Senin, 07 November 2011

Belajar Menghargai


Sabtu, minggu atau penanggalan merah di kalender adalah hari yang ditunggu-tunggu. Ini berarti saya tidak perlu terbelengu tanggung jawab kantor yang turkungkung dalam hukum waktu nine to five (6 to 5). Atau bahkan jika dihitung dari awal keluar rumah waktunya menjadi melebar menjadi six to seven. Ini hari yang boleh sedikit berleha-leha, melsayakan aktivitas yang melibatkan seluruh anggota keluarga. Atau memanjakan keluarga dengan masakan-masakan kesukaan mereka.

Seperti biasa, dapur sejak pagi sudah kukuasai. Di luar kepala dapat kuingat persis apa yang menjadi kesukaan suami dan apa yang kerap diminta anak-anak. Saat muka berpeluh dihembus hawa minyak panas dari penggorengan. Sebentuk kepala mungil mengintip di ujung jendela. Anakku Asya yang saat itu baru berumur 5 tahun, berjinjit mengintip masakan yang tengah kuolah.

“Bunda masak apa?”, tanyanya
“Makanan kesukaan Kakak”, jawabku.
“Makanan buatan Bunda pasti enak”, timpalnya sambil mengacungkan 2 jempol di atas kepalanya. 2 kepang rambutnya yang perpita merah jambu bergoyang-goyang mirip ekor kuda.
“Lha…darimana kakak tahu dari mana masakan Bunda enak”, pancingku.
“Kakak selalu suka masakan Bunda”, jawabnya sungguh-sunggu.
“Kalau gak enak gimana”, jawabku dengan maksud menggodanya.
“Kakak gak akan bilang koq, kasihan kan Bunda udah cape bikinin makanan” , ungkapnya dengan malu-malu.

Jawaban itu begitu lirih, tapi menjadi sangat “keras” bagi telingsaya. Semua jalaban yang sama sekali tidak saya perkirakan. Mungkin benar iya tidak akan Jujuy, Namur ketidakterbukaannya justru karena ingin menyenangkan hati ibunya. Ya Rabb…anakku yang masih begitu kecil sudah memahami artinya menghargai orang. Bagaimana dengan kita orang tua.

Menghargai orang terkadang menjadi hal yang teramat sulit. Fitrahnya manusia itu lebih membutuhkan penghargaan daripada menghargai. Dengan kata lain manusia selalu ingin “dihargai”, bukan “menghargai”. Disini nampak egosentris manusia yang selalu ingin “difahami”, namun jarang sekali berusaha untuk “memahami”. Akibatnya, berat untuk hormat dan menghargai orang lain.

Dalam Islam, sikap menghargai orang lain merupakan identitas seorang Muslim sejati. Seorang yang mengsayai dirinya Muslim, ‘wajib’ mampu menghargai orang lain. Baginda Rasulullah SAW menjelaskan, “Tidak termasuk golongan umatku orang yang tidak menghormati mereka yang lebih tua dan tidak mengasihi mereka yang lebih muda darinya, serta tidak mengetahui hak-hak orang berilmu.” (HR. Ahmad).

Siapa saja yang patut dihargai. Jelas, yang pertama adalah orang tua kita sendiri. Selanjutnya adalah orang-orang yang berusia lebih tua atau juga seseorang yang dituakan. Lantas bagaimana sikap kita terhadap mereka yang lebih muda? Orang tua atau orang yang dituakan wajib menjadi pengayom orang-orang yang lebih muda. Jadi dalam jenjang hieraki dari atas ke bawah, begitupun sebaliknya, tetap ada keharusan untuk saling menghargai.

Bagiaman cara kita menghargai ? salah satu tulisan Andre Wongso sangat saya ingat dengan baik. Menurut cerita, dalam sebuah acara perpisahan seorang Direktur yang habis masa jabatannya karena harus pension, setiap karyawan diminta membuat testimony yang mengungkapkan persaaannya terhadap sang pemimpin yang hendak purka karya tersebut. Dari sekian banyak tulisan, hanya satu orang yang berkesempatan dibacakan. Surat tersebut ditulis seorang Office Boy yang sudah lama bekerja. Dia menulis semuanya dengan huruf kapital sebagai berikut, "Yang terhormat Pak Direktur. Terima kasih karena Bapak telah mengucapkan kata "tolong", setiap kali Bapak memberi tugas yang sebenarnya adalah tanggung jawab saya. Terima kasih Pak Direktur karena Bapak telah mengucapkan "maaf", saat Bapak menegur, mengingatkan dan berusaha memberitahu setiap kesalahan yang telah diperbuat karena Bapak ingin saya merubahnya menjadi kebaikan.

Terima kasih Pak Direktur karena Bapak selalu mengucapkan "terima kasih" kepada saya atas hal-hal kecil yang telah saya kerjakan untuk Bapak.Terima kasih Pak Direktur atas semua penghargaan kepada orang kecil seperti saya sehingga saya bisa tetap bekerja dengan sebaik-baiknya, dengan kepala tegak, tanpa merasa direndahkan dan dikecilkan. Dan sampai kapan pun bapak adalah Pak Direktur buat saya. Terima kasih sekali lagi. Semoga Tuhan meridhoi jalan dimanapun Pak Direktur berada. Amin."

Esensi cerita di atas jelas menunjukan bahwa menghargai seseorang tidak perlu membanjirinya dengan hadiah dan pujian yang berlebihan. Sang Direktur hanya membiasakan diri mengatakan kata “Tolong, maaf dan terima kasih”. Entah karena kebiasaan atau memang sekedar basa-basi, tapi si Office Boy yang menerima perkataan tersebut memiliki makna luar biasa. Dan tidak hanya memaknai kata tersebut dengan kesukacitaan semata, namun juga kata-kata tersebut mampu meresonansi dia untuk tampil percaya diri mengejakan tugas dan tanggung jawabnya kendati yang dikerjakan mungkin merupakan tugas yang paling rendah (maaf) di perusahaan tersebut.

Namur demikian jangan terbatas pada tiga kata tersebut. Senyum adalah isyarat yang mencerminkan kesukacitaan seseorang. Tepukan tangan, sedikit membungkukkan badan juga bisa menjadi pertanda positif buat yang menerimanya.

Anakkupun tidak mengeluarkan ungkapan terima kasih . Namun dari kalimat yang terluncur dari mulut mungilnya jelas tampak bahwa dia mencoba menghargai jerih payah ibunya. Pada saat semua anggota keluarga masih berrĂ©ela-leha menikmati kemalasan, ia memahami bahwa ibunya sudah turun menuju dapur untuk menyediakan sarapan. Anakku tidak mempersoalkan bagaimana hasil masakan ibunya, enak atau tidak enak, kurang garam atau kurang gula, dia lebih melihat pada prosesnya, yaitu ritual yang diawali nawaitu ibunya yang ingin menyenangkan seluruh anggota keluarga dengan makanan olahannya. Bagi anak saya barangkali hasil menjadi tdak begitu penting lagi, yang lebih utama bahwa dari setiap peluh ibunya yang terkungkung kepanasan di dapur yang sempit, dari jemari tangan ibunya yang aktif menggoreng sekaligus mengiris sayuran, dari keriuhan suara mendesis air matang yang dituang ke termos yang terjajar rapi di meja makan, kesemuanya ada cinta ibunya. So… semua menjadi indah, semua menjadi berarti karena ada cinta di dalamnya. Semuanya menjadi bermakna karena ada penghargaan dari orang-orang yang menerimanya. Maka tidak ada salahnya kalau mulai saat ini kita mencoba menghargai apapun jerih payah orang dengan statu tindakan-tindakan kecil yang memiliki makna, sebelum mampu melsayakan hal-hal yang besar.

Dan hari itu saya memperoleh pelajaran bagimana menghargai jerih payang seseorang dari yang saya anggap adalah sebuah “nyawa tak berdaya”, anakku Salsabila Arini Alfakhaira.

0 komentar:

Posting Komentar