Selasa, 09 Februari 2010

Al


Hujan membasah di lengketnya tanah merah yang menempel di sandal dan sepatu para pengantar jenazah. Bukan karena langit menangis. Atau pun bumi yang sedang berduka. Tetapi sebuah rahmat yang menguyur kehidupan. Walau tanah lahat yang menganga itu diguraukan sebagai rumah masa depan tipe 2x1, oleh mereka yang terlihat tenang sedang berteduh. Terasa sebuah kebijaksanaan. Tapi bagiku tetaplah pusara itu adalah sebuah kesementaraan. Bukan masa depan kita. Seluruh muka bumi ini adalah hidup dan mati seluruh mahluk. Kehidupan sementara kita. Karena hamparan setiap jengkal tanah ini adalah rahmat ciptaan Illahi. Dari saripati tanah diciptakan, ke dalam tanah pula kita dikembalikan. Dan yang ditiupkan kembali kepada Yang Meniupkannya. Maka kepadaNyalah, kepada Sang Abadi kita menuju keabadian kita.

Bada Jumat, selesai dishalatkan, Aldi dan Aldo kedua putra itu tampak bergegas mengiring jenasah ibunya. Berdiri menyaksi sepenuh hatu seluruh prosesi pengembalian melalui liang lahat. Ketika tanah menutup lubang tanah itu, dan hiasan bunga warna-warni menaburinya, tiba-tiba tubuh kedua jagoan itu berguncang. Perlahan lalu mengencang. Setalah itu diam. Dan meledaklah tanpa gelegar. Ataupun iringan petir di langit yang masih mendung dengan sisa hujan yang masih mengucur. Entah apa itu namanya. Yang jelas terlihat air matanya meleleh diam-diam. Ibu. Lirih suaranya memanggil seperti jatuhnya air mata mereka ke tengah genangan air hujan yang membashi kakinya. Ketegaran bukanlah tidak cengeng. Dan tangisan bukanlah kelemahan. Tetapi keiklasan dalam praktik. Aldi dan Aldo membasah. Seluruh tubuhnya. Seluruh hidupnya. Oleh air matanya. Oleh hujan, oleh rahmat kehidupan.

Butir-butir air bening menggantung di ujung-ujung rambutku. Pundak basah. Dan hati bergelora dengan terus berusaha membaca bahasa peristiwa. Kuperhatikan kedua Al itu melangkah meninggalkan gundukan tanah itu, yang telah ditancapkan nisan bertuliskan nama beserta waktu lahir dan mati ibu mereka. Jalannya mantap, tidak gontai sedikit pun. Bahkan dengan wajah yang tidak tertunduk. Mereka menuju ke depan. Kenyataan yang sedang dihadapinya. Dan akan terus dihadapinya. Memang sukar untuk kita bisa memahami sebuah kematian. Seperti juga tentang kehidupan itu sendiri. Malah mungkin sebuah kemustahilan. Tetapi kita sadar bahwa kematian itu ada, dan dia akrab dengan keseharian kita. Dari satu kematian ke kematian lainnya, entah itu saudara, sahabat, tetangga, atau siapa saja orang yang berada di sekitar kita, kita sesungguhnya bisa membaca. (Anda tahu naskahnya kan? *>). Maka langkah kedua Al itu adalah suara lamat-lamat yang memaksa aku untuk memejamkan mata agar bisa mendengar bahasa langkahnya dengan jelas dan tegas.

“Lari itu sekali-kali tidaklah berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian atau pembunuhan, dan jika (kamu terhindar dari kematian) kamu tidak juga akan mengecap kesenangan kecuali sebentar saja.” (QS. 33:16) “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS. 29:57)

Al, kalian berdua, aku peluk kalian erat-erat. Karena aku ingin menyerap seluruh bahasa yang sedang kalian teriakan dalam keluguan yang begitu memahami, bahwa hidup atau mati adalah biasa saja. Karena kemarin jika hidup itu masih ada, maka jika ibu kalian kini telah tiada itu adalah sebuah kenyataan yang harus terjadi. Ibu kalian tersenyum, dan doa kalianlah yang membuat senyum itu menjadi terus tersenyum. Teruslah berjalan. Teruskanlah. Tak ada gunung terlalu tinggi, tak ada lembah terlalu curam. Kenapa harus takut? Tuhan bersama para pemberani. Dan pemberani adalah mereka yang terus menghadapi kenyataan sampai akhirnya. Dalam nanar yang membayang penglihatan, aku lepaskan pelukan itu, sambil berusaha menyemaikan kesadaran Aldi dan Aldo d ke dalam kesadaranku, agar air hujan menumbuhkannya esok pagi. Perjalanan hidup adalah ke depan. Dan itu setapak demi setapak.

Kematian bukanlah perpisahan, walau Rendra menyebut perpisahan sebagai kematian kecil. Karena jika itu memisahkan, buat apa ada doa. Kematian bukanlah duka atau pun luka. Karena buat apa ada kelahiran yang membahagiakan. Kematian bukanlah akhir kehidupan. Karena jika semua telah selesai buat apa ada KehidupaN bagi mereka yang beriman.

Hidup dan mati adalah dua realita yang niscaya berkelanjutan. Mati itu biasa saja. Juga untuk siapa dan atau apa saja yang kita cintai. Tak perlu menduka pada kematian seperti lagu Pusara Cinta-nya Rahmat Kartolo. [pusara cinta – Rahmat Kartolo; #Hatiku sengsara tak terkira / Karena cintaku yang musnah / Kau pergi untuk slama-lamanya / Kini hanya tinggal pusara // Ku slalu berlinang air mata / Karna kau tak lagi kujumpa / Harum bungaku di pusaramu / Menyampaikan rasa cintaku /// Serta ku iringi doa / Bersama air mata /// Hanya dikaulah penglipur lara / Namun akhirnya kau tiada / Dengan hati penuh rasa cinta / Dalam hidup hampa belaka#]

http://www.youtube.com/watch?v=C7vXAlxuqNM

_________________________________________

*> Cukuplah kematian sebagai nasihat… Ya Allah, cukupkanlah akalku untuk memahami nasihat-Mu yang satu ini. Tundukanlah hatiku pada ketentuanMu. Sungguh hidup ini terlalu singkat untuk menemukan jawaban semua pertanyaan. Duhai hidup, betapa waktu kita itu sesungguhnya tak banyak.

by afz on web

0 komentar:

Posting Komentar