Assalamualaikum Wr… Wb….
Seorang teman menyatakan
kegamangannya ketika pacarnya mengajaknya menikah. Konon dalam menyikapi suatu
hubungan, seorang perempuan cenderung ingin segera menikah ketika mendapati
pacarnya semakin serius. Sebaliknya laki-laki semakin gamang ketika hubungan dengan
perempuan yang dicintainya semakin serius. Oleh karenanya jika dikuti laki-laki
lebih suka pacaran daripada menikah. Lho koq piyeee toh. Jangan salah dulu,
bisa jadi memasuki dunia perkawinan mindset perempuan beripikir bahwa setelah
menikah aka nada seseorang yang melindungi, menyayangi, menjaga dan bahkan
dimintai uang ketika ingin membeli sesuatu. Enak kan ???? Beda dengan mindset
laki-laki, menikah adalah tanggung jawab. Tanggung jawab terhadap istri, dan lebih jauh lagi tanggung jawab bertambah
saat memiliki anak. Jadi bisa dipahami
kalau nyali menjadi menciut karena menikah berarti memiliki tanggung jawab.
Teman-teman yang akan memasuku
jenjang perkawinan…. Apa yang saya sampaikan mungkin sangat subjektif dan
kasuistis. Tapi kalau bisa dijadikan sedikit gambaran, so ambil yang baik-baik nya ya….
Duluuu…… saat saya masih lajang, sendiri, bekerja, punya uang, memiliki teman dimana-mana, dengan keinginan membuncah setinggi langit banyak harapan tinggi untuk kehidupan masa depan. Dalam saya memilih jodoh, ada beberapa hal yang sangat saya harapkan dimiliki oleh “calon suami” yang kelak Allah berikan untuk saya. Namun ada juga hal-hal yang saya tidak suka yang di dalam hati sering mengguman “amit-amit deh, jangan sampai” kalau melihat hal-hal yang tidak suka. Apa yang terjadi, setelah beberapa tahun perkawinan saya semakin menyadari banyak hal yang saya inginkan tapi tidak saya temukan, sebaliknya banyak hal yang tidak suka saya temui dalam keseharian hidup bersamanya. Apakah hal itu membuat saya menyesal??? Tentu saja tidak.
Perkawinan jika diibaratkan
sebuah bangunan, bukanlah sebuah rumah tinggal yang siap huni. Perkawinan lebih
seperti kavling tanah yang siap dibentuk, dibangun, diisi dan dipelihara oleh
para penghuninya. Kita merangkak dari
awal bersama-sama membangun hunian yang diidamkan, apakah yang akan kita bangun
sekedar tempat tinggal atau sebuah tempat dimana seluruh anggota keluarga bisa hidup
dengan nyaman, beristirahat dengan tenang serta member dukungan satu sama lain.
Kalau di perjalanan ada sedikit berbantah-bantahan untuk menemukan bentuk yang
pas, ya normal saja. Dua kepala dijadikan satu tentu aka nada 2 pemikiran yang
berbeda untuk sampai pada satu kesepakatan.
Normal saja seorang perempuan
menginginkan calon suami yang sudah mapan, segala sudah tersedia, tetapi kalau
di kemudian hari kita jatuh cinta dengan seseorang yang belum memiliki apa-apa,
apa salahnya merangkak bersama-sama. Sistem pengelolaan keuangan menentukan
keberhasilan, formulanya bisa berbeda-beda tergantung kesepakatan. Joint income
antara suami dan istri bisa menjadi
pilihan. Penghasilan digabung kemudian dibagi (diamplopin) sesuai dengan
post nya masing-masing ; berapa untuk kebutuhan harian kita dalam bekerja,
berapa untuk belanja dapur, listrik, telpon, mbak yang jagain anak-anak kita.
Saya pribadi, saat awal memakai pola tersebut, selanjutnya di masing-masing
saja kalau kurang minta. Perubahan ini
tentunya setelah melewati beberapa fase sehingga sampai pada keputusan
bahwa ternyata joint income tidak cocok buat kebiasaan saya yang agak boros. Jadi
kerjasama sangat penting untuk membuat roda perekonomian rumah tangga berjalan
smooth….
Waktu muda saya tidak suka cowok
yang memiliki kebiasaan A, kebiasaan B atau kebiasaan C. Asliii…. Semua hal-hal
yang tidak saya suka ada pada suami. Marahkah saya ? awalnya kesal, tapi lama-lama mau bilang apa,
toh saya berusaha mengubahnya juga hanya temporer karena dikemudian akan
kembali pada kebiasaannya. Ternyata perkawinan mengajarkan saya untuk toleransi
terutama bertoleransi pada segala
kekurangan pasangan. Mencoba menerima dan berpikir bahwa kitapun tidak sempurna
akan semakin memperlebar ruang toleransi kita. Saling mengisi atas segala
kekurangan, saling mendukung untuk segala kelebihan merupakan hal terberat yang
harus dijalani. Jika kita ikhlas dan menerima dengan baik maka perjalananpun
akan menemukan hal-hal yang manis.
So…. Buat yang masih gamang tak
ada alasan buat menundanya, karena menikahkan orang yang sudah mampu merupakan
salah satu hal yang tidak boleh ditunda menurut syariat agama. Perkawinan
memang penuh liku, kadang mendaki bukit yang menjulang, adakalanya menukik di
jurang yang terjal, tapi sering kali berada di jalan datar sehingga banyak hal
yang bisa kita lihat, banyak pemandangan menarik yang membuat hati ayem dan
tentrem. Jadi tak perlu menunda lagi, yang penting pada saat-saat kita
menghadapi kesulitan aka nada tangan yang dapat kita gandeng untuk saling
berbagi menapakinya. Selamat menempuh hidup baru….
(Jakarta, 28 Oktober 2012)
0 komentar:
Posting Komentar