Selasa, 10 Agustus 2010

Biarlah hanya Allah yang Mengenalku


Ada sebuah pesan menarik dari seorang ulama salaf. Tu'rafuna fi ahlis-sama' wa tukhfuna fi ahlil ardhi. (Berusahalah kalian agar lebih dikenal oleh para penghuni langit, walaupun tak seorangpun penduduk bumi yang mengenal kalian. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam menyebut tipe manusia seperti ini dengan sebutan Al Akhfiya' (manusia-manusia tersembunyi). Beliau juga mengatakan Allah 'Azza wa Jalla sangat mencintai manusia tipe ini. Mereka tidak pernah peduli apa kata manusia tentang mereka, sebab -bagi mereka- yang penting adalah apa kata Allah tentang mereka. Itulah sebabnya, mereka tidak pernah mengalami kegilaan akan kemasyhuran.

Ini adalah kisah salah satu dari Al Akhfiya' itu.

Ia hidup di masa tabi'in. Namun, hingga hari ini, tak satu buku sejarah pun yang dapat menyingkap identitas pria ini. Satu-satunya informasi tentangnya hanyalah bahwa ia adalah seorang pria berkulit hitam dan bekerja sebagai tukang sepatu. Yang menceritakan tentang pria ini adalah seorang tabi'in bernama Muhammad ibn al-Munkadir -rahimahullah-. Berikut adalah kisahnya:

Malam itu sudah terlalu malam dan gelap. Namun, walaupun malam, udara terasa lebih panas dari biasanya. Tidak aneh memang, sebab hari itu adalah salah satu dari hari-hari kemarau panjang di kota Madinah. Sudah setahun ini kota Madinah tidak pernah mendapatkan curahan air dari langit. Entah telah berapa kali penduduk Madinah berkumpul untuk melakukan shalat istisqa' demi meminta hujan. Namun, hingga malam itu, tak setetes hujan pun yang turun menemui mereka.

Dan malam itu, seperti kebiasaannya bila sepertiga malam akhir menjelang, Muhammad ibn al-Munkadir meninggalkan rumahnya dan bergegas menuju Masjid Nabawi untuk menunaikan shalat Lail (Tahajjud). Usai mengerjakan shalatnya malam itu, Ibn al Munkadir bersandar ke salah satu tiang masjid. Tiba-tiba, ia melihat sebuah sosok bergerak tidak jauh dari tempatnya bersandar. Ia mencoba untuk mengetahui siapa sosok itu. Agak sulit ia mengenalinya, sebab malam itu telah begitu gelap. Dengan agak susah payah, ia melihat seorang pria berkulit hitam agak kecokelatan. Tapi ia sama sekali tidak mengenalinya.

Pria itu membentangkan sebuah kain di lantai masjid. Dan kelihatannya, pria itu benar-benar merasa hanya ia sendiri yang berada di dalam masjid. Ia sama sekali tidak menyadari kehadiran Ibn al-Munkadir yang berada tidak jauh dari dirinya.

Kemudian, pria itu berdiri mengerjakan shalat dua raka'at. Usai itu, ia duduk bersimpuh. Begitu khusyu' ia bermunajat. Dan dalam munajatnya, ia mengatakan, "Duhai Tuhanku, penduduk negeri Haram-Mu ini telah bermunajat dan memohon hujan pada-Mu namun Engkau tidak kunjung mengkaruniakannya kepada mereka. Duhai Tuhanku, sungguh aku mohon padamu curahkanlah hujan itu untuk mereka."

Ibn al-Munkadir yang mendengar munajatnya, agak sedikit mencibir dalam hati, "Dia pikir dirinya siapa mengatakan seperti itu. Orang-orang shalih seantero Madinah telah keluar untuk berdoa meminta hujan, namun tak kunjung dikabulkan. Lalu tiba-tiba, orang ini ingin berdoa pula."

Namun sungguh di luar dugaan, belum lagi pria hitam itu menurunkan kedua tangannya, tiba-tiba saja suara guntur bergerumuh di langit. Tak lama, tetesan-tetesan air hujan pun membasahi bumi Madinah. Sudah lama tidak begitu. Tak terkira betapa gembiranya pria itu. Segala pujian dan sanjungan ia ucapkan kepada Allah Ta'ala. Namun tidak lama kemudian, ia berkata dengan penuh ketawadhu'an, "Duhai Tuhanku, siapakah aku ini? Siapakah gerangan aku ini hingga Engkau berkenan mengabulkan doaku?"

Ibn al-Munkadir hanya tertegun di tempatnya memandang pria itu. Tak lama setelah itu, pria tersebut bangkit kembali dan melanjutkan raka'at-raka'at shalat malamnya. Hingga ketika subuh menjelang, sebelum kaum muslimin lain berdatangan, ia segera menyelesaikan witirnya. Dan ketika shalat subuh ditegakkan, ia masuk ke dalam shaf seolah-olah ia baru saja tiba di masjid itu. Usai mengerjakan shalat subuh, pria itu bergegas keluar masjid. Jalan-jalan kota Madinah subuh itu digenangi air pria itu berjalan cepat sambil mengangkat kain bajunya lalu menghilang. Ibn al-Munkadir yang berusaha mengikutinya kehilangan jejak. Ia benar-benar tidak tahu ke mana pria hitam itu pergi.

Malam berikutnya, Ibn al-Munkadir kembali mendatangi masjid Nabawi. Dan seperti malam kemarin, ia kembali melihat sosok pria hitam itu. Persis seperti kemarin. Ia mengerjakan shalat malamnya hingga subuh menjelang. Dan ketika shalat subuh ditegakkan, ia masuk ke dalam shaf seperti orang yang baru saja tiba di masjid itu. Dan saat sang imam mengucapkan salam, pria itu tidak menunggu lama. Persis seperti kemarin, ia bergegas meninggalkan masjid. Dan Ibn al-Munkadir mengikutinya lagi dari belakang. Ia ingin tahu siapa sebenarnya pria hitam itu. Pria itu menuju ke sebuah lorong, dan setibanya di depan sebuah rumah, ia langsung masuk ke dalamnya. Ibn al-Munkadir berkata dalam hati, "Rupanya disinilah rumahnya. Sebentar, aku akan mengunjunginya."

Matahari telah naik sepenggelahan. Usai menyelesaikan shalat Dhuha'nya, Ibn al-Munkadir pun bergegas mendatangi rumah pria hitam itu. Didapatinya pria itu sedang sibuk mengerjakan sebuah sepatu. Begitu ia melihat sosok Ibn al-Munkadir, ia segera mengenalinya dan menyambutnya, "Marhaban wahai Abu 'Abdullah (panggilan Ibn al-Munkadir)! Adakah yang bisa saya bantu? Mungkin kau ingin memesan sebuah alas kaki?"

Namun, Ibn al-Munkadir justru menanyakan hal yang lain, "Bukankan kau adalah orang yang bersamaku di masjid kemarin malam?"

Dan tanpa diduga, wajah pria hitam itu tiba-tiba berubah. Dia nampaknya sangat marah. Dengan nada suara yang tinggi, ia berkata, "Apa urusanmu dengan semua itu, wahai Ibn al-Munkadir?"

Ibn al-Munkadir berkata dalam hati, "Nampaknya dia sangat marah. Aku harus segera pergi dari tempat ini." Dan ia pun segera pamit meninggalkan rumah pria hitam tukang sepatu itu.

Malam berikutnya, Ibn al-Munkadir menjalankan aktivitas rutinnya di masjid Nabawi. Di hatinya, ada harapan yang kuat untuk bertemu dengan pria hitam itu kembali. Seusai mengerjakan shalat malamnya, ia kembali bersandar sambil berharap dapat bertemu dengan pria hitam si tukang sepatu.

Satu hal yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Malam semakin larut bahkan hampir menjelang subuh, namun sosok yang ditunggunya tak kunjung muncul. Ibn al-Munkadir kemudian tersadar. Ia telah melakukan suatu kesalahan. "Inna lillah! Apa yang telah kulakukan?" Demikian gumamannya ketika menyadari kesalahan tersebut.

Dan usai shalat subuh, ia segera meninggalkan masjid dan mendatangi rumah pria hitam si tukang sepatu. Namun, yang ditemukannya hanyalah pintu yang terbuka dan tidak ada lagi sosok pria hitam si tukang sepatu. Orang-orang di sekitar rumah itu bertanya, "Wahai Abu 'Abdullah, apa yang terjadi antara kau dan dia?"

"Apa yang telah terjadi" Ibn al-Munkadir bertanya kembali.

"Ketika kau keluar dari sini kemarin, ia segera mengumpulkan semua barangnya hingga tak satupun yang tersisa. Lalu ia pergi dan kami tak tahu kemana ia pergi hingga kini." Begitulah penjelasan orang-orang di sekitar rumah itu.

Dan sejak hari itu, Ibn al-Munkadir mengelilingi semua rumah yang ia ketahui di kota Madinah untuk mencari pria hitam si tukang sepatu. Namun, sia-sia belaka. Pencariannya tidak pernah membuahkan hasil. Dan hingga kini di abad 14 Hijriah ini, kita pun tidak pernah tahu siapa sosok pria hitam si tukang sepatu itu sebenarnya. Jejak-jejaknya yang terhapus oleh hembusan angin sejarah seolah bergumam, "Biarlah hanya Allah Yang Mengenalku...."

1 komentar:

Anonim mengatakan...

subhanallah?

Posting Komentar