Mencermati (ciee…bahasanya berasa jadi Rhenald Kasali) iklan kandidat presiden yang berebut mengklaim suatu isu, mau tidak mau pikiran terbetot pada suatu forum diskusi di salah satu ruangan perkuliahan lantai 2 Kampus Fikom Unpad – Sekelola puluhan tahun yang lalu.
Dalam mata kuliah periklanan ada yang sempat terekam di benak dan sekarang kuingat lagi (karena ada stimulusnya) mengenai strategi beriklan dimana salah satunya adalah melakukan pengukuhan brand dengan memanfaatkan brand kompetitornya. Salah satu contoh yang kuingat dengan baik dimana salah satu produsen negative film muncul dengan jargon “Seindah Warna Aslinya”, tak lama kemudian kompetornya mengkampanyekan produk dengan semboyan “Lebih Indah Dari Warna Aslinya”.
Sebenarnya tidak masalah sih saling mengklaim karena ada beberapa hal yang malahan masyarakat menjadi diuntungkan. Cuma sampai kapan perang program dan perang kebijakan dalam layar kaca? Sampai masyarakat menentukan pilihan atau seterusnya ? Syukur kalau dipenuhi tapi bagaimana kalau cuma janji. Karena kalau mau jujur, seperti masyarakat diharapkan amnesia dari janjii-janji kandidat setelah pesta pemilu usai. Untuk sebuah pekerjaan kolektif, sebenarnya siapakah yang paling berhak mengklaim keberhasilan ? Atau sebaliknya, bagaimana menyikapi kegagalan, siapakah yang paling berhak bertanggungjawab? Lantas bagaimana kalau kegagalan itu akarnya bersumber dari kesalahan di masa-masa sebelumnya? Tambah puyeng deh…
Kembali ke iklan yang tadi…Ada pemain lama yang berusaha menawarkan produk lama dengan sedikit janji lebih berkualitas. Ada juga yang benar-benar baru yang kualitasnya sama sekali belum diuji, hanya mengandalkan track record personalitynya saja. Ada yang sedang mencitrakan diri sebagai orang yang smart, lembut, ngayomin, cerdas dan image-image lain yang diharapkan memberi nilai tambah. Kesan seram dan otoriter menjadi barang tabu selama kampanye.
Semuanya sah-sah saja karena disitulah letak seninya. Cuma kalau sedikit mau inget-inget teori, efektifitas kampanye selain dikarenakan pesan-pesannya juga dipengaruhi oleh siapa yang menyampaikan (komunikator). Tampaknya setiap partai menjadikan ketua umumnya sebagai juru bicara sekaligus kandidat presidennya,
Hovland, Janis dan Kelley menemukan beberapa aspek yang patut dipenuhi oleh seorang juru bicara/kandidat. Pertama, masalah keterpercayaan (Trustwoerthiness). Hal ini berkaitan dengan penilaian masyarakat bahwa orang itu tulus, jujur, bijak dan adil, objektif serta memiliki tanggung jawab social yang tinggi. Untuk mengetestnya sederhana. Cukup dengan menjawab apakah orang itu bisa dipercaya ? apakah secara moralnya dapat diandalkan? Dalam lingkup ini penilaian banyak terkait dengan track record yang bersangkutan. Ada juga untuk masalah ini yang memberikan nilai terhadap konsistensi.
Kedua, masalah keahlian. Faktor ini berhubungan dengan anggapan bahwa yang bersangkutan berpengetahuan, cerdas, berpengalaman, menguasai skill. Intinya adalah orang tersebut dianggap “mumpuni”.
Ketiga adalah daya tarik yang menyangkut penampilan fisik. Seseorang yang tampan/cantik menimbulkan ketertarikan yang lebih tinggi disbanding yang biasa-biasa saja.
Keempat, memiliki faktor pendukung seperti keterbukaan (extroversion), ketenangan (composure), kemampuan bersosialisasi (sociability) dan karisma .
Dengan teori-teori itu sebenarnya kita sudah memperoleh gambaran pesan kampanye apa yang paling diterima dan kandidat mana yang paling memikat hati rakyat.
Tapia pa sesederhana itu ? Negeri sangat kompleks ; ya penduduknya, ya agamanya, ya bahasanya, ya masalahnya juga. Apakah semua Pe Er yang menanti para kandidat memenangka Pemilu dapat diselesaikan. Bisa ya bisa tidak, yang pasti penyelesaian sulit dan tidak dapat dilakukan sendirian. Perlu dukungan dan perlu kerjasama yang baik. Dari beberapa pergantian kepemimpinan, seringkali presiden lama mengambil jarak dengan presiden yang menggantikannya. Gak salah kan kalau kita iri dengan Amerika, dimana George Bush Jr dengan elegant menyerahkan tapuk kepemimpinan kepada Barrack Obama. Sepertinya, siapapun yang memimpin, mereka selalu saling mendukung karena yang menjiwainya adalah semangat kebangsaan. Yang kalah mengambil sikap oposisi, Namun dalam kerangka yang konstruktif. Di Indonesia? Tanpa berniat mendeskriditkan negara yang sama-sama cintai ini, sudah jadi rahasia umum sering terjadi “perang dingin” antara mantan dan presiden yang menjabat. Kalaupun mereka saling mendekat dan duduk satu meja itu dikarenakan hitungan Pemilu tinggal menunggu hari. Saling meminang dan saling menghitung kekuatan. Asli perhitunganya semata-mata untuk mencapai kekuasaan.
Tapi ya sudahlah, tetap saja dalam sebuah negara harus ada yang memimpin. Setiap orang berhak menentukan pilihan, termasuk memilih untuk tidak memilih. Sekalipun hal ini sudah di fatwakan haram oleh MUI. Namun semua sangat tergantung eksekusi i masyarakat di balik bilik suara. Apa yang kita lihat anggap saja sebagai pembelajaran politik. Untuk yang punya background komunikasi ada lebihnya sedikit yaitu dapat memahami alur-alur strategi kampanyenya, yang penuh manipulasi kata dibanding realita yang ada. (Thanks ya buat dosen2 Fikom yang di sekeloa maupun di Banda)
Minggu, 21 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar