Pemberangkatan ke Madinah sesuai dengan rencana. Bus beriringan membawa kami didalamnya pada jam 22.00. Sambil duduk kami merekam suasana Makkah, kesibukannya, suasananya dan pernik-perniknya. Kami membalas lambaian tangan jamaah yang sedang berjalan kaki. Mereka tahu kami adalah rombongan haji yang akan meninggalkan Makkah. Rasanya separuh jiwa tertinggal di kota ini. Perjalanan panjang mulai dirasakan setelah usai ziarah di Makam istri baginda Rasullulah, Siti Maemunah RA. “Ya Allah ya Robbi....ijinkan kami kembali ke baitullahMu, mengetuk pintuMu, memohon ampunan dariMu”.
Jarak antara Makkah dan Madinah lebih kurang 450 KM. Nabi biasa menjalaninya dengan menggunakan unta sehingga memakan waktu 1 bulan. Sedangkan kini cukup ditempuh 6 jam melalui tol bebas hambatan. Konon pada masa Usmaniyah Turki terdapat jalur kereta api yang menghubungkan Madinah dengan Amman (Yordania) serta Damaskus (Syria), sebagai rangkaian dari jalur kereta api Istambul (Turki) - Haifa (Israel) yang dikenal dengan nama Hejaz Railway. Jalur ini dipakai untuk kelancaran jamaah haji. Kini jalur itu sudah tidak ada lagi. Stasiun kereta api Madinah sudah berganti menjadi museum. Selain lewat jalur darat, menuju kota Madinah dapat diakses melalui Udara. Sesuai jadwal, kepulangan kamipun akan berangkat dari badara di Madinah.
Ketika Nabi hijrah, Madinah masih bernama Yastrib yang dikenal sebagai pusat perdagangan. Nama Madinah digunakan setelah junjunan bermukim disini, mengembangkan agama Islam sampai beliau wafat dan dimakamkan di kota ini. Tongkat estafet syiar Islam diteruskan para sahabatnya seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan.
Sampai kini Madinah atau Madinah Al Munawwarah (juga Madinat Rasul Allah, Madīnah an-Nabī) merupakan kota yang ramai diziarahi atau dikunjungi oleh kaum Muslimin.
Di madinah terdapat masjid yang dibangun oleh nabi yaitu Masjid Nabawi. Masjid yang dibangun atas dasar taqwa memberikan keutamaan bagi kaum Muslimin. Dalam Hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa : "Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) memiliki pahala 1000 x dan Shalat di Masjidil Haram (Mekah) memiliki pahala 100000 x".
Bagi umat muslim, Madinah menjadi kota suci kedua. Madinah menjadi pusat dakwah, pengajaran dan pemerintahan Islam. Bertolak dari kota ini Islam berkembang, bermula dan ”kembali” ke kampung halamannya di Makkah, kemudian menyebar ke seluruh jazirah Arabia dan lalu ke seluruh dunia.
Menempuh Madinah dengan perjalanan di malam hari, memang lebih nyaman. Jalan yang disusuri hening dan lengang. Kendati demikian tak satu pengemudipun berani ugal-ugalan. Sensor di jalan raya mencatat bus yang memacu kecepatan lebih dari 75 km/jam sebagai batas kecepatan maksimal. Bagi yang melanggar ketentuan, alat sensor akan mencatat nomor bus, denda diakumulasi dan baru dikenakan ketika pengemudi saat memperpanjang surat ijin mengemudi.
Perjalanan terhenti di pertengahan jalan untuk dilakukan pemeriksaan. Tempatnya seperti lapangan parkir yang luas dengan puluhan bus sudah terparkir. Jeda tersebut banyak dimanfaatkan untuk menuju kamar kecil.
Angin dingin langsung menerpa wajah seketika begitu keluar dari kendaraan. 2 baju hangat yang dikenakan tidak mampu melawan hawa dingin yang sampai ke tulang-tulang. Setengah berlari kami berdua menuju toilet di sudut lapangan. Belum terlalu banyak yang mengantri sehingga tidak perlu lama menahan diri. Sampai di bus sudah ada sebungkus makanan kecil rangsum. Namun tidak mampu membangkitkan selera karena jenisnya masih sama dengan yang didapat di Makkah. Rampung dengan urusan pemeriksaaan, bus melaju kembali menembus kegelapan.
Disini hari bus beristirahat di sebuah areal perhentian. Mengintip suasana di arena istirahat dari jendela mobil, rasanya aku hapal tempat itu. Berbalik menengok, suamiku malah mengedipkan matanya. Ternyata pikiran kami sejalan. Di tempat ini kamipun pernah beristirahat pada saat umroh. Waktu itu, pengemudi bus (TKI yang berasal dari Cianjur) memberitahu ada nasi goreng enak. Aku menggangguk dengan semangat takala suamiku menawarkan untuk membelinya. 10 menit berlalu menembus udara dingin, suamiku kembali dengan sekotak nasi goreng hangat. Bau rempah-rempahnya menebar aroma penuh selera. Beberapa jamaah terbangun mencium aroma yang mengusik perutnya. Melihat kami menyantap makanan dengan begitu berselera, mereka memilih membeli daripada turut mencicipi makanan kami. Ketika bus melaju kembali, perjalanan yang tadinya senyap menjadi lebih ‘hidup’.
Jam 3.30 bus memasuki batas kota Madinah. Berbeda dengan Makkah yang berbukit-bukit, Madinah memiliki daerah yang landai. Kota yang sejuk dan subur. Pohon-pohon kurma banyak dijumpai di setiap sudut jalan. Ketenangan dan keutamaan kota inilah yang senantiasa menimbulkan kerinduan untuk datang dan datang kembali ke Madinah. Mungkin saja kecintaan kaum muslimin pada kota ini erat kaitannya dengan doa Rasullulah : ”Ya Allah, berilah kecintaan kepada Madinah seperti cinta kami terhadap kota Mekah atau bahkan melebihinya”.
Memang, Madinah kota yang mencintai dan dicintai Rasullulah. Ketika melarikan diri dari Makkah karena dianiaya kaum jahiliyah dan terpuruk didzolimi kerabatnya sendiri. Masyarakat Madinahlah yang mengembangkan tangan, menerima dengan tulus kehadiran Nabi dan para sahabat dengan suka cita. Ketulusan penduduk Madinah merupakan pertolongan yang sangat besar untuk pengembangan agama Islam. Maka, Allah telah membalas kebaikan Madinah dan penghuninya dengan berbagai keberkahan.
Madinah yang menjadi saksi Nabi beserta keluarganya hidup tenang dan damai dalam situasi yang pasang surut. Di kota ini pulalah, Rasullulah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Bumi Madinah yang menyimpan jasad manusia agung menambah deretan kemuliaan kota Madinah. Berjuta-juta kaum muslimin datang menziarahinya Mereka tidak hanya datang dari pelosok Arab melainkan dari berbagai belahan bumi. Hal ini semakin memberikan denyut kehidupan ekonomi di Madinah. Tanahnya subur, rezeki mengalir dibawa oleh para pengunjung.
Sepanjang perjalanan Pak Kiai selalu berpesan agar selama tinggal di Madinah menjaga etika, merendahkan suara sebagai wujud penghormatan kami kepada baginda Rasullulah.
Madinah memang hening dan tenang walaupun dijejali jutaan jamaah. Tak terdengar penjaga toko berteriak menjajakan dagangannya, sebagaimana dijumpai di Makkah. Semua orang berbicara, tertawa dengan sangat terjaga karena malu ada ’nabi’ diantara kita.
Hampir jam 4 bus berhenti di sebuah hotel berlantai 10. Dari sisi kanan depan menyemburat cahaya dari beberapa menara masjid Nabawi. Semua terpaku, semua terpukau memandang sudut mesjid dalam balutan lampu. Beberapa jamaah yang akan menjalankan shalat subuh tampak berbondong-bondong menuju masjid. Sementara kami hanya bergerombol menunggu ketua rombongan yang sedang mengurus kunci kamar. Adzan subuh berbunyi takala kami sampai di pintu kamar.
Disini kami tinggal di hotel. Keadaannya jauh lebih bagus dibanding tempat di Makkah. Hotelnya masih baru dan tertata apik. Jarak ke mesjidpun sangat dekat. Dari kamar tidur kami dapat memandang keagungan mesjid yang berdiri megah.Sungguh suatu pemandangan yang terpatri di hati.
”Alhamdullilah ya Allah telah kau sampaikan kaki kami di tanah yang engkau berkahi ini...”, ucapku dengan rasa syukur.
Minggu, 24 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar