Rabu, 01 Desember 2010

Jangan menunda


Sebuah kisah salah pengertian yg mengakibatkan kehancuran sebuah
rumah tangga. Tatkala nilai akhir sebuah kehidupan sudah terbuka, tetapi
segalanya sudah terlambat. Membawa nenek utk tinggal bersama
menghabiskan masa tuanya bersama kami, malah telah mengkhianati

ikrar cinta yg telah kami buat selama ini,setelah 2 tahun menikah, saya dan
suami setuju menjemput nenek di kampung utk tinggal bersama.

Sejak kecil suami saya telah kehilangan ayahnya, dia adalah
satu-satunya harapan nenek, nenek pula yg membesarkannya dan
menyekolahkan dia hingga tamat kuliah.

Saya terus mengangguk tanda setuju, kami segera menyiapkan
sebuah kamar yg menghadap taman untuk nenek, agar dia dapat
berjemur, menanam bunga dan sebagainya. Suami berdiri didepan
kamar yg sangat kaya dgn sinar matahari, tidak sepatah katapun
yg terucap tiba-tiba saja dia mengangkat saya dan memutar-mutar
saya seperti adegan dalam film India dan berkata: "Mari,kita
jemput nenek di kampung".

Suami berbadan tinggi besar, aku suka sekali menyandarkan
kepalaku ke dadanya yg bidang, ada suatu perasaan nyaman dan
aman disana. Aku seperti sebuah boneka kecil yg kapan saja bisa
diangkat dan dimasukan kedalam kantongnya. Kalau terjadi selisih
paham diantara kami, dia suka tiba-tiba mengangkatku tinggi-tinggi
diatas kepalanya dan diputar-putar sampai aku berteriak ketakutan
baru diturunkan. Aku sungguh menikmati saat-saat seperti itu.

Kebiasaan nenek di kampung tidak berubah. Aku suka sekali
menghias rumah dengan bunga segar, sampai akhirnya nenek tidak
tahan lagi dan berkata kepada suami:"Istri kamu hidup foya-foya,
buat apa beli bunga? Kan bunga tidak bisa dimakan?" Aku
menjelaskannya kepada nenek: "Ibu, rumah dengan bunga segar
membuat rumah terasa lebih nyaman dan suasana hati lebih gembira".
Nenek berlalu sambil mendumel, suamiku berkata sambil tertawa:
"Ibu, ini kebiasaan orang kota , lambat laun ibu akan terbiasa juga."

Nenek tidak protes lagi, tetapi setiap kali melihatku pulang
sambil membawa bunga, dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya
berapa harga bunga itu, setiap mendengar jawabanku dia selalu
mencibir sambil menggeleng-gelengka n kepala. Setiap membawa
pulang barang belanjaan,dia selalu tanya itu berapa harganya, ini berapa.
Setiap aku jawab, dia selalu berdecak dengan suara keras.

Suamiku memencet hidungku sambil berkata: "Putriku, kan kamu
bisa berbohong. Jangan katakan harga yang sebenarnya." Lambat
laun, keharmonisan dalam rumah tanggaku mulai terusik.

Nenek sangat tidak bisa menerima melihat suamiku bangun pagi
menyiapkan sarapan pagi untuk dia sendiri, di mata nenek seorang
anak laki-laki masuk ke dapur adalah hal yang sangat memalukan.
Di meja makan, wajah nenek selalu cemberut dan aku sengaja
seperti tidak mengetahuinya. Nenek selalu membuat bunyi-bunyian
dengan alat makan seperti sumpit dan sendok, itulah cara dia protes.

Aku adalah instrukstur tari, seharian terus menari membuat
badanku sangat letih, aku tidak ingin membuang waktu istirahatku
dengan bangun pagi apalagi disaat musim dingin. Nenek kadang
juga suka membantuku di dapur, tetapi makin dibantu aku menjadi
semakin repot, misalnya: dia suka menyimpan semua kantong-kantong
bekas belanjaan, dikumpulkan bisa untuk dijual katanya. Jadilah
rumahku seperti tempat pemulungan kantong plastik, dimana-mana
terlihat kantong plastik besar tempat semua kumpulan kantong plastik.

Kebiasaan nenek mencuci piring bekas makan tidak menggunakan
cairan pencuci, agar supaya dia tidak tersinggung, aku selalu
mencucinya sekali lagi pada saat dia sudah tidur. Suatu hari,
nenek mendapati aku sedang mencuci piring malam harinya, dia
segera masuk ke kamar sambil membanting pintu dan menangis.

Suamiku jadi serba salah, malam itu kami tidur seperti orang
bisu, aku coba bermanja-manja dengan dia, tetapi dia tidak
perduli.
Aku menjadi kecewa dan marah."Apa salahku?" Dia melotot
sambil berkata: "Kenapa tidak kamu biarkan saja? Apakah memakan
dengan piring itu bisa membuatmu mati?"

Aku dan nenek tidak bertegur sapa untuk waktu yg culup lama,
suasana menjadi kaku. Suamiku menjadi sangat kikuk, tidak tahu
harus berpihak pada siapa? Nenek tidak lagi membiarkan suamiku
masuk ke dapur, setiap pagi dia selalu bangun lebih pagi dan
menyiapkan sarapan untuknya, suatu kebahagiaan terpancar di
wajahnya jika melihat suamiku makan dengan lahap, dengan sinar
mata yang seakan mencemohku sewaktu melihat padaku, seakan
berkata dimana tanggung jawabmu sebagai seorang istri?

Demi menjaga suasana pagi hari agar tidak terganggu, aku selalu
membeli makanan diluar pada saat berangkat kerja. Saat tidur,
suami berkata:"Luci, apakah kamu merasa masakan ibu tidak
enak dan tidak bersih sehingga kamu tidak pernah makan di rumah?"
sambil memunggungiku dia berkata tanpa menghiraukan air mata yg
mengalir di kedua belah pipiku. Dan dia akhirnya berkata:
"Anggaplah ini sebuah permintaanku, makanlah bersama kami setiap
pagi". Aku mengiyakannya dan kembali ke meja makan yg serba
canggung itu.

Pagi itu nenek memasak bubur, kami sedang makan dan tiba-tiba
ada suatu perasaan yg sangat mual menimpaku, seakan-akan isi
perut mau keluar semua. Aku menahannya sambil berlari ke kamar
mandi, sampai disana aku segera mengeluarkan semua isi perut.
Setelah agak reda, aku melihat suamiku berdiri didepan pintu
kamar mandi dan memandangku dengan sinar mata yg tajam, diluar
sana terdengar suara tangisan nenek dan berkata-kata dengan
bahasa daerahnya. Aku terdiam dan terbengong tanpa bisa berkata-kata.
Sungguh bukan sengaja aku berbuat demikian!

Pertama kali dalam perkawinanku, aku bertengkar hebat dengan
suamiku, nenek melihat kami dengan mata merah dan berjalan
menjauh…… suamiku segera mengejarnya keluar rumah.

Selama 3 hari suamiku tidak pulang ke rumah dan tidak juga
meneleponku. Aku sangat kecewa, semenjak kedatangan nenek di
rumah ini, aku sudah banyak mengalah, mau bagaimana lagi? Entah
kenapa aku selalu merasa mual dan kehilangan nafsu makan
ditambah lagi dengan keadaan rumahku yang kacau, sungguh sangat
menyebalkan. Akhirnya teman sekerjaku berkata:"Luci, sebaiknya
kamu periksa ke dokter". Hasil pemeriksaan menyatakan aku sedang
hamil. Aku baru sadar mengapa aku mual-mual pagi itu. Sebuah
berita gembira yg terselip juga kesedihan. Mengapa suami dan
nenek sebagai orang yg berpengalaman tidak berpikir sampai
sejauh itu?

Di pintu masuk rumah sakit aku melihat suamiku, 3 hari tidak
bertemu dia berubah drastis, muka kusut kurang tidur, aku ingin
segera berlalu tetapi rasa iba membuatku tertegun dan memanggilnya.
Dia melihat ke arahku tetapi seakan akan tidak mengenaliku lagi,
pandangan matanya penuh dengan kebencian dan itu melukaiku.
Aku berkata pada diriku sendiri, jangan lagi melihatnya dan segera
memanggil taksi. Padahal aku ingin memberitahunya bahwa kami akan
segera memiliki seorang anak. Dan berharap aku akan diangkatnya
tinggi-tinggi dan diputar-putar sampai aku minta ampun tetapi.....
mimpiku tidak menjadi kenyataan. Didalam taksi air mataku mengalir
dengan deras. Mengapa kesalah pahaman ini berakibat sangat buruk?

Sampai di rumah aku berbaring di ranjang memikirkan peristiwa
tadi, memikirkan sinar matanya yg penuh dengan kebencian, aku
menangis dengan sedihnya. Tengah malam,aku mendengar suara orang
membuka laci, aku menyalakan lampu dan melihat dia dgn wajah
berlinang air mata sedang mengambil uang dan buku tabungannya.
Aku nenatapnya dengan dingin tanpa berkata-kata. Dia seperti
tidak melihatku saja dan segera berlalu. Sepertinya dia sudah
memutuskan utk meninggalkan aku. Sungguh lelaki yg sangat picik,
dalam saat begini dia masih bisa membedakan antara cinta dengan
uang. Aku tersenyum sambil menitikan air mata.

Aku tidak masuk kerja keesokan harinya, aku ingin secepatnya
membereskan masalah ini, aku akan membicarakan semua masalah ini
dan pergi mencarinya di kantornya. Di kantornya aku bertemu
dengan seketarisnya yg melihatku dengan wajah bingung."Ibunya
pak direktur baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas dan sedang
berada di rumah sakit. Mulutku terbuka lebar. Aku segera menuju
rumah sakit dan saat menemukannya, nenek sudah meninggal.

Suamiku tidak pernah menatapku, wajahnya kaku. Aku memandang
jasad nenek yg terbujur kaku..
Sambil menangis aku menjerit
dalam hati: "Tuhan, mengapa ini bisa terjadi?"
Sampai selesai upacara pemakaman, suamiku tidak pernah bertegur
sapa denganku, jika memandangku selalu dengan pandangan penuh
dengan kebencian.

Peristiwa kecelakaan itu aku juga tahu dari orang lain, pagi itu
nenek berjalan ke arah terminal, rupanya dia mau kembali ke
kampung. Suamiku mengejar sambil berlari, nenek juga berlari
makin cepat sampai tidak melihat sebuah bus yg datang ke arahnya dengan
kencang. Aku baru mengerti mengapa pandangan suamiku penuh dengan
kebencian. Jika aku tidak muntah pagi itu, jika kami tidak bertengkar,
jika .......... dimatanya, akulah penyebab kematian nenek. 

Suamiku pindah ke kamar nenek, setiap malam pulang kerja dengan
badan penuh dengan bau asap rokok dan alkohol.
Aku merasa
bersalah tetapi juga merasa harga diriku terinjak-injak. Aku
ingin menjelaskan bahwa semua ini bukan salahku dan juga
memberitahunya bahwa kami akan segera mempunyai anak.
Tetapi
melihat sinar matanya, aku tidak pernah menjelaskan masalah ini.
Aku rela dipukul atau dimaki-maki olehnya walaupun ini bukan salahku.
Waktu berlalu dengan sangat lambat.

Kami hidup serumah tetapi seperti tidak mengenal satu sama lain.
Dia pulang makin larut malam. Suasana tegang didalam rumah.


Suatu hari, aku berjalan melewati sebuah café, melalui
keremangan lampu dan kisi-kisi jendela, aku melihat suamiku
dengan seorang wanita didalam. Dia sedang menyibak rambut sang
gadis dengan mesra. Aku tertegun dan mengerti apa yg telah
terjadi. Aku masuk kedalam dan berdiri di depan mereka sambil
menatap tajam kearahnya. Aku tidak menangis juga tidak berkata
apapun karena aku juga tidak tahu harus berkata apa.
Sang gadis
melihatku dan ke arah suamiku dan segera hendak berlalu. Tetapi
dicegah oleh suamiku dan menatap kembali ke arahku dengan sinar
mata yg tidak kalah tajam dariku.
Suara detak jantungku terasa
sangat keras, setiap detak suara seperti suara menuju kematian.

Akhirnya aku mengalah dan berlalu dari hadapan mereka, jika
tidak.. mungkin aku akan jatuh bersama bayiku dihadapan mereka.

Malam itu dia tidak pulang ke rumah. Seakan menjelaskan padaku
apa yang telah terjadi. Sepeninggal nenek, rajutan cinta kasih
kami juga sepertinya telah berakhir. Dia tidak kembali lagi ke
rumah, kadang sewaktu pulang ke rumah, aku mendapati lemari
seperti bekas dibongkar.
Aku tahu dia kembali mengambil barang-barang keperluannya. Aku
tidak ingin menelepon dia walaupun kadang terbersit suatu
keinginan untuk menjelaskan semua ini. Tetapi itu tidak terjadi ......
semua berlalu begitu saja.

Aku mulai hidup seorang diri, pergi check kandungan seorang
diri. Setiap kali melihat sepasang suami istri sedang check
kandungan bersama, hati ini serasa hancur. Teman-teman
menyarankan agar aku membuang saja bayi ini, tetapi aku seperti
orang yg sedang histeris mempertahankan miliknya. Hitung-hitung
sebagai pembuktian kepada nenek bahwa aku tidak bersalah.

"Suatu hari pulang kerja, aku melihat dia duduk didepan ruang
tamu. Ruangan penuh dengan asap rokok dan ada selembar kertas
diatas meja, tidak perlu tanya aku juga tahu surat apa itu. Dua
bulan hidup sendiri, aku sudah bisa mengontrol emosi. Sambil
membuka mantel dan topi aku berkata kepadanya: "Tunggu sebentar,
aku akan segera menanda tanganinya". Dia melihatku dengan
pandangan awut-awutan demikian juga aku. Aku berkata pada diri
sendiri, jangan menangis, jangan menangis. Mata ini terasa sakit
sekali tetapi aku terus bertahan agar air mata ini tidak keluar.

Selesai membuka mantel, aku berjalan ke arahnya dan ternyata dia
memperhatikan perutku yg agak membuncit. Sambil duduk di kursi,
aku menanda tangani surat itu dan menyodorkan kepadanya."Lusi,
kamu hamil?" Semenjak nenek meninggal, itulah pertama kali dia
berbicara kepadaku. Aku tidak bisa lagi membendung air mataku yg

mengalir keluar dengan derasnya. Aku menjawab: "Iya, tetapi
tidak apa-apa. Kamu sudah boleh pergi". Dia tidak pergi, dalam
keremangan ruangan kami saling berpandangan. Perlahan-lahan dia
membungkukan badannya ke tanganku, air matanya terasa menembus
lengan bajuku. Tetapi di lubuk hatiku, semua sudah berlalu,
banyak hal yg sudah pergi dan tidak bisa diambil kembali.

Entah sudah berapa kali aku mendengar dia mengucapkan kata:
"Maafkan aku, maafkan aku". Aku pernah berpikir untuk
memaafkannya tetapi tidak bisa. Tatapan matanya di cafe itu
tidak akan pernah aku lupakan. Cinta diantara kami telah ada
sebuah luka yg menganga. Semua ini adalah sebuah akibat
kesengajaan darinya.

Berharap dinding es itu akan mencair, tetapi yang telah berlalu
tidak akan pernah kembali. Hanya sewaktu memikirkan bayiku, aku
bisa bertahan untuk terus hidup. Terhadapnya, hatiku dingin
bagaikan es, tidak pernah menyentuh semua makanan pemberian dia,
tidak menerima semua hadiah pemberiannya tidak juga berbicara
lagi dengannya. Sejak menanda tangani surat itu, semua cintaku
padanya sudah berlalu, harapanku telah lenyap tidak berbekas.

Kadang dia mencoba masuk ke kamar untuk tidur bersamaku, aku
segera berlalu ke ruang tamu, dia terpaksa kembali ke kamar
nenek. Malam hari, terdengar suara orang mengerang dari kamar
nenek tetapi aku tidak perduli. Itu adalah permainan dia dari
dulu. Jika aku tidak perduli padanya, dia akan berpura-pura
sakit sampai aku menghampirinya dan bertanya apa yang sakit. Dia
lalu akan memelukku sambil tertawa terbahak-bahak. Dia lupa........
itu adalah dulu, saat cintaku masih membara,
sekarang apa lagi yg aku miliki?

Begitu seterusnya, setiap malam aku mendengar suara suamiku
mengerang sampai anakku lahir. Hampir setiap hari dia selalu
membeli barang-barang perlengkapan bayi, perlengkapan anak-anak
dan buku-buku bacaan untuk anak-anak. Setumpuk demi setumpuk
sampai kamarnya penuh sesak dengan barang-barang. Aku tahu dia
mencoba menarik simpatiku tetapi aku tidak bergeming. Terpaksa
dia mengurung diri dalam kamar, malam hari dari kamarnya selalu
terdengar suara pencetan keyboard komputer. Mungkin dia lagi
tergila-gila chatting dan berpacaran di dunia maya pikirku.
Bagiku itu bukan lagi suatu masalah.

Suatu malam di musim semi, perutku tiba-tiba terasa sangat sakit
dan aku berteriak dengan suara yg keras. Dia segera berlari
masuk ke kamar, sepertinya dia tidak pernah tidur. Saat inilah
yg ditunggu-tunggu olehnya. Aku digendongnya dan berlari mencari
taksi ke rumah sakit. Sepanjang jalan, dia mengenggam dengan
erat tanganku, menghapus keringat dingin yg mengalir di dahiku.

Sampai di rumah sakit, aku segera digendongnya menuju ruang bersalin.
Di tubuhnya yg kurus kering, aku terbaring dengan hangat dalam
dekapannya. Sepanjang hidupku, siapa lagi yg mencintaiku sedemikian
rupa jika bukan dia?

Sampai dipintu ruang bersalin, dia memandangku dengan tatapan
penuh kasih sayang saat aku didorong menuju persalinan, sambil
menahan sakit aku masih sempat tersenyum padanya. Keluar dari
ruang bersalin, dia memandang aku dan anakku dengan wajah penuh
dengan air mata sambil tersenyum bahagia. Aku memegang
tangannya, dia membalas memandangku dengan bahagia, tersenyum
dan menangis lalu terjerambab ke lantai. Aku berteriak histeris
memanggil namanya.

Setelah sadar, dia tersenyum tetapi tidak bisa membuka matanya……
aku pernah berpikir tidak akan lagi meneteskan sebutir air
matapun untuknya, tetapi kenyataannya tidak demikian, aku tidak
pernah merasakan sesakit seperti saat ini. Kata dokter, kanker
hatinya sudah sampai pada stadium mematikan, bisa bertahan
sampai hari ini sudah merupakan sebuah mukjizat. Aku tanya
kapankah kanker itu terdeteksi? 5 bulan yg lalu kata dokter,
bersiap-siaplah menghadapi kemungkinan terburuk. Aku tidak lagi
peduli dengan nasehat perawat, aku segera pulang ke rumah dan ke
kamar nenek lalu menyalakan komputer.

Ternyata selama ini suara orang mengerang adalah benar apa
adanya, aku masih berpikir dia sedang bersandiwara…… Sebuah
surat yg sangat panjang ada di dalam komputer yg ditujukan
kepada anak kami. "Anakku, demi dirimu aku terus bertahan,
sampai aku bisa melihatmu. Itu adalah harapanku.. Aku tahu
dalam hidup ini, kita akan menghadapi semua bentuk kebahagiaan dan
kekecewaan, sungguh bahagia jika aku bisa melaluinya bersamamu
tetapi ayah tidak mempunyai kesempatan untuk itu. Didalam
komputer ini, ayah mencoba memberikan saran dan nasehat terhadap
segala kemungkinan hidup yg akan kamu hadapi. Kamu boleh
mempertimbangkan saran ayah. "Anakku, selesai menulis surat ini,
ayah merasa telah menemanimu hidup selama bertahun-tahun. Ayah
sungguh bahagia. Cintailah ibumu, dia sungguh menderita, dia
adalah orang yg paling mencintaimu dan adalah orang yg paling
ayah cintai".

Mulai dari kejadian yg mungkin akan terjadi sejak TK , SD , SMP,
SMA sampai kuliah, semua tertulis dengan lengkap didalamnya. Dia
juga menulis sebuah surat untukku. "Kasihku, dapat menikahimu
adalah hal yg paling bahagia aku rasakan dalam hidup ini.
Maafkan salahku, maafkan aku tidak pernah memberitahumu tentang
penyakitku. Aku tidak mau kesehatan bayi kita terganggu oleh
karenanya. Kasihku, jika engkau menangis sewaktu membaca surat
ini, berarti kau telah memaafkan aku. Terima kasih atas cintamu
padaku selama ini. Hadiah-hadiah ini aku tidak punya kesempatan
untuk memberikannya pada anak kita.. Pada bungkusan hadiah
tertulis semua tahun pemberian padanya".

Kembali ke rumah sakit, suamiku masih terbaring lemah. Aku
menggendong anak kami dan membaringkannya diatas dadanya sambil
berkata: "Sayang, bukalah matamu sebentar saja, lihatlah anak
kita.
Aku mau dia merasakan kasih sayang dan hangatnya pelukan
ayahnya". Dengan susah payah dia membuka matanya, tersenyum...
....... anak itu tetap dalam dekapannya, dengan tangannya yg
mungil memegangi tangan ayahnya yg kurus dan lemah. Tidak tahu
aku sudah menjepret berapa kali momen itu dengan kamera di
tangan sambil berurai air mata ...........

moral of the story: jika kita memiliki ganjalan hati, segeralah selesaikan
jangan menunggu waktu yg akan menyelesaikannya dengan sendirinya
 






0 komentar:

Posting Komentar