat aman yang tidak kami ketahui.
Aku segera mengumpulkan perbekalan, baju Ihram 2 potong, jas seragam haji, blazer seragam Asy Syifa, kaos kaki, baju hangat, topi, syal, perlengkapan shalat, perlengkapan mandi, beberapa makanan kecil, mie dan topi instan, untuk jaga-jaga saja. Satu yang tak terlupa yaitu kain kafan yang kami bekal dari tanah air. Aku terpekur, pikiranku melayang, entah apa yang akan kami hadapi. Kain kafan ini perlambang bahwa kita siap dengan kondisi apapun, termasuk ketika Allah SWT menghendaki kita meninggal pada saat melakukan ibadah haji.
Dua gulungan kain kafan itu aku masukan ke tas tetenganku dan tentengan suami. ”Ya Allah sesungguhnya haji itu Arafah, perjuangan haji itu tempatnya di Arafah. Lindungilah kami ya Allah agar kami selamat dan tidak kekurangan apapun”.
Hari kamis setelah shalat dhuha di masjid Harram, kami mampir ke supermarket membeli roti gandum, roti coklat. Di rumah makan Pakistan, kami melengkapi perbekalan dengan sebotol juice fruit punch. Niatnya untuk bekal ke Arafah.
Kendati tidak dianjurkan membawa makanan berlebihan, aku pikir lebih bagus berjaga-jaga. Yang dibagi tentunya hanya nasi dan buah dalam jam tertentu. 8 bus kami sudah menanti di depan maktab mulai waktu mau masuk shalat dzuhur.
Shalat dzuhur seluruh jamaah dianjurkan melaksanakannya di maktab agar tidak terburu-buru berangkat ke Arafah. Bus-bus yang menuju Arafah mulai memadati jalanan di seputar kota Makkah. 9 Dzulhijah merupakan awal dari berkumpulnya seluruh jamaah haji sedunia untuk melaksanakan rukun haji berikutnya yaitu wukuf.
Wukuf di Arafah merupakan hari yang penuh ampunan Allah, sementara hari jumat merupakan penghulu segala hari jadi dalam musim haji pahalanya besar sekali. Itulah sebabnya mengapa disebut haji Akbar.
Batasan wukuf itu adalah berada di bumi Arafah dari masa gelincir matahari hari kesembilan Zulhijjah hingga terbit fajar pagi hari yang kesepuluh Zulhijjah. Semulia-mulianya hari adalah sebagian hari ke sembilan dan sebagian malam kesepuluh Zulhijjah dengan melaksanakan berbagai sunat wukuf yang diantaranya suci daripada hadas dan kekotoran, banyak membaca Al-Quran, istighfar, talbiah dan doa. Hari dimana wukuf dilaksanakan disebut hari Arafah.
Dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda “Tiada suatu hari dimana Allah membebaskan orang dari api neraka seperti yang terjadi pada hari Arafah. Pada hari itu, para malaikat mendekat, seraya memberi ucapan selamat dan membanggakan para tamu Allah, seraya berkata ? Apa yang kalian inginkan ?” (Hadis Shohih Riwayat Imam Muslim).
Mengenai Arafah, Rasullulah bersabda “Sebaik-baik doa adalah doa pada hari arafah, dan sebaik-baik doa yang aku dan para nabi sebelumku ucapkan adalah doa: La ilaha illalohu wahdahu la syarika lahu lahul mulku walahul hamdu wa huwa ’ala kulli syai’in qodir (Tiada sesembahan yang benar kecuali Alloh semata, tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nyalah kekuasaan, dan milik-Nyalah segala pujian, sedangkan Dia atas segala sesuatu Maha Kuasa).” (HR. Ahmad dan At Tirmidzi)
Usai shalat ashar bus kami bergerak merayap beriringan dengan jamaah yang memilih berjalan kaki menuju Padang Arafah. Kendati masih dalam satu bus, duduk tetap terpisah dengan suami.
Jarak Makkah ke Arafah sebenarnya hanya 7 km. Macetnya Makkah saat itu menjadikan jalan bus hanya dapat merayap perlahan. Klakson mobil terdengar bersahut-sahutan. Kebisingan ditingkahi suara sirine ambulance yang hilir mudik mengantar jamaah ke rumah sakit. Adakalanya ketidaksabaran menjalar di hati para pengemudi, sementara jamaah tetap anteng berdoa. Aku dan suamiku tidak terusik, sudah terlatih di jalanan Jakarta setiap pulang kerja.
Jamaah Asy Syifa wal Mahmudyah menempati satu perkemahan besar. Kami tidak mengetahui secara persis tempatnya. Sejauh mata memandang, hanya tenda-tenda putih yang terbentang bersambung-sambungan. Tenda laki-laki dan perempuan berdampingan. Sisi pembatasnya dibuka sehingga membentuk satu ruangan besar.
Pemandangan wukuf di Arafah adalah sebuah pemandangan yang sarat dengan hikmah. Disini tak ada perbedaan derajat, kekayaan, pangkat, kecuali perbedaan iman dan takwa. Pada hari Arafah setiap kaum muslimin dari berbagai negeri—dengan suku-bangsa, bahasa, asal daerah, warna kulit, status sosial, dan profesi yang berbeda—semuanya datang berkumpul di tempat yang sama.
Semua yang hadir di Arafah memakai pakaian ihram dari lembaran kain putih bersih yang tidak berjahit. Hal tersebut merupakan pembelajaran agar manusia menjaga kesucian hati sekaligus juga menjadi perlambang agar manusia menanggalkan semua atribut berbau Jahiliah. Kesamaan dan kebersamaan tersebut menumbuhkan rasa kesetaraan dan kesedarajatan di hadapan Allah SWT ; tidak ada kulit putih, hitam atau kulit bewarna; tidak ada kepala negara, pejabat, atau rakyat biasa ; tidak ada majikan atau karyawan ; tidak ada konglomerat atau pengusaha biasa ; Semua sama di hadapan Allah SWT.
Usai shalat isya berjamaah kami mulai membenahi perlengkapan. Setiap orang duduk atau berbaring di shaftnya masing-masing. Aktivitas diisi dengan shalat dan dzikir. Agak sulit membaca Al Qur’an karena penerangan lampu tidak memadai. Malam menjelang, kiriman nasi yang seharusnya menjadi menu makan malam kami tidak datang. Beruntung masih ada makanan kecil yang dibawa dari Makkah.
kettel listrikpun mulai dikeluarkan untuk keperluan menjerang air minum maupun memasak mie instan. Lumayan...perut yang keroncongan mulai terganjal dengan beberapa suap mie instan. Di sela-sela doa dan dzikir kami tetap dapat menyantap makanan siap saji tersebut.
Beberapa ibu tua yang mengaku dari Aceh, Makassar beberapa kali tersesat ke tenda kami. Memang kesulitan membedakan satu kemah dengan kemah yang lainnya. Diperlukan kejelian dalam menandai perkemahan sendiri. Lagi-lagi aku mengucap syukur karena toilet ada di sisi sébelah kanan tenda. Dengan sudut pandang yang strategis, aku dapat mengintip kapan toilet itu kosong dari antrian. Biasanya waktu sholat, pada saat orang berdzikir tidak ada antrian. Maka jeda waktu tersebut aku gunakan untuk ke toilet. Setelah beres, kembali mengambil air wudhu dan meneruskan berdoa. Kalau tidak saat seperti itu, antrian menjulur panjang. Ada sih yang nakal menyalip antrian dengan alasan cuma buang air kecil, satu dua orang masih dikasih, ketika makin banyak yang menyalip kita minta baik-baik untuk masuk dalam antrian.
Dari beberapa keran air yang tersedia ada air panas. Dalam udara sedingin itu lebih nyaman berwudlu dengan air hangat. Kulitku agak sensitif terhadap udara dingin. Dalam masa adaptasinya, pasti harus biduran (kaligata-bahasa sunda) dulu.
Banyak jamaah yang memilih shalat tahajud sebelum mata benar-benar terserang kantuk. Dengan pencahayaan seadanya beberapa memilih membaca al qur’an. Semuanya baru benar-benar terbangun menjelang shalat subuh. Menunggu shalat subuh, kami mengisinya dengan shalat fajar, shalat qobliyah subuh. Shalat dilanjutkan dengan melakukan doa bersama dan dzikir.
Ketika matahari sudah sampai sepenggalah, belum ada tanda-tanda kiriman makanan. Tiba-tiba muncul Ketua Kloter yang menyampaikan informasi bahwa kemungkinan besar tidak dikirim makanan. Sebagai gantinya ada snack dan buah-buahan hadiah dari Raja Saudi. Cukup lumayan buat mengganjal perut setelah semalaman tidak bertemu nasi. Tak lama beberapa dus snack dibawa petugas-petugas kebersihan. Dalam sekejap isi dus tersebut terbagi rata ke seluruh jamaah. Bagi yang masih lapar, beberapa orang kembali berbagi mie instan.
Sampai siang makanan yang dinantikan tetap tidak datang juga. Usai shalat dhuha Pak Kiai tidak beranjak dari tempat duduknya. Waktu yang dimuliakan dalam wukuf memang ada waktu sesudah shalat dzuhur.
”Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariikalah, lahul mulku walahul hamdu, biyadihil khairu wahuwa ’alaa kulli syaiih qadir. Ya Allah ampunilah aku, terimalah taubatku, sesungguhnya engkau penerima taubat. Ampunilah aku dengan ampunan yang dapat memperbaiki keadaanku di dunia dan di akhirat. Rakhmatillah aku dengan rahmat yang membahagiakan aku di dunia dan di akhirat. Beri taubatlah kepadaku dengan taubat yang membersihkan, yang tidak rusak lagi selama-lamanya. Pindahkanlah aku dari kehidupan durhaka kepada kemuliaan ta’at dan cukupkan aku dengan yang halal dari yang harram, dengan ta’at dari maksiat dan dengan segala keutamaanMu. Sinarilah sanubariku dan kuburku, lindungilah aku dari segala kejahatan, kumpulkanlah bagiku segala kebaikan di dunia dan akhirat serta lindungilah aku dari siksa api neraka”.
Pak Kiai yang memimpin doa dan memberikan tausyiah diselingi shalawat dan pengajian. Sesekali aku mengaminkan doa Pak Kiai dengan mata bersimbah air mata. Maha Agung Allah SWT yang pada waktu ini menghadirkan Nabi Khaidir AS untuk turut wukuf bersama kaun muslimin. Banyak riwayat menceritakan Nabi khaidir pernah ingin merasakan sakitnya dicabut nyawa. Oleh karena itu beliau meminta Allah untuk menugaskan malaikat izroil mencabut nyawanya. Nabi Khaidir merasakan kesakitan yang luar biasa dan meminta Allah untuk mengembalikan hidupnya. Sejak saat itu sang nabi terus hidup dan meminta ijin pada Allah untuk tetap mengikuti wukuf di padang Arafah sampai akhir hayatnya tiba.
Di sela-sela tausyiahnya Pak Kiai mengingatkan agar ibadah yang dilaksanakan tidak terganggu karena ketiadaan jatah makanan. Setiap orang diharapkan dapat saling membagi satu sama lain.
Kami berdoa dan terus berdoa, memohon ampunan dan perlindungan. Tausyiah terus berlanjut sampai shalat ashar dan baru berhenti menjelang maghrib. Selanjutnya kami diinstrusksikan bebenah untuk melanjutkan perjalanan ke Mudzdalifah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar