Selasa, 23 Februari 2010

Thalhah.... Syuhada Yang Masih Berjalan Di Muka Bumi




Siapa dia Thalhah bin Ubaidillah?

Kemurahan dan kedermawanan Thalhah bin Ubaidillah patut kita contoh dan kita teladani. Dalam hidupnya ia mempunyai tujuan utama yaitu bermurah dalam pengorbanan jiwa. Thalhah merupakan salah seorang dari delapan orang yang pertama masuk Islam, dimana pada saat itu orang bernilai seribu orang. Sejak awal keislamannya sampai akhir hidupnya dia tidak pernah mengingkari janji. Janjinya selalu tepat. Ia juga dikenal sebagai orang jujur, tidak pernah menipu apalagi berkhianat. Thalhah masuk Islam melalui anak pamannya, Abubakar Assidiq Ra.

Awal Masuk Islam

Dengan disertai Abubakar Assiddiq, Thalhah pergi menemui Rasulullah SAW. Setelah berhasil jumpa dengan Rasulullah SAW, Thalhah mengungkapkan niatnya hendak ikut memeluk Dinul haq, Islam. Maka Rasulullah SAW menyuruhnya mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah menyatakan keislamannya di hadapan Muhammad SAW, Thalhah dan Abubakar Ra pun pergi. Tapi ditengah jalan mereka dicegat oleh Nofel bin Khuwailid yang dikenal dengan "Singa Quraisy", yang terkenal kejam dan bengis. Nofel kemudian memanggil gerombolannya untuk menangkap mereka. Ternyata Thalhah dan Abubakar tidak hanya ditangkap saja. Mereka diikat dalam satu tambang lalu dipukuli. Semua itu dilakukan Nofel sebagai siksaan atas keislaman Thalhah. Oleh karena itu Thalhah dan Abubakar Ra dijuluki "Alqorinan" atau "dua serangkai". Thalhah adalah seorang lelaki yang gagah berani, tidak takut menghadapi kesulitan, kesakitan dan segala macam ujian lainnya. Ia seorang yang kokoh mempertahankan pendirian meskipun ketika jaman jahiliah.

Pengorbanan Thalhah kepada Rasulullah SAW

Bila diingatkan tentang perang Uhud, Abubakar Ra selalu teringat pada Thalhah. Ia berkata, "Perang Uhud adalah harinya Thalhah. Pada waktu itu akulah orang pertama yang menjumpai Rasulullah SAW. Ketika melihat aku dan Abu Ubaidah, baginda berkata kepada kami: "Lihatlah saudaramu ini." Pada waktu itu aku melihat tubuh Thalhah terkena lebih dari tujuh puluh tikaman atau panah dan jari tangannya putus." Diceritakan ketika tentara Muslim terdesak mundur dan Rasulullah SAW dalam bahaya akibat ketidakdisiplinan pemanah-pemanah dalam menjaga pos-pos di bukit, di saat itu pasukan musyrikin bagai kesetanan merangsek maju untuk melumat tentara muslim dan Rasulullah SAW, terbayang di pikiran mereka kekalahan yang amat memalukan di perang Badar. Mereka masing-masing mencari orang yang pernah membunuh keluarga mereka sewaktu perang Badar dan berniat akan membunuh dan memotong-motong dengan sadis. Semua musyrikin berusaha mencari Rasulullah SAW. Dengan pedang-pedangnya yang tajam dan mengkilat, mereka terus mencari Rasulullah SAW. Tetapi kaum muslimin dengan sekuat tenaga melindungi Rasulullah SAW, melindungi dengan tubuhnya dengan daya upaya, mereka rela terkena sabetan, tikaman pedang dan anak panah. Tombak dan panah menghunjam mereka, tetapi mereka tetap bertahan melawan kaum musyrikin Quraisy. Hati mereka berucap dengan teguh, "Aku korbankan ayah ibuku untuk engkau, ya Rasulullah". Salah satu diantara mujahid yang melindungi Nabi SAW adalah Thalhah. Ia berperawakan tinggi kekar. Ia ayunkan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Ia melompat ke arah Rasulullah yang tubuhnya berdarah. Dipeluknya Beliau dengan tangan kiri dan dadanya. Sementara pedang yang ada ditangan kanannya ia ayunkan ke arah lawan yang mengelilinginya bagai laron yang tidak memperdulikan maut. Alhamdulillah, Rasulullah selamat. Thalhah memang merupakan salah satu pahlawan dalam barisan tentara perang Uhud. Ia siap berkorban demi membela Nabi SAW. Ia memang patut ditempatkan pada barisan depan karena ALLAH menganugrahkan kepada dirinya tubuh kuat dan kekar, keimanan yang teguh dan keikhlasan pada agama ALLAH. Akhirnya kaum musyrikin pergi meninggalkan medan perang. Mereka mengira Rasulullah SAW telah tewas. Alhamdulillah, Rasulullah selamat walaupun dalam keadaan menderita luka-luka. Baginda dipapah oleh Thalhah menaiki bukit yang ada di ujung medan pertempuran. Tangan, tubuh dan kakinya diciumi oleh Thalhah, seraya berkata, "Aku tebus engkau Ya Rasulullah dengan ayah ibuku." Nabi SAW tersenyum dan berkata, " Engkau adalah Thalhah kebajikan." Di hadapan para sahabat Nabi SAW bersabda, " Keharusan bagi Thalhah adalah memperoleh ...." Yang dimaksud nabi SAW adalah memperoleh surga. Sejak peristiwa Uhud itulah Thalhah mendapat julukan "Burung elang hari Uhud."

Thalhah Yang Dermawan

Pernahkah anda melihat sungai yang airnya mengalir terus menerus mengairi dataran dan lembah ? Begitulah Thalhah bin Ubaidillah. Ia adalah seorang dari kaum muslimin yang kaya raya, tapi pemurah dan dermawan. Istrinya bernama Su'da binti Auf. Pada suatu hari istrinya melihat Thalhah sedang murung dan duduk termenung sedih. Melihat keadaan suaminya, sang istri segera menanyakan penyebab kesedihannya dan Thalhah mejawab, " Uang yang ada di tanganku sekarang ini begitu banyak sehingga memusingkanku. Apa yang harus kulakukan ?" Maka istrinya berkata, "Uang yang ada ditanganmu itu bagi-bagikanlah kepada fakir-miskin." Maka dibagi-bagikannyalah seluruh uang yang ada ditangan Thalhah tanpa meninggalkan sepeserpun. Assaib bin Zaid berkata tentang Thalhah, katanya, "Aku berkawan dengan Thalhah baik dalam perjalanan maupun sewaktu bermukim. Aku melihat tidak ada seorangpun yang lebih dermawan dari dia terhadap kaum muslimin. Ia mendermakan uang, sandang dan pangannya." Jaabir bin Abdullah bertutur, " Aku tidak pernah melihat orang yang lebih dermawan dari Thalhah walaupun tanpa diminta." Oleh karena itu patutlah jika dia dijuluki "Thalhah si dermawan", "Thalhah si pengalir harta", "Thalhah kebaikan dan kebajikan".


Kisah Thalhah Beserta Aisyah dan Ali bib Abu Thalib

Di perang Uhud, ketika tubuhnya memerisai Rasulullah dan tujuh puluh luka berlomba menguras darahnya, Thalhah ibn ‘Ubaidillah berdoa sambil menggigit bibir. “Rabbii”, begitu lirihnya, “Khudz bidaamii hadzal yauum, hattaa tardhaa. Ya Allah, ambil darahku hari ini sekehendakMu hingga Engkau ridha.” Tombak, pedang, dan panah yang menyerpih tubuh dibiarkannya, dipeluknya badan sang Nabi seolah tak rela seujung bulu pun terpapas.

“Kalau ingin melihat syahid yang masih berjalan di muka bumi”, begitu Sang Nabi bersabda, “Lihatlah pada Thalhah”. Dan Thalhah, yang jalannya terpincang, yang jarinya tak utuh, yang tubuhnya berlumur luka tersenyum malu dan menitikkan air mata. Terlihatlah di pipinya bening luh itu, mengalir di atas darah yang mengering merah.

Satu hari ia berbincang dengan ‘Aisyah, isteri sang Nabi, yang masih terhitung sepupunya. Rasulullah datang, dan wajah beliau pias tak suka. Dengan isyarat, beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam meminta ‘Aisyah masuk ke dalam bilik. Wajah Thalhah memerah. Ia undur diri bersama gumam dalam hati, “Beliau melarangku berbincang dengan ‘Aisyah. Tunggu saja, jika beliau telah diwafatkan Allah, takkan kubiarkan orang lain mendahuluiku melamar ‘Aisyah.”

Satu saat dibisikannya maksud itu pada seorang kawan, “Ya, akan kunikahi ‘Aisyah jika Nabi telah wafat.”
Gumam hati dan ucapan Thalhah disambut wahyu. Allah menurunkan firmanNya kepada Sang Nabi dalam ayat kelimapuluhtiga surat Al Ahzab, “Dan apabila kalian meminta suatu hajat kepada isteri Nabi itu, maka mintalah pada mereka dari balik hijab. Demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka. Kalian tiada boleh menyakiti Rasulullah dan tidak boleh menikahi isteri-isterinya sesudah wafatnya selama-lamanya.”

Ketika ayat itu dibacakan padanya, Thalhah menangis. Ia lalu memerdekakan budaknya, menyumbangkan kesepuluh untanya untuk jalan Allah, dan menunaikan haji dengan berjalan kaki sebagai taubat dari ucapannya. Kelak, tetap dengan penuh cinta dinamainya putri kecil yang disayanginya dengan asma ‘Aisyah. ‘Aisyah binti Thalhah. Wanita jelita yang kelak menjadi permata zamannya dengan kecantikan, kecerdasan, dan kecemerlangannya. Persis seperti ‘Aisyah binti Abi Bakr yang pernah dicintai Thalhah.
Begitulah, tiap pahlawan punya kisahnya sendiri.

Sesudah wafatnya ‘Utsman ibn ‘Affan di tangan para pemberontak, fitnah besar itu terjadilah. Thalhah bersama Zubair ibn Al ‘Awwam dan ‘Aisyah memerangi ‘Ali ibn Abi Thalib untuk menuntut bela kematian ‘Utsman, meminta ditegakkannya keadilan atas para pembunuh ‘Utsman yang sebagiannya kini menjadi penyokong utama kekhalifahan ‘Ali ibn Abi Thalib. Keadaan sangat tidak mudah bagi ‘Ali. Pilihan-pilihannya terbatas. Thalhah tahu itu. Tapi dia sendiri juga kesulitan bersikap lain di tengah kedua kubu.

Satu hari, dalam perang yang dikenal sebagai Waq’ah Jamal itu, ‘Ali mengirim utusan, memohon agar bisa berjumpa dengan kedua sahabat yang dicintainya; Thalhah dan Az Zubair. Mereka berdua datang. Mereka bertiga berpelukan. Tak terasa air mata meleleh. Kenangan-kenangan ketika ketiganya bersipadu di sisi Rasulullah berkelebatan dengan indah. Namun kini terasa menyesakkan. Menyakitkan. Dulu pedang mereka seayun, langkah mereka sebaris, tangannya bergandengan. Kini mereka harus berhadapan saling menghunus pedang, dengan mata saling menatap tajam, tapi hati tersembilu.

Dan seolah tak ada jalan selain itu.
Sesudah menyeka air mata, ‘Ali menggenggam jemari Thalhah dan menatap dalam ke wajahnya. Dengan menghela nafas, ‘Ali mencoba menyusun kata. “Ingatkah engkau hai Thalhah, mengapa Allah turunkan ayat tentang hijab bagi isteri Nabi dan mengapa Dia melarang kita untuk menikahi janda beliau?”
Thalhah terisak. Dadanya bergemuruh oleh malu dan sesal. Bahu kekarnya bergeletar.
‘Ali menepuk bahu Thalhah. “Ya”, katanya sambil mengalihkan pandangan, tak sanggup melihat tercabiknya batin Thalhah oleh kata-katanya. Tapi demi perdamaian dan persatuan kembali kaum Muslimin, ‘Ali mau tak mau harus mengatakan ini. Ia menguatkan hati. “Ayat itu turun karena maksud hati dan ucapanmu untuk menikahi ‘Aisyah.”

‘Ali meraba reaksi Thalhah. Lalu Ia melanjutkan sambil menatap tajam pada sahabatnya itu. “Dan kini sesudah beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam benar-benar wafat, mengapa engkau justru membawa ‘Aisyah keluar dari hijabnya dan mengajaknya mengendarai unta dan berperang di sisimu?”

Thalhah menubruk ‘Ali, memeluk dan menangis di bahunya. Hari itu mereka sepakat berdamai dan menyudahi perang saudara. Dan di hari itu pula, sepulang dari kemah ‘Ali, Thalhah, bersama Az Zubair sahabatnya dibunuh oleh orang-orang yang tak menghendaki perdamaian. Dan ‘Ali ibn Abi Thalib dengan duka yang begitu dalam, sore itu, menggali kubur untuk kedua cintanya.

Dari berbagai sumber dan http://salim-a-fillah.blog.friendster.com

0 komentar:

Posting Komentar