Selasa, 18 Oktober 2011

Soimah.... Sinden Keren Multi Tallent

 Ada yang nonton tayangan “Hitam Putih”  minggu tanggal 16 Oktober 2011 kemarin ? Host Dedi Cobuzier berkesempatan mendatangkan Soimah si Sinden Beken yang lagi ngetrend. Awalnya saya gak suka dengan cara pesulap botak itu membawakan acara, terkesan judes dan bergaya tengil. Tapi lama-lama enak juga melihat cara dia mengungkap fakta dar nara sumbernya. Tanpa tedeng aling-aling bahkan menurut saya suka rada “tega”.

Ditanya karir itu biasa, ditanya susah perjalanannya untuk sampai terkenal di layar kaca itu juga biasa, yang cukup membuat surprise saat nanya sang pesinden molek dengan pertanyaan yang pedas “Kamu cantik, suara oke, tapi koq namanya kayak pembantu gitu… SOIMAH?”.

Saya yang menonton kaget dan segera menegakkan badan menunggu reaksi sang penembang gemulai tapi rada tengil itu. Awalnya Soimah menjawab dengan sewot tapi tampak bahwa itu dibuat-buat selebihnya ikut mentertawakan statement Dedi tanpa terlihat berkecil hati. “Mau dipanggil apapun, tidak mengurangi kecantikan saya”, katanya nggemesin sampai Dedipun seperti kehilangan peluru untuk mencandainya. Applaus buat Soimah !!!

Terus terang saya jadi ingat sebuah pepatah kuno inggris “Laughing is healthy, especially if you laugh about yourself”, Tertawa itu sehat, lebih-lebih jika mentertawakan diri sendiri. Menurut saya Soimah sudah bisa mentertawakan dirinya sendiri. Orang yang bisa mentertawakan diri sendiri biasanya adalah orang yang mengenal dirinya dengan baik. Mengenal kekurangan dirinya plus memahami apa yang menjadi kelebihannya. Ketika orang mengejeknya ia berbesar hati dan instrospeksi, takala orang memujinya ia akan rendah hati.
Walaupun Dedi (yakin tidak untuk mendeskriditkannya) menggiring Soimah pada pertanyaan nyleneh, tapi penonton sepakat bahwa banyak hal cemerlang dari seorang Soimah sehingga orang mampu melupakan namanya yang ndeso. Bahkan secara berburau dedi pun mengagumi kecantikan Soimah.

Saya tidak mengenal Soimah dengan baik, tapi dari apa yang terlihat di layar kaca, Soimah sangatlah bersahaja. Dengan tidak melepas atribut kampungnya Soimah berjalan tegak meniti kesukseskan di dunia yang ia kuasai, dunia tarik suara. Bagi Soimah apa yang dicapainya merupakan buah dari bibit yang ia tanam dan bagi kita seorang Soimah mampu memberikan hiburan yang menyegarkan tanpa harus dibarengi adegan-adegan slapstic yang bikin kita ikut meringis. Hidup Soimah, sesosok perempuan sederhana  yang dengan kebersahajaannya mampu menaklukan kerasnya dunia hiburan di Jakarta.  

METAMORFOSA HARI MUKTI

Dalam rangka Isro Mi'raj Nabi besar Muhammad SAW, mushola depan rumah saya menggelar acara pengajian dengan menghadirkan penceramah ustad Hari Muksti, seorang dai yang mantan Rocker dijaman saya masih ABG.

Menghadiri tausyiah Hari Mukti, saya  ibarat membuka file lama, file yang tersimpan sejak  20 tahun yang lalu. 20 tahun yang lalu saya meliputnya, 20 tahun yang lalu saya mengejar beritanya, hanya sekedar mencari bahan agar dapat menyajikan aktivitasnya  sebagai rocker ternama. Siapa yang tidak tahu hari Mukti, rocker ternama dari Bandung yang memiliki beberapa hits yang digandrungi kawula muda saat itu. Sebut saja lagu ”Ada Kamu”, ”Hanya Satu Kata” bahkan juga lagu lucu ”Apel Pertama” berminggu-minggu bertahan di tangga lagu radio-radio anak muda. Lengkingan suaranya kerap menggema menjadi idola kaum muda. 20 tahun berlalu tak menyurutkan saya untuk menyukai rocker berbadan gempal itu. Lagu-lagu lawasnya masih bisa diakses di youtube.

Saat ini, 20 tahun kemudian, mata saya menangkap geraknya, bukan di atas gemerlapnya panggung pertunjukkan, bukan diantara sorotan lampu-lampu laser. Melainkan di sebuah mimbar masjid. Suaranya masih lantang, bukan memperdengarkan talenta menyanyinya, melainkan mengetuk hati kaum muslimin dan menyampaikan ayat-ayat al qur’an yang membawa spirit amar ma’ruf nahi munkar. Ya... jangan berharap Hari ada di gerombolan kaum selebritis yang bergaya hedonis. ”Dulu saya Hari yang suka mengajak maksiat, sekarang insyallaah saya ingin mengajak selamat”, demikian katanya. Alhasil, kiprahnya kini lebih banyak dari masjid ke masjid, dari majelis taklim ke majelis talim. ”Saya dulu seperti Briptu Norman, dalam hitungan minggu uang milyaran masuk dalam kantong. Semuanya saya tinggalan ketika kejayaan dalam genggaman”.

Hari memang memutuskan menanggalkan gelarnya sebagai selebritis. Julukannya sebagai Rocker sangar pelan luruh seiring jalan hidupnya yang  bermetamorfosis menjadi Dai di awal-awal 90-an. Sekarang jangan berharap melihatnya berjingkrak-jingkrak berbaju kaos kutung, celana kulit ketat, sepatu boot dan seluruh tubuh berhiasakan assesories rantai-rantai besar. Yang ada adalah tausyiahnya yang menyejukan. Temanya selalu disesuaikan, ketika berceramah di hadapan ibu-ibu, hari mencoba menggugah kesadaran untuk menjadi ibu yang baik atau istri yang shalehah. Pun saatnya berhadapan dengan kaum eksekutif, tak jarang Hari membahas tentang ethos kerja. Pergaulannya yang luas membuatnya lebih mudah menyesuaikan diri.

Ketika ditanya apakah Hari merindukan saat-saat kejayaannya dulu. ”Tidak... saya malah takut.Dulu saya (saat menjadi artis) banyak mengajak orang tersesat, sekarang mengajak agar selamat. Sekarang saya hanya berusaha untuk menjadi orang yang bertaqwa. Patokan hidup saya hanya lima hal yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram”. Dunia keartisan yang menawarkan kemewahan berlimpah kini menjadi lembar masa lalu yang lalunya. Masa lalu itu tak mungkin dihapusnya karena bagaimanapun masalalu itulah yang membentuknya menjadi hari yang seperti sekarang ini.

Materi mungkin tidak sebanyak yang diperolehnya takala menjadi penyanyi. Namun hal tersebut tak mengurangi rasa syukurnya karena dalam 15 tahun terakhir Allah memberinya pendamping yang shalehah "Saya bersyukur mendapat istri yang setia dan banyak mengkritisi saya. Alhamdulillah, kini saya hidup bahagia," ujarnya.

Hari melanjutkan, ia dan istrinya ingin membangun keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah. Prinsip taqwa, sahabat dan s
abar dijalankannya bersama istri. Artinya, berusaha menjadi orang yang taqwa, menjadikan istri sebagai sahabat dan bersabar dalam menjalani rumah tangga. "Dunia entertainment memang mendatangkan banyak uang, tapi percayalah Allah memberikan rezeki dari sisi yang tidak kita duga," katanya.

Allah seringkali memilih orang-orang yang dirahmatiNya, hidayah kerap turun buat orang-orang yang dipilihNya, barangkali Hari Mukti ini adalah salah satunya. Semoga

Nobar OVJ

Kamis, 13 Oktober 2012 merupakan salah satu hari yang menyenangkan buat saya selaku dosen. Ada 25 orang mahasiswa yang berhasil saya yakinkan untuk nonton langsung pertunjukan Opera Van Java. Acara berformat wayang orang ini merupakan salah satu acara andalan Trans 7  yang menampilkan kelulucuan Sule, Azis, Andre, Parto dan Nunung plus sederet bintang tamu yang terkenal (tentunya yang lucu juga dong).
Saya sangat mengapresiasi partisipasi separuh mahasiswa di kelas saya yang mau bela-belain datang  ke Studio Quet di jalan Perdatam Raya no. 17. Bergerombol mereka datang naik motor dan janji berkumpul di parkiran studio yang panat,  tak menyurutkan kegembiraan kami. Dan tak hanya mahasiswa  yang masih saya ajar yang ikut serta, tetapi juga ada beberapa mantan mahasiswa kelas saya. Sebut saja Irvan, Khairul dan Rizky. Sambil menunggu pertunjukan dimulai kami bak ber-Reuni membicarakan banyak hal. Beragam yang mereka “adukan” tentunya apa yang bisa saya sampaikan sebagai solusi, saya kemukakan. Mereka memang “anak-anak” saya yang baik, silaturahiim tak lagi terikat oleh ruangan kelas.
Kembali ke masalah Nobar OVJ, bukan sekedar menonton kalau saya memboyong mereka outing keluar kelas. Kendati di awal niat, sempat dikatakan bahwa tak tepat membawa mahasiswa PR ke sini karena bidang broadcast dan lebih cocok untuk kajian jurnalistik, saya tak kecil hati. Kalaupun itu benar tidak ada relevansinya, sekurang-kurang saya bisa tertawa bersama dengan mereka dan mendekatkan diri kami masing-masing agar terbawa dalam suasana kelas yang hangat dan tidak membosankan. Niat saya sederhana, ingin membuka mindset mereka sebagai mahasiswa yang berdisiplin ilmu PR, bahwa dunia komunikasi (dan tentunya dunia PR) sangat luas, lapangan kerja yang membutuhkan keahlian “how to communicate “, “how to influence”, “How to manage people” sebagai kajian ilmu komunikasi begitu membentang luas. Saya berharap mereka jangan terjebak pada pola bahwa kelak masuk kerja di Biro Humas perusahaan. Kalau itu polanya, yang ada (dan yang saya khawatirkan) mereka akan terkungkung dengan pekerjaan rutin mengkliping Koran. Tapi dengan melihat sinergi (salah satunya) di dunia broadcast mereka terpancing untuk melihat pilihan-pilihan lain yang diharapkan lebih menantang. Saya sendiri yang akhirnya mengikat hidup dalam sebuah BUMN kadang masih memimpikan untuk bekerja di bidang entertaintment. Rata-rata karakter orang di dunia seperti itu adalah mereka yang supel, berwawasan, kreatif, dll. Bagi yang berusia muda akan sangat penting sebagai ajang penggemblengan diri sebelum kelak mereka menetapkan satu pilihan karirnya.
So… sambil saya menyaksikan adegan demi adegan dan tertawa bersama plus “kewajiban” bertepuk tangan serta menerikan yel-yel, saya perhatikan mahasiswa satu demi satu. Rasanya tak ada yang merasa terpaksa mereka ajak kesini. Semua tertawa, semua bertepuk tangan, semua berteriak dan semua bergembira. Suasana yang gelap dan panas berasa sejuk ketika seorang dari mereka “Bu kelak saya ingin bekerja di televise”, saya hanya mampu tersenyum “cepat selesaikan sekolahmu, setelah itu cari karena dunia TV begitu luas”. Padahal hati saya membuncah gembira. Walaupun hanya seorang mahasiswa yang menyatakan minatnya tak berarti yang lain tidak tertarik kan ? sekurang-kurangnya tujuan saya membawa mereka ke studio ini guna memberikan wawasan ada hasilnya. Sebagai dosen, saya punya angan-angan, ada diantara anak didik saya yang kelak jadi “orang” sehingga ketika saya melihatnya di ekspose di TV atau surat kabar saya bisa turut bangga dan pantas membathin “anak itu pernah ada di kelas saya”. Semoga….

Gemuk ? So What.... Gitu Lho....


Minggu mengisi waktu ikut menunggu took lagi. Asyik juga sih melihat lalu lalang orang. Seneng juga melayani orang keluar masuk toko, memilih menawar kendati gak jadi beli, gak masalah...yang penting orang meminati apa yang kita pajang.

Entahlah apa keasyikan ini yang memacu hobby dagang, tapi bisnisnya cuma suka di dunia fashion. Kenapa dagang ? Pertama, dagang adalah transaksi yang paling cepat. Kedua, dagang jelas ijab qabulnya. Ketiga, dagang lebih jujur, gak perlu kuitansi kosong bahkan gak pake kuitansi juga gak apa-apa. Keempat, dagang itu bisnis yang paling singkat gak perlu entertaint-entertaint lah. Terus kenapa baju? Pertama, karena baju gak pernah basi. Kedua, kalau gak laku bisa dipake he he he.. Ketika, dagang baju terhindar dari godaan mengurangi takaran (seperti jualan yang pake ukuran timbangan). Maka jadilah saya sebagai grosir baju anak-anak sisa ekspor dan membuka gerai baju muslim dan perlengkapan haji.

Tapi sudahlah, curhat ini sebenarnya bukan untuk menyodorkan alasan kenapa suka dagang. Tapi ada satu pengalaman yang meninggalkan pesan moral bahwa dagang perlu kesabaran yang luar bisa ; sabar karena sepi pembeli, sabar karena melayanai pembeli yang harus kita perlsayakan bak raja. (He he pasti semua bilang deuh basi... semua orang juga tahu dengan jargon-jargon seperti). Eits tunggu dulu...alasan boleh sama tapi pengalaman berbeda.

Hari masih pagi, belum ada satu pun barang laku terjual. Seorang ibu masuk dengan anaknya remaja yang cantik.Spontan aja mulutku bilang ”Dek kamu cantik sekali”, ”Makasih tante”, jawabnya dengan sopan.

Ibunya juga lumayan cantik, agak berumur. Dandanan cukup kasual, jeans ketat dengen kemeja putih sepaha. Kepalanya berkerudung. Hanya, ukuran badannya aja yang kuperkirakan LLLL (hi hi  saya agak berasa langsing deket ibu itu).

Perburuan dimulai, dari satu baju ke baju lain. Dari model yang konvensional sampai model rok blazer. Semua baju dijajal. Satu masuk satu keluar. Setelah kuperhatikan, setiap habis mematut di kaca selalu ada kata yang sama terlontar dari bibir ibu itu ”Kelihatan gemuk kan?”. Ok ganti deh dengan model lain yang bisa membuat lebih nyaman. Terus begitu, sampai memerlukan waktu beberapa puluh menit untuk gonta-ganti baju. Sudah setumpuk baju di meja kasir yang belum dibereskan. Ternyata selera ibu itu lumayan juga, pengennya baju rok blazer model Maia estianti warna biru laut. Lumayan juga seleranya.

Usai mematut diri di depan cermin yang melahap seluruh badannya si ibu nanya ke anaknya, disambut anggukan setuju. Tapi si ibu itu keukeuh mengeluh ”Aduh kelihatan gemuk”.

Oow.... gatal juga gak berkomentar. Lalu, dengan bahasa yang sangat halus dan berusaha seramah mungkin kubilang ”Mohon maaf ibu sebelumnya, agak sudah untuk menyembunyikan badan untuk seukuran kita bu (Saya pakai kata kita lho, biar si ibu merasa senasib sepenanggungan), yang penting baju itu bisa menyembunyikan perut kita (ini jujur perutnya yang besar tersembunyi di bagian bawah blazer yang agak melebar), ibu pantas dan nyaman memakainya. Iiihhh keukeuh aja ”Saya koq kelihatan gemuk”.

Jujur saya sampai kecapean melayani. Dan ternyata tidak ada yang diambil karena alasan yang sama. Saya Cuma membatin. Aduh ibu...saya bener-bener tidak punya advis lagi untuk menyembunyikan tubuh ibu yang besar itu. Perancang sehebat Itang Yunaz pun tidak akan berhasil menyulap badan kita yang besar menjadi seramping model-model di majalah. Paling yang bisa dilsayakan adalah mendandani dengan baju yang pantas dan nyaman.Dengan tidak merasa bersalah karena sudah mengacak-acak sedemikian banyak si ibu itu bilang tidak ada yang cocok. Sambil mau pulang si ibu nanya tas yang dipajang di atas rak ”350 rb” jawab saya ketika ditanya harganya. Trus dengan entengnya dia bilang ”Saya kan sering ke manggadua, kalau Rp. 100 ribu saya ambil deh”, wah bener-bener ngebetein, tapi sebagai penjual yang baik saya Cuma bilang ”Terima kasih buu”, dia agak kaget ”Lho koq jawabnya gitu”. Subhanallah...sudah dijawab dengan sopan santun saja sudah diprotes ”Iya ibu, terima kasih karena sudah meminati barang jualan saya, tapi mohon maaf saya belum bisa ngasih”.

Ketika ibu pergi benar-benar menarik nafas lega. Kalau memang ibu itu sering belanja ke mangga dua, tentu tahu dong harga tas-tas kw 1 atau kw 2. Ya...kendati tiruan kualitas barang terjamin juga.

Saya jadi ingat ada status yang pernah saya baca ”Jelek itu mutlak, cantik/tampan itu relatif”. So...apa bedanya, gendut itu juga mutlak (kan ada bukti empiris), tapi nyaman dan pantas itu kan relatif. Kita memang tidak bisa berharap tiba-tiba badan kita melangsing hanya karena kita pakai baju tertentu. Tetap aja...baju apapun yang dipakai badan kita yang extra L akan tetap kelihatan besar. Tapi cantik dan pantas itu kan tidak mutlak mirip orang ramping. Perhatikan aja Huges, cantik kan.

Sebenarnya sederhana saja, kalau kita merasa tidak cantik karena badan yang ekstra L, makanya lebih baik memilih menjadi orang yang bahagia dan menikmati hidup. Mudah-mudahan saja aura iner beaty membuat kita lebih menyenangkan dalam pandangan orang sehingga mereka luput memperhatikan bentuk tubuh kita.

He he bener-bener pengalaman yang menguras tenaga. Tapi tetap disyukuri, itu kan contoh yang gagal ; gagal sebagai seorang penjual membujuk pembelinya dan gagal sebagai seorang sarjana komunikasi meyakinkan komunikannya. Deuh...

Saya juga jadi berpikir, bener gak sih saya memilih untuk buka toko yang menyediakan ukuran BIG SIZE. Niat saya sih mulia (cieee...) yaitu make over ibu-ibu yang kesulitan mencari baju untuk ukurannya agar lebih fashionable, Tapi dengan kejadian tadi sudah kebayang kerja keras yang harus dilakukan ; sekurang-kurangnya membujuk ibu-ibu yang memiliki perilaku serupa ibu tadi. Tapi sebenarnya tidak bisa disamaratakan.

Buktinya, tadi ada juga ibu-ibu yang berbahagia sekali karena mendapat baju yang diidamkan. Bahkan, ibu tersebut meninggalkan nomor hp pesen baju dengan motip dan ukuran yang diinginkan. Sebelum pulang bahkan ibu itu berkali-kali bilang ”Mbak jangan lupa ya kalau sudah ada telpon, biar saya jadi langganan”. Alhamdullilah....

So...karena susahnya berdagang, ketika dapat bener-bener disyukuri. Dan nilai uangpun jauh lebih berharga dan lebih dapat dimaknai dengan sangat.  #baladakakilima#

Senin, 17 Oktober 2011

Cancel Fee

Hari ini si sulung ikut ke toko. Anteng saja duduk di meja kasir memperhatikan lalu lalang orang yang keluar masuk toko saya yang tak seberapa luas.. Setiap ada baju terjual, mulutnya sering mengucap "Alhamdullilah".

Ada 3 orang ibu masuk. "Silahkan Bu', sambut pegawai saya dengan ramah. Tanpa menjawab sapaan itu mereka masuk melihat-lihat baju tang terdisplay di gantungan. Seorang ibu memilih blazer warna biru, ibu lainnya memperhatikan atasan model kalong, sedang yang terakhir asyik mematut-matut sebuah baju yang dipenuhi mote.

Kehadiran 3 ibu-ibu itu membuat toko saya menjadi lebih sesak dan ramai oleh celoteh mereka membolak-balikan pakaian, mencoba satu persatu dan menukarnya apabila tidak berkenan. Kulihat teh Mumun pegawaiku mulai kecapean. Saya juga memilih memperhatikan dari kursi di sudut luar toko. Si sulung tampaknya mulai bosan dengan tingkah ibu-ibu. Mukanya mulai cemberut. Tapi saya kedipinmata agar tidak memasang muka manyun.

Kejadian deh...setelah mengobrak-abrik setumpuk baju, yang satu minta harga yang rendah, yang satu bilang ingin warna yang lain dan yang terakhir bilang belum ambil uang. Mereka bilang akan mengambil uang dulu di ATM. Taktik lama yang sudah seringkali kudengar.
"Bunda mereka lagi ambil uang ya", tiba-tiba si sulung nyeletuk.
"Katanya begitu, tapi sepertinya nggak sih", jawab saya sambil mulai menata tumpukan baju dan menggantungnya kembali di dinding.
"Bunda kalau nanti ada yang seperti ibu itu. Suruh bayar", katanya dengan serius.
"Lho kenapa begitu", tanya saya yang belum memahami arah pikirannya.
"Iya dong kalau gak jadi mereka harus bayar uangn gacak-ngacak karena gak jadi beli", ujarnya lebih serius lagi.

(Saya hanya tertawa, dia pikir dalam dagang ada yang namanya cancel fee)

Ibu-Ibu Boros

Mengantar anak pergi sekolah merupakan "barang langka".  Rutinitas kerja kerap membuat saya harus memilih mana yang harus diutamakan. Terkadang urusan kerja mengabaikan urusan sekolah anak-anak. Pun sebaliknya, adakalanya saya lebih memilih datang ke sekolah anak-anak bila pekerjaan tidak terlalu mendesak. Itulah dilemma perempuan bekerja.

Jarangnya saya ikut rapat orang tua murid,  membuat hari mengantar ke sekolah tampaknya menjadi hal yang “menyenangkan” bagi anak saya. Karena  sekalinya mengantar biasanya yang kecil mepet aja di badan saya, gak mau jauh-jauh. Kalaupun menjauh pasti berbisik pada temannya "itu bundakua lho", katanya sambil mesem-mesem. Ada rasa bangga bercampur sedih. Tampaknya, dia ingin pamer kalau ibunyapun bisa mengantarnya ke sekolah seperti ibu-ibu teman yang lainnya.

Saat mengantar untuk kesekian kalinya, saya menemukan kumpulan ibu-ibu di Green Area. Tempat itu dikenal sebagai ruang tunggu para penjemput. Beberapa ibu sedang asyik mengobrol dan menimbang-nimbang berbagai barang sambil menunggu anak-anaknya pulang.

"Dek...bunda nunggu di situ ya", pinta saya sambil menunjuk kerumunan ibu-ibu.
"Jangan Nda...tunggu di depan kelas ade", jawabnya sambil menarik tangan saya.
"Lho kenapa Nak?", tanya saya heran
"Mereka ibu-ibu boros, nanti bunda ikut-ikutan", bisiknya berjinjit meraih teling saya.
"Ibu-ibu boros? apaan tuh", saya bertanya lagi tak mengerti.
"Bunda...ibu-ibu boros itu ; kemarin beli sepatu, hari ini beli tas, besok beli baju, lusa beli lipstik. Bayarnya boleh nyicil", jawabnya dengan serius. Ooowww…. ****)))))))^^)))

(saya hanya ternganga...ya ampun anak sebesar ini ternyata memahami transaksi orang tua)