Minggu, 24 Oktober 2010

Haji 2006, Dijamu Bakso Di Laut Merah

Tak terasa tinggal seminggu di Makkah. Kami berencana city tour ke Jeddah sekaligus memenuhi undangan pengajian dari sahabat Pak Kiai. Sehari sebelumnya sudah diumumkan bahwa kami akan diajak bertamasya ke Jeddah sekaligus memenuhi undangan dari kenalan beliau. Dan dari cerita yang kudengar, undangan ini rutin setiap tahun bagi jamaah Assyifa.

Usai shalat ashar, kami diangkut oleh 2 bus besar. Perjalanan Makkah – Jeddah kembali ditempuh, namun kali ini kami lebih santai sehingga dapat menikmati pemandangan. Di hamparan gunung batu, tampak segerombolan ternak biri-biri yang sedang merumput dari sela-sela batu. Sungguh tidak masuk di akal, apa makanan yang dari gunung setandus ini, tapi biri-biri itu tampak gemuk dan sehat. Jangan membayangkan seorang pengembala dengan baju rombeng dan topi caping. Yang ada adalah sesosok laki-laki yang badannya tersembunyi di balik kemudi Cherokee atau land cruiser. Mereka tampak gagah di atas “Kuda Jepang”.

Jalan menuju rumah Syeikh Sulaeman melewati pasar kambing, di Indonesiapun kami tak pernah melihat kambing sebanyak itu. Di Makkah daerah tandus, sangat suprise saja pasarnya menyediakan ternak yang sehat dan gemuk.

Hampir Magrib ketika bus tiba di tempat tujuan. Bangunan kotak berlantai 3. Kami dipersilahkan menuju lantai paling atas. Ternyata Syeikh Sulaiman yang bekerja di sebuah masakapai penerbangan di Arab. Beliau berasal dari Indonesia dan beristrikan orang Arab. Oleh karena itu suasana Indonesia sangat terasa dari caranya menyampaikan salam selamat datang. Dan keindonesiaan itu makin tampak, karena jamaah dilayani TKW asal Cianjur dan Jawa Tengah. Usai Shalat berjamaah kami melakukan pengajian dan tausyiah. Setelah itu makan nasi khas Arab, yang disajikan dalam piring-piring lodor besar.

Jam 10.00 malam kami baru keluar dari rumah tersebut. Menyusuri jalanan Jeddah di malam hari, denyut kehidupan tampaknya semakin terasa. Mobil dibelokkan ke pantai laut Merah. Ternyata benar, siklus hidup orang Arab itu berbeda dengan orang kita. Pagi-pagi jangan harap melihat perempuan Arab berkeliaran kecuali di masjid, kalau malam hari ramai sekali. Beberapa keluarga muda dengan beberapa anaknya yang masih kecil menghabiskan malam di tepi pantai. Nun jauh di seberang ada air mancur yang tinggi. Konon dibalik air mancur itulah salah satu istana Raja Arab.

Keriuhan makin lengkap oleh suara musik padang pasir terdengar berdentum-dentum di kendaraan sewaan. Kendaraan tersebut dihias, ditarik 2 kuda besar, dilengkapi dengan lampu kelap-kelip. Bentuknya bak kereta kerajaan. Setiap kereta dapat diisi 4 orang dengan duduk berhadapan. Bagi yang ingin naik onta, tersedia juga unta sewaan, tapi saya tidak memiliki keberanian untuk menungganginya. Hiy….gimana kalau ngamuk. Ada lebih tertarik menyaksikan mobil-mobil terbuka, mirip mobil yang dipakai di arena golf. Mobil-mobil tersebut dipenuhi ABG berkulit hitam, laki-laki dan perempuan. Seorang gadis kecil dengan rambut dikepang menari bak penari perut sambil disoraki teman-temannya.Ternyata sesuatu yang dilarang di Makkah bukan tabu di kota Jeddah.

Ketika kami bereempat masih asyik berkeliling, rombongan tampak berkumpul di tepi laut. “Bakso…bakso…” teriak mereka sambil melambai-lambai tangannya. Wah…kami pun berlari mencari tahu. Ternyata memang benar, satu keluarga tampak sedang melayani jamaah membangi-bagikan semangkok bakso. Lezatnya tidak terkatakan. daging asli benar-benar serasa di kampung sendiri. Ternyata mereka berasal dari Sumedang yang bekerja di kedutaan dan rutin menjamu jamaah dengan bakso buatan mereka. Semoga Allah membalas kebaikan mereka yang turut menjamu tamu-tamu Allah. Usai menyantap hidangan pedas, kami boleh meminta tambah. Bahkan disediakan plastik untuk membungkus agar sampai dimaktab dapat dimakan kembali.

Beberapa orang membungkus bakso teringat beberapa jamaah yang tidak ikut. Sopir bus yang berasal dari Turki kami bujuk dengan bahasa campur aduk.
”It’s meat ball, enak sekali. Ayo mister you must try it”.
Akhirnya, sopir itu mengalah untuk mencicipnya. Semangkok bakso dihabisinya dengan cepat. Kemudian dengan pedenya minta tambah. Dengan cuweknya dia melahap bakso tak memperdulikan kami yang mentertawakan kelucuannya.

Kami hanya singgah di pantai laut merah. Padahal di Jeddah ini banyak tempat yang biasa dikunjungi jamaah Indonesia. Masjid terapung yang berdiri kokoh di atas laut merah memberi kesan tersendiri. Kami pernah melakukan shalat sunat 2 rakaat. Masjid bercat putih itu tampak perkasa diterjang ombak yang memukul tepian pantai.

Masjid lainnya yang menjadi referensi orang Indonesia adalah Masjid Qisas atau Masjid Syeikh Ibrahim Al-Juffali. Bangunannya sederhana dan tidak lazim, bentuknya seperti jajaran genjang. Diatasnya bertengger 26 kubah. Kubah terbesar berada di atas mihrab dan pintu masuk sebelah Selatan. Bus hanya melewatinya, namun dari cerita Saudara kami yang mukim di Makkah arsitektur bagian dalam masjid memiliki interior dan tata warna yang indah, lantainya dihampari permadani warna merah. Dinding masjid memakai bahan kedap suara. Warna dan interior sangat indah dan dihampari permadani merah dan garis shaft coklat. Masjid yang asri ini ternyata memiliki fungsi yang ”menyeramkan” karena di masjid inilah sering dilaksanakan hukum qisas, yaitu suatu eksekusi hukuman mati terhadap seorang terpidana, seperti hukum pancung. Eksekusi berlangsung terbuka usai selesai sholat Jumat di halaman masjid. Masyarakat umum boleh menyaksikannya. Konon, arah kepala di terpidana dihadapkan sesuai dengan perbuatannya. Sebelum pelaksanaan qisas biasanya pemerintah mengumumkannya di TV lokal, sehingga pada saatnya masyarakat sudah berduyun-duyun untuk melihatnya. Bahkan tamu hotel di seberang masjid sering turut menyaksikan hanya dengan mengintip dari jendela kamar. Aku kalaupun memiliki kesempatan untuk melihatnya, tidak tega membayangkannya.

Dilihat dari apa yang terekam mata di sepanjang kota Jeddah, tampaknya orang Arab ini senang memberi aksesories kotanya dengan berbagai monumen. Namun dari sekian banyak monumen yang ada, kami tertarik dengan monumen sepeda raksasa yang memiliki tinggi 15 m dengan lebar sekira 25,5 m, lengkap dengan ban serepnya. Letaknya di bundaran "S-Sittin" Jeddah. Orang arab sendiri menyebutnya sebagai Square Darajah (taman sepeda). Namun orang Indonesia cukup kreatif. Monumen ini dijulukinya Sepeda Nabi Sulaeman, nabi Musa bahkan Nabi Adam. Padahal monumen ini merupakan kreasi orang Korea.

Malam semakin larut, selesai sudah perjalanan city tour di gerbang negara Arab ini. Menjelang dini hari, bis bergerak kembali ke Makkah. Langit berwarna cerah. Kegelapan ditingkahi deru pesawat yang mengudara tiap 5 menit. Ternyata sudah banyak jamaah yang kembali ke tanah airnya, termasuk jamaah Indonesia yang memakai fasilitasi haji ONH plus. Keriuhan di udara seolah mengingatkan kalau sebentar lagi kamipun harus meninggalkan bumi Allah ini.

0 komentar:

Posting Komentar