Selasa, 03 Desember 2013

Tertipu, Menipu, Ditipu

 
January 21, 2010 at 11:28am
(sebuah note dari Afz on web))

Hore. Hore. Hore. Ternyata aku telah ditipu. Dengan kesadaran penuh akal sehat, aku baru saja tahu kalau memang aku ditipu. Ditipu oleh orang dekat yang aku kenal. Bahkan telah kuanggap kerabat. Hore. Hore. Hore. Ternyata aku telah ditipu. Barang dengan sejumlah rupiah, kini menghilang seiring alasan berkelit melilit berbelit-belit bagai ludah yang diguyur hujan dari semalam. Hore. Hore. Hore. Aku benar-benar ditipu.

Kenapa Anda bersorak? Bukanlah Anda menderita. Rugi. Kehilangan harta dan rupiah berjuta-juta? Ah, kenapa pula aku harus bersedih? Kalau aku sedih atau marah atau memaki-maki karena ditipu, itu yang dikehendaki si raja tipu. Kenapa Anda bersorak? Karena penipuan ini membuktikan bahwa aku ini ternyata bukanlah seorang penipu Valid 100%. Kenapa Anda bersorak? Karena dengan bersorak si penipu telah ditipu oleh dirinya sendiri. Maksudnya merugikan dirinya sendiri, aku sendiri tidak merugi sesungguhnya. Maka penipulah yang rugi. Kenapa Anda besorak? Karena sorakkan itu tanda kemenangan, maka penipulah yang dikalahkan. Kesedihan, kemarahan, kebencian menjadi tunduk seketika. Lumer. Melarut. Lalu derajatku semakin meninggi dengan sendirinya dan mengantarkanku ke tangga terluhur podium kemenangan untuk mendapat kalungan medali kehormatan. Ya kehormatan seorang manusia.

Bagaimana dengan kerugian yang Anda derita? Harta dunia itu bukan milikku sesunguhnya. Termasuk sejumlah barang dan rupiah yang ditipu. Maka jika sekarang itu menghilang, terlalu kurang kerjaan dan sia-sia belaka jika aku meratapinya. Karena ratapan tidak akan berubah menjadi mantra sakti yang dapat mengembalikannya lagi. Bagaimana dengan kerugian yang Anda derita? Kalau aku merasa menderita, aku adalah menjadi obyek dari penipuan. Karena aku adalah sang subyek, maka aku tak boleh menderita ataupun sengsara. Kalaupun harta itu kini menghilang karena ditipu, aku tak ingin terpedaya oleh harta itu. Harta itulah obyeknya, dan aku adalah subyek. Bagaimana dengan kerugian yang Anda derita? Dalam kecukupanku, aku masih memiliki ini dan itu. Bahkan untuk begini begitu. Kesadaran. Semangat. Nafsu. Akal. Nurani. Dan keyakinan. Ya, keyakinan akan kesia-siaan seorang penipu. Karena itu adalah kesementaraan belaka. Seperti hujan dan badai pun akan berhenti. Lihatlah langit siang memang diselubung mendung, tapi mentari tidaklah gelap. Apalagi hanya sebuah tipuan. Itu palsu yang tidak lucu. Semu dan tidak patut. Busuk.

Sang penipu menikam diam-diam indahnya silaturahmi. Tali sosial agung yang diuntai kasih dan cinta telah digunting runcing diiringi tepukan tangan. Silaturahmi, sang saluran rejeki telah diobrak-abrik hingga ke pondasinya. Sang penipu telah terjun bebas dari puncak ketinggian kehormatan dengan tersenyum. Menelan racun perusak hati, menelanjangi diri di jembatan Semanggi. Maka tak patut aku membenci. Malah mengasihani itu lebih berciri. Ciri peradaban. Ciri kesejatian diri. Jadilah aku tetap berseri. Dan membagikan dengan teriakan dalam hati..... Hore. Hore. Hore. Ternyata aku telah ditipu.
(belajar dari http://www.dakwatuna.com/2008/tiga-langkah-menjadi-manusia-terbaik/)

cat : membuat saya tertawa (meskipun sedikit masam)

0 komentar:

Posting Komentar