Minggu, 21 Juni 2009

Amarah

Gak habis pikir lihat pelaku mutilasi yang menghebohkan itu. Perilakunya terlihat lemah lembut. Padahal track record kasusnya bikin bergidik. Bayangkan, belasan manusia menemui ajal lewat kebrutalan tangannya.

Koq bisa ya? si bungsu memelihara beberapa ikan gurami. Piaraannya dimulai dari sebesar jari tangan, semakin hari semakin besar karena dibiarkan untuk hidup selama bertahun-tahun. Jangankan dipotong untuk santapan di meja makan, sekedar menghilang di balik bebatuan saja si ade sudah ribut mencarinya. Timbul pertanyaan, sebenarnya antara manusia dan hewan peliharaan ada chemistry gak sih? Saya kira ada…Kalau begitu, apalagi antar manusia dengan manusia, sudah pasti line tersambung dengan baik dong….

Oleh karenanya, melihat kasus terbut, bagi saya (dan mungkin bagi sebagian besar orang-orang) sudah benar-benar di luar akal sehat. Coba bayangkan, manusia yang kita kenal, yang mungkin pernah jalan, makan atau melakukan aktivitas bareng-bareng dibantai dengan begitu mengerikan. Tubuhnya dicincang dalam beberapa bagian. Bahkan organ-organ tertentu dirusak dengan membabi buta. Tidak kah berpikir bahwa tangan yang sedang dikuliti itui pernah menggenggam tangan kita, memberi kekuatan takala kita sedang bersedih? Astagfirullahaladziim... Cuma dia yang tahu apa yg tersimpan dari relung hatinya. Tapi melihat gayanya tenang dan senyum simpulnya waktu rekonstruksi sungguh membuat gregetan. Kemana hati nurani nya? kenapa ya seseorang itu bisa melakukan kebiadaban? Jawabannya...karena mengikuti amarah. Haritsah pernah meminta Rasulullah mengajarkan sesuatu. Beliau menjawab, “Jangan marah.”
Haritsah mengulang pertanyaannya hingga berkali-kali. Tapi jawaban Nabi s.a.w. selalu sama: “Jangan marah.”

Lihat, betapa pentingnya menahan amarah. Betapa besarnya persoalan amarah. Amarah itu satu bara dari api neraka. Sebagaimana dalam sabda Nabi s.a.w., “Amarah itu satu bara dari api neraka. Tidakkah kalian lihat bara di kedua matanya, dan bagaimana urat-uratnya menggelembung. Jika seorang dari kalian mendapati amarah (pada dirinya), bila dia sedang berdiri, hendaklah dia duduk. Bila dia sedang duduk, hendaklah dia berbaring.”. Dengan kata lain, amarah yang menggelegak, hati yang membara tak patut kita ikuti dan hati kita sendiri lah yang mampu menetralisirnya.

Jadi, janganlah kita memelihara amarah/kebencian karena sama artinya kita kita menyediakan diri terperosok pada perbuatan-perbuatan yang nista yang jauh dari keridhaanNya. Dan bila kita membenci seseorang dengan dengan sedimikian rupa, itu sama artinya menghibahkan sebagian hidup kita untuk memikirkan orang tersebut (dengan keadaan galau). Kalau istilah anak sekarang ”Cape deh...”.

Pastinya sih memang cape, karena otak yang dikuasai oleh amarah memerlukan berjuta-suta syaraf untuk menggerakannya. Sudah pasti akan menimbulkan kelelahan jiwa yang luar biasa. Apalagi kalau sampai melakukan hal-hal yang diluar batas . Naudzubillahmindzalik... Hal itu tidak berada dalam ukuran kepatutan dan merupakan dosa besar yang kelak diminta pertanggungjawaban di akhirat. Hiiiy.....

0 komentar:

Posting Komentar