Rabu, 01 Desember 2010

Kecerdasan Emosional

Seorang ibu, pebisnis, bercerita dengan sedih saat mengikuti kursus kecerdasan emosional kami di Jakarta. "Pak Anthony, saya merasa ngeri dengan anak saya sendiri". "Mengapa? Memangnya, anak Anda kayak monster?"

Si ibu itu tersenyum getir dan menjawab, "Bukan begitu, Pak. Begini. Awalnya saya dan suami begitu bersyukur karena anak saya sangat pintar dan sangat cepat menangkap apa pun yang diajarkan.


Namun sekarang, saya mulai takut karena dia lebih senang di rumah, dan tidak mau ke manapun." Saya pun menyela, "Lho, sementara banyak orangtua bingung karena anaknya keluyuran melulu, malahan Anda bingung dengan anak Anda yang di rumah melulu".
Si ibu itu pun menyela, "Iya ya Pak. Jadi serba- salah. Anak keluyuran, bingung. Akan tetapi kebanyakan di rumah, juga bingung. Namun, masalah saya lebih dari itu. Saya lihat anak saya ini agak anti-sosial.
Dia sama sekali tidak mau bermain. Misalkan kalau sepupunya datang. Malahan dicuekin. Di sekolah pun, gurunya pernah prihatin karena anak saya cenderung egois. Saya lihat semua mainannya dan hobinya yang jenis solitair, yang main sendirian. Apakah anak saya nggak mengalami gangguan?


Pada kejadian yang lain, seorang bapak merasa sedih dengan anak remajanya. Pasalnya, putranya ini mengambil uang sekolah untuk dipakai traktir teman-teman dan pacarnya. Enam bulan uang sekolah tidak disetorkan ke sekolah, tetapi dipakainya sendiri.
Selama ini, anak ini berpikir bisa berkelit dengan berbagai alasan hingga akhirnya sekolah menagih kepada si bapak tersebut yang terkaget-kaget. Masalahnya, si bapak tersebut merasa sudah memberikan uang sekolah tersebut lewat anaknya.
Saat dikonfirmasi, si anak remaja itu hanya bisa menangis sejadi-jadinya. Si bapak ini begitu kecewa, bagaimana anak yang tergolong pintar ini bisa begitu konyol berpikir bahwa tidak akan ketahuan dengan apa yang dilakukannya?

Kecerdasan emosional


Menjelang camp inspirasional kecerdasan emosional bagi kaum muda yang akan kami adakan pada musim liburan Juli tahun ini, kami menerima banyak sekali e-mail sejenis di atas yang menanyakan langkah-langkah penanganan bagi para remaja.
Ada orangtua yang begitu bingungnya, sampai-sampai tidak tahu lagi apa yang mesti mereka lakukan dengan anak mereka. Sebagian berharap dengan mengikuti berbagai kursus dan pelatihan, anak mereka bisa berubah.


Memang, kita tidak berharap bahwa anak-anak remaja bisa berubah dalam sekejab setelah pelatihan beberapa hari. Namun, optimistisnya, setelah dibekali dengan berbagai metode dan cara, para remaja menjadi lebih siap memahami dirinya dan berhadapan dengan dunia luar.


Itulah sebabnya, dalam berbagai pelatihan dan workshop kecerdasan emosional bagi para remaja, penekanannya dilakukan pada empat tangga yang penting untuk membangun kecerdasan emosional para remaja dengan model EQM yang saya kembangkan kita yakni Awareness, Acceptance, Affection, dan Affirmation.

Emotional awareness


Sebenarnya, saat ini ada banyak sekali alat-alat assessment psikologis yang bisa dipakai sebagai alat bantu potret diri untuk para remaja kita. Dari hasil potret ini, dapat dibicarakan mengenai perilaku serta kebiasaan mereka.


Seperti pada kasus pertama yang digambarkan di atas, bisa jadi anak tersebut sebenarnya tergolong introvert dan sebenarnya tidaklah keliru amat kalau bisa diarahkan.
Toh Bill Gates yang terkenal pun, dikatakan awalnya adalah pribadi yang intorvert. Hanya saja, para remaja ini perlu didampingi untuk mengarahkan perilaku mereka sehingga tidak berkembang menjadi antisosial.


Perlu seseorang dewasa yang bisa menjadi pegangannya, meski awalnya adalah penolakan dari remaja itu. Misalkan saja seorang bapak bahwa "Kini, anak remaja saya seolah-olah tidak membutuhkan saya lagi". Akan tetapi kenyataannya justru menunjukkan bahwa anaknya sebenarnya berpendapat lain. "Kami memang ingin independen, tapi kami sadar, justru kami haus untuk didampingi".


Pendampingan yang juga penting di bagian awareness ini adalah orang tua mengajarkan mengenai pilihan serta konsekuensinya. Para remaja perlu belajar mengenai prinsip 'mengangkat ujung tongkat yang lain'.


Prinsip ini pernah diucapkan oleh Stephen R. Covey bahwa, "Kita bisa memilih mau mengangkat tongkat yang mana pun. Namun setelah memilihnya, kita tidak bisa mencegah bahwa selalu ada ujung lain dari tongkat yang akan ikut terangkat".
Bahasa sederhananya, kita bisa membuat pilihan, tetapi setiap pilihan pasti ada konsekuensinya. Seperti pada kasus kita, si remaja bisa memilih untuk tidak membayarkan uang sekolahnya, tetapi akhirnya dia akan berhadapan dengan suatu konsekuensi.


Konsekuensinya adalah ketahuan dan mungkin dihukum berat. Begitu pun pada saat remaja ditawarkan pada pilihan seperti alkohol, narkoba, dll. Mereka perlu dibekali bahwa mereka memiliki kekuatan pada saat 'memilih', tetapi mereka tidak bisa lagi mencegah adanya konsekuensi pada saat pilihan sudah dijatuhkan. Inilah hukum alam. Celakanya, banyak rekan muda kita ini terlalu berpikir 'kesenangan sesaat' dan lupa akan adanya konsekuensi-konsekuensi.

Emotional acceptance


Krisis identitas terbesar pada kaum remaja adalah tatkala mereka merasa kurang oke dengan dirinya dan mulai banyak membanding-bandingkan dengan orang lain. Itulah sebabnya, dikatakan oleh hasil survei bahwa kebanyakan fan yang menggandrungi pemusik atau artis/aktor biasanya berada pada usia-usia ini.


Intinya, di tahapan ini banyak kaum muda yang setelah menyadari hidupnya, justru merasa kurang oke. Mereka mengadopsi identitas. Bayangkan kalau identitas yang diadopsi ini keliru! Itulah sebabnya, di tahapan ini pelajaran terpenting bagi remaja adalah berdamai serta menerima diri mereka.


Pelajaran self esteem (harga diri) adalah dasar dari membangun potensi mereka. Sebenarnya, kalau self esteem mereka bisa dipupuk sejak awal, potensi mereka juga akan keluar lebih cepat!

Emotional affection


Pelajaran menjadi mandiri, memang penting bagi para remaja kita. Namun, terlalu mandiri juga akan menjerumuskan mereka menjadi individu yang terlalu egois serta tidak peduli dengan orang lain.


Karena itulah, semakin cepat mereka menyadari pentingnya networking, semakin cepat remaja ini bisa membangun pondasi interpersonal skills yang akan berguna kelak pada masa depannya.


Membangun 'affection' adalah penting dengan melibatkan diri dalam berbagai kegiatan dan aktivitas yang bersinggungan dengan orang lain. Sebenarnya, di sinilah dasar-dasar kepemimpinan tehadap orang lain dipupuk sejak dini.


Pelajaran bergesekan, dan konflik dengan orang lain adalah pelajaran-pelajaran penting yang berguna bagi para remaja. Saat mereka mampu mengatasi konflik, masalah dengan orang lain, akan memupuk keyakinan diri yang semakin tinggi dalam berinteraksi dengan orang lain.


Seorang remaja 'tercerahkan' menggambarkan dengan bagus dalam diarynya tatkala ia mengatakan, "Awalnya aku merasa tidak terlalu butuh orang lain. Aku pikir aku bisa usahakan semua sendirian. Tapi, aku ternyata bisa belajar banyak dari teman-temanku, terutama bisa saling tukar informasi. Sebenarnya, asyik juga punya teman yang sejalan. Tidak semua teman menjerumuskan kok, asal bisa pilih teman".

Emotional affirmation


Pada bagian terakhir ini, remaja belajar untuk bisa membangun dan menyemangati dirinya tatkala jatuh, berproblem dan gagal. Sangatlah penting bahwa remaja berlatih untuk mengarahkan energi kehidupan yang positif. Jika tidak, energi tersebut bisa dipakai untuk merugikan dirinya sendiri ataupun dengan merugikan orang lain.


Berbagai kasus penembakan oleh remaja di Amerika adalah contoh pengarahan energi yang keliru. Sebenarnya, untuk pengarahan energi ini dimulai dari hal yang sederhana yakni self talk yang terjadi pada diri internal remaja ini saat mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan. Di sinilah, pentingnya kaum muda kita didampingi untuk belajar membuat self talk alternatif yang positif!


Akhirnya, sebagai orangtua yang sibuk, mestinya kita semakin menyadari bahwa kenakalan para remaja kita sebenarnya adalah upaya teriakan minta tolong dari remaja untuk didampingi!

0 komentar:

Posting Komentar