Selasa, 09 Februari 2010

Nyata

Syetan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Yang lain cuma palsu. Boongan doang. Derita, sedih, kehilangan, beserta gerombolan lainnya sesungguhnya cuma placebo belaka. Namun menjadi begitu digdaya, sehingga seringkali menjadi terperdaya. Yang membuat kita tersiksa dan menderita. Karena seolah-olah kita pemiliknya. Kita perkasa, dan begitu kaya. Kebodohan yang menipu. Namun menjadi tipuan yang bodoh, bagi mereka yang berakal.

Karena bagi mereka yang berakal sadar ketidaksempurnaannya sehingga akan selalu menyempurnakan semua yang dihasilkannya. Walau tidak akan pernah berhasil, namun tak pernah berakhir. Karena Allah selalu menghitung proses, bukan hasil. Semua menjadi bukan untuk dirinya. Dan selalu berusaha membebaskan dari berbagai kepentingan subyek. Aku tidaklah penting, demikian keyakinannya. Apalagi untuk ngetop dan terkenal, apalagi sampai memiliki ATM pribadi. Karena mereka memaknai fitrahnya. Dengan niat yang seharusnya seperti itu, akal selalu dan selalu untuk memanfaatkan waktu yang dihirupnya. Untuk berbuat kebajikan. Menyesali perbuatan baik yang tidak dapat dikerjakan menjadi pekerjaannya. Perbaikan dan kebaikan, bukan untuk dirinya, Untuk semesta kehidupan.

Sebagai musuh nyata, mereka melakukan pengelabuan untuk melemahkan subyek. Walau dikesan pertamanya menjadi begitu kokoh dan sangat masuk akal. Deskriptif yang diciptakannya menjadi ketangguhan yang keropos. Menjadi sombong, maka seolah dunia ini milik kita. Serakah. Contohnya saja untuk sebuah karya cipta hingga karya intelektual menjadi dimiliki subyek. Apapun itu, sekecil apapun, di bidang apapun itu harus diuangkan sebagai hak cipta. Sebuah transaksi ekonomis jadinya. Berniaga dalam kepongahan. Seolah otak dan kemampuan ini sepenuhnya menjadi milik parasubyek. Kita menjadi tidak berakal dengan tidak menghitungnya: oksigen dan perangkat tubuh lainnya adalah gratis! Masih tegakah bersikap seperti itu? Cerdaskah atau sesungguhnya ketidaktahuan yang berasa modern?

Bagikan saja. Ya berbagi tidak akan membuat kita kekurangan. Bahkan menjadi kelebihan kita. Terasa maya. Tapi sesungguhnya kesungguhan itu adalah pemahaman diri dalam konstelasi semesta. Bukan hanya akal dan subyek di dalam masa. Sehingga menjadi agenda untuk menjadi supersubyek. Sadar atau pun tidak. Ketika subyek melihat dengan akalnya tanpa terpengaruh oleh hawa, maka segala sesuatu akan tampak sebagaimana hakikatnya. Di sisi lain, kompetisi adalah saling mengalahkan, membuat bencana bagi yang lain. Homo hommini lupus.

Hawa memang bekerja hebat menjadi penghambat subyek dalam pencarian yang hakiki. Dia membuat subyek menjadi ceroboh sehingga tidak disempatkan untuk berfikir pada akibatnya, dalam tatanan semesta yang sangat luas dan dalam ini. Kesadaran akali dikaburkan. Hal yang paling kelihatan menurut para pemikir adalah membuatnya senang bermusuhan, memboroskan waktu untuk menumbuhsuburkan kesia-siaan.

Inilah nafsu yang terperdaya hawa. Hawa berasal dari akar kata ‘Hayun’ yang artinya hidup. Nafsu yang mendorong pemenuhan kebutuhan hidupnya Hawa menjadi ruang untuk nafsu. Hawa menguasai nafsu, dan nafsu sangat sulit untuk melepaskan diri dari kekuasaan hawa.

Dengan nafsu kita seharusnya menjadi hidup, untuk mengisi hawa. Walau yang kerap dinikmati hanyaah tragedi penipuan. Hawa bagai minuman memabukkan. Seseorang yang meneguknya akan dikuasai oleh minuman itu, dan akan hilang akal sehatnya. Seperti kata sebuah syair :

jika kau ikuti hawa,
ia akan menuntunmu
menuju semua perbuatan
yang tercela bagimu.

Sesungguhnya nafsu itu suka mengajak ke jalan kejahatan, kecuali (nafsu) seseorang yang mendapatkan rahmat Tuhanku (QS Yusuf : 53).

Pangkal segala maksiat, kelalaian dan syahwat adalah pengumbaran nafsu. Dan pangkal segala ketaatan, kewaspadaan dan kebajikan adalah pengekangan nafsu. Bersahabat dengan orang bodoh yang tidak memperturutkan hawa nafsunya lebih baik bagimu ketimbang bersahabat dengan orang pintar yang meperturutkan hawa nafsunya. Kepintaran apalagi yang dapat disandangkan pada orang pintar yang selalu memperturutkan hawa nafsunya? Dan kebodohan apalagi yang dapat disandangkan pada orang bodoh yang tidak memperturutkan hawa nafsunya? Demikian nasehat Ibn Athaillah Al Sakandari. Sementara menurut Izza Rohman Nahrowi, hawa nafsu ada untuk disikapi.

Subyek tidaklah permanen. Dia akan harus berhijrah : Rahmati kami ya Tuhanku agar menjadi manusia nyata dalam hawa dan nafsu yang melengkapi hidup kehidupan kami sebagai ciptaanMu. Demikian tulisan ini diakhiri.


(Pembelajaran dari tulisan “Memahami Hawa Nafsu, Îdhôhu Asrôri ‘Ulûmil Muqorrobîn, Putera Riyadi” - taman-ilmu.com)

by Afz on Web (seorang teman yang selalu menyuguhkan note dengan perspektif lain dan bahasa yang asyik)

0 komentar:

Posting Komentar