Selasa, 21 Februari 2012

Sultan Kena Tilang


Kisah ini sudah pernah ditampilkan pada berbagai situs website, tapi karena ceritanya sungguh menarik, sayang jika tidak di-share ke lebih banyak orang. Semoga menggugah hati banyak orang. (Demi kenyamanan membaca, tulisan yang aslinya sangat panjang ini kami persingkat dengan tak mengurangi maknanya).
Suatu pagi di pertengahan tahun 1960-an pada pukul setengah enam pagi, polisi muda Royadin yang berpangkat brigadir polisi, sudah berdiri dengan gagah di tepi posnya di kawasan Soko. Dari arah yang berlawanan dengan arus kendaraan lainnya, tampak sebuah sedan hitam berplat AB. Brigadir Royadin memandang di kejauhan, sementara sedan hitam itu melaju perlahan menuju ke arahnya. Dengan sigap, ia menyeberang jalan di tepi posnya. Tangannya diayunkan ke depan untuk menghentikan laju sedan hitam itu. Sedan tahun 50-an itu berhenti di hadapannya.

Saat mobil menepi, Brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi dan memberi hormat. "Selamat pagi! Boleh ditunjukkan rebuwes!" Pada masa itu, surat mobil masih diistilahkan rebuwes.

Perlahan, pria di dalam sedan menurunkan kaca samping secara penuh. "Ada apa, pak polisi?" tanya pria itu. Brigadir Royadin tersentak kaget. Ia mengenali siapa pria itu. "Ya Allah... Sinuwun!" kejutnya dalam hati. Gugup bukan main, tapi itu hanya berlangsung sedetik. Naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya dalam sikap sempurna. "Bapak melanggar verboden, tidak boleh lewat sini, ini satu arah!" Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Yogya, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Setelah melihat rebuwes, Brigadir Royadin mempersilakan Sri Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan, namun Sri Sultan menolak.

"Ya... saya salah. Kamu benar, saya pasti salah!" Sinuwun turun dari sedannya dan menghampiri Brigadir Royadin yang tetap menggenggam rebuwes tanpa tahu harus berbuat apa. "Jadi...?" Sinuwun bertanya. Pertanyaan singkat, namun sulit bagi Brigadir Royadin untuk menjawabnya.

"Em... emm... Bapak saya tilang, mohon maaf!" Brigadir Royadin heran, Sinuwun tak juga memakai kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi dengannya. Jangankan begitu, mengenalkan dirinya sebagai pejabat negara dan raja pun, beliau tidak melakukannya.

"Baik... Brigadir, kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya. Saya harus segera ke Tegal!" Sinuwun meminta Brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat tilang.

Dengan tangan bergetar, Brigadir Royadin membuatkan surat tilang. Ingin rasanya tidak memberikan surat itu, tapi tidak tahu kenapa ia sebagai polisi tak boleh membeda-bedakan pelanggar kesalahan yang terjadi di depan hidungnya. Yang membuatnya sedikit tenang adalah tak sepatah kata pun keluar dari mulut Sinuwun yang menyebutkan bahwa dia berhak mendapat dispensasi. "Sungguh orang besar...!" begitu gumamnya.

Surat tilang pun berpindah tangan. Brigadir Royadin menghormat pada Sinuwun sebelum Sinuwun kembali memacu sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal. Setelah Sinuwun pergi, Brigadir Royadin menyadari kebodohan dan kekakuannya. Tapi, nasi sudah menjadi bubur dan ketetapan hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada siapa pun berhasil menghibur dirinya.

Esok paginya saat apel, suara amarah meledak di markas polisi Pekalongan. Nama Royadin diteriakkan dari ruang komisaris. Brigadir Royadin diminta menghadap komisaris polisi selaku kepala kantor. "Royadin, apa yang kamu lakukan.... Sa'enake dewe. Ora mikir... Iki sing mbok tangkep sopo heh... ngawur... ngawur!" Komisaris mengumpat dalam bahasa Jawa. Di tangannya, rebuwes milik Sinuwun berpindah bolak-balik dari telapak kanan ke kiri. "Sekarang aku mau tanya, kenapa kamu tidak lepas saja Sinuwun. Biarkan lewat, wong kamu tahu siapa dia. Ngerti nggak kowe sopo sinuwun?"

"Siap Pak, beliau tidak bilang beliau itu siapa. Beliau ngaku salah... dan memang salah!" Brigadir Royadin menjawab tegas.

"Ya, tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia. Ojo kaku kaku, kok malah mbok tilang... Ngawur... jan ngawur.... Ini bisa panjang, bisa sampai Menteri!" Saat itu kepala polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.

Brigadir Royadin pasrah, apa pun yang dia lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai polisi, yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada siapa saja. Usai mendapat marah, Brigadir Royadin bertugas seperti biasa.

Suatu sore saat bertugas, Royadin diminta menghadap komisaris di kantor. Setibanya di kantor, komisaris berkata, "Royadin.... Minggu depan kamu diminta pindah!" Mendengar berita itu, tubuh Royadin menjadi lemas. Ia membayangkan harus menempuh jalan menanjak di pinggir kota Pekalongan setiap hari, karena mutasi ini, karena ketegasan sikapnya di persimpangan Soko.

"Siap, Pak !" Royadin menjawab datar.

"Bersama keluargamu semua, dibawa!" Pernyataan komisaris mengejutkan, untuk apa bawa keluarga ke tepi Pekalongan selatan, ini hanya merepotkan diri saja.

"Saya sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di rumah sekarang!" Brigadir Royadin menawar.

"Ngawur... Kamu sanggup bersepeda Pekalongan-Yogya? Pindahmu itu ke Yogya bukan di sini. Sinuwun yang minta kamu pindah tugas ke sana. Pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat!" cetus pak komisaris. Disodorkan surat yang ada digenggamannya kepada Brigadir Royadin.

Surat itu ditulis tangan yang inti isinya: "Mohon dipindahkan Brigadir Royadin ke Yogya, sebagai polisi yang tegas saya selaku pemimpin Yogyakarta akan menempatkannya di wilayah Yogyakarta bersama keluarganya dengan meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat." Surat itu ditandatangani Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Tangan Brigadir Royadin bergetar, namun ia segera menemukan jawabannya. Ia tak sanggup menolak permintaan orang besar seperti Sultan HB IX, namun ia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di kota Pekalongan. Ia cinta Pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota ini.

"Mohon Bapak sampaikan ke Sinuwun, saya berterima kasih, tapi saya tidak bisa pindah dari Pekalongan. Ini tanah kelahiran saya, rumah saya. Sampaikan hormat saya pada beliau, dan sampaikan permintaan maaf saya pada beliau atas kelancangan saya!" Brigadir Royadin bergetar, ia tak memahami betapa luasnya hati Sinuwun Sultan HB IX. Amarah hanya diperolehnya dari sang komisaris, namun penghargaan tinggi justru datang dari orang yang menjadi korban ketegasannya. Luar biasa!

sumber : http://www.andriewongso.com/artikel/aw_corner/4803/Sebuah_Kisah_Nyata

0 komentar:

Posting Komentar