Minggu, 24 Oktober 2010

Haji 2006 - Segerakanlah...Karena Esok Tidak Ada Yang Tahu…

Maka, sebagaimana kaum muslimin seluruh dunia, melaksanakan ibadah ke tanah haram menjadi dambaan kami. Haji merupakan rukun Islam ke lima yang di dalamnya terkandung rukun-rukun Islam lainnya seperti Syahadat, Shalat, Puasa dan Zakat. Haji sering dianggap sebagai penyempurna rukun Islam. Kewajiban haji jelas tertuang dalam QS Al Imron ayat 97 ”Berhaji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah, barang siapa yang kafir [mengingkari], maka sesungguhnya Allah Maha Kaya”.

Sejak tahun 2000 kami mulai menabung dengan harapan tahun 2010 dapat berangkat ke tanah suci. Kami ingin menunaikannya paling tidak sekali seumur hidup. Bukankah Rasulullah SAW berpesan "Wahai manusia, Allah telah memfardukan haji bagi kamu, maka laksanakanlah." Kemudian seseorang bertanya, "Apakah haji itu dikerjakan setiap tahun ya Rasulullah?" Rasulullah SAW kemudian diam, sampai-sampai lelaki itu mengulangi pertanyaan itu sebanyak tiga kali. Kemudian Rasulullah SAW berkata: "Andaikan aku katakan Ya maka akan menjadi wajib sedang engkau tidak akan mampu memenuhinya", lalu Nabi melanjutkan ”Biarkan jangan otak-atik apa yang tidak akan sebut. Kecelakaan bagi orang-orang terdahulu adalah mereka banyak bertanya dan berselisih dengan nabi-Nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu lakukanlah, jika aku larang maka hentikanlah”.

Dari apa yang disampaikannya, jelas bahwa Nabi seorang pemimpin yang berwawasan panjang. Kelak, umat islam tersebar sampai ke pelosok bumi, perjalanan haji tidak hanya memerlukan kekuatan fisik, namun juga materi. Oleh karenanya agar tidak memberatkan wajib haji hanya sekali selebihnya sunnah.
Apakah harus disegerakan? tentunya iya karena Rasullulah juga mengatakan "Segeralah engkau laksanakan ibadah haji, karena tidak satu orang pun yang mengetahui apa yang akan terjadi".

Sejelas apapun petunjuk tentang ibadah haji, saat itu hati kami tetap belum tergerak untuk mempercepat dari jadwal yang direncanakan. Yang kupikirkan anak-anakku yang masih kecil ; 9 tahun dan 6 tahun. Perasaan belum tega meninggalkan mereka 40 hari.

Kepulangan orang tua kami dari tanah suci pada bulan Februari 2005 menorehkan kisah perjalanan ruhaniah yang begitu menggores jiwa. 2 Mei 2005 kami memutuskan untuk ibadah umroh. Pikiran kami ibadah umroh ini akan dijadikan semacam ibadah perkenalan sebelum sampai pada ibadah akbar yaitu haji. Bertiga ; aku, suami dan kakak berangkat menunaikan ibadah Umroh.

Perjalanan umroh tersebut menoreh hikmah yang tak terlupakan karena memberikan pengalaman bathin yang luar biasa. Ada kenikmatan yang tak sanggup kulukiskan dengan kata ketika bersujud di rumah Allah datang dengan seribu penyesalan, memohon setitik pengampunan atas selaksa kekhilapan. Ada penyesalan yang mendalam, mengapa selama ini terhanyut dalam godaan kesibukan dunia sampai menunda suatu kenikmatan yang tidak ternilai ini.

Sekembalinya umroh, keinginan kembali ke tanah haram begitu merasuki hati. Baitullah tak lepas di pelupuk mata, kerinduan untuk berdoa di Multazam dan Raudah begitu menggelora. Namun rasa berat meninggalkan anak-anakku masih menggoyahkan niatku. Begitu juga dengan kesibukan menyelesaikan studiku menambah keraguan.
KH. Muhyiddin Abdul Qadir Zaelani MS seorang kyai kharismatik di Sumedang tempat memahami kegamanangan kami dan menyampaikan nasihat yang langsung menghujam pikiran. ”Tidak bijak kita mendahului yang kuasa. Siapapun suatu saat akan meninggal dunia, bisa orang tuanya atau bahkan anaknya yang mendahului. Dalam alur kehidupoan hanya ada 2 pilihan, meninggalkan atau ditinggalkan. Manusia tidak berdaya, semua harus dikembalikan kepada Allah SWT. Kuatkan hati, tekadkan niat, pertebal iman, Insyaallah kita berangkat sama-sama”.

Mendengar nasihat tersebut, tiba-tiba malu menyergap perasaan. Malu karena merebut apa yang menjadi hak Allah SWT dalam menentukan nasib manusia.

Alhamdullilah...sejak itu tumbuh keberanian untuk mempercepat keberangkatan. Diawali basmallah, kami membuka tabungan haji dan menyetor Rp. 20 juta sebagai syarat untuk memperoleh kursi. Juni 2006, tersiar kabar bahwa kami termasuk calon jamaah haji yang dapat berangkat pada akhir 2006. Aku dapat membuktikan tausyiah Ustadz yang ceramah di kantorku, ”Haji itu yang utama adalah niat, perkara rezeki insyaallah Allah SWT yang akan memberi kemudahan”. Allah SWT banyak memberi kelapangan dalam meneratas jalan menuju baitullah. Pada saat memerlukan biaya selalu terbuka jalan sehingga dapat terpenuhi sesuai ketentuan.

Kami meyakini ibadah haji merupakan bentuk keimanan kepada yang pencipta yang harus dibarengi oleh tata cara yang benar, dalam tahapan-tahapan sesuai aturan dan ditempuh menurut ketentuan waktunya masing-masing. Tentunya, kami tidak ingin seperti berjalan dalam kegelapan sehingga memerlukan pembimbing yang senantiasa menuntun agar sampai ditujuan yang seharusnya. Untuk itu, kami memilih bergabung bersama Majelis Taklim Asy – Syifaa Al Mahmudyah dibawah bimbingan langsung KH. Muhyiddin Abdul Qadir Zaelani MS.

Waktu bergulir dengan cepat, keberangkatan tinggal dalam hitungan bulan. Perasaan kembali berkecamuk antara bahagia dan sedih berbaur menjadi satu. Bahagia karena dapat berangkah lebih cepat dari yang direncanakan. Sedihnya, harus meninggalkan anak-anak. Apabila kekhawatiran sudah mendominasi pikiran aku istighfar seraya memohon kekuatan dari sang pencipta.

Kami mulai menata hati agar lebih kuat, ikhlas dan tawakal terutama dalam mempersiapkan mental anak-anak. Awalnya ada penolakan kendati tidak secarta frontal. Setiap kami sibuk mempersiapkan segala sesuatunya, diam-diam mereka memandang di sudut ruangan dengan mata berlinang. Ada perasaan tidak tega, namun kami harus kuat dan mencoba memberi pemahaman. Alhamdullilah...ayahnya sudah mengajarkan tauhid sejak mereka kecil, kami tengah memetik hasilnya. Dengan alam pikirannya yang masih sederhana, lambat laun mereka memahami kewajiban setiap muslim kepada penciptanya. Bahkan hati semakin mengharu biru, takala mereka mengutarakan tekadnya untuk rajin menabung agar bisa berangkat umroh. ”Ya Allah kabulkanlah keinginan mereka... Ya malaikat Allah aminkan doa mereka... berilah kami kesehatan dan panjang umur agar kelak dapat membawa mereka ke baitullahMu”.

Persiapan fisik tak luput dari perhatian kami. Selesai shalat subuh biasanya mulai latihan jalan kaki. Beberapa barang yang diperlukan sudah dikumpulkan. Baik untukku maupun untuk suamiku. Barang terakhir yang masuk ke koper adalah kain kafan. Kain itu lama dalam genggamanku karena hati tiba-tiba menjadi nelangsa. Kain kafan menjadi pertanda bahwa setiap yang berangkat harus ikhlas sekalipun harus pulang hanya membawa nama.

Dalam hitungan hari kami mulai menitip berbagai pesan (berat menyebutnya wasiat) terutama yang bersentuhan langsung dengan masa depan anak-anak. Hal tersebut tidak pernah dapat dibicarakan secara tuntas. Pembicaraan berlangsung berulang-ulang karena kalau sudah tidak sanggup membicarakannya pembicaraan dialihkan ke masalah lain terlebih dahulu. harinya.

Manasik dilaksanakan di Sumedang setiap Sabtu mulai jam 10.00 WIB. Waktunya bertepatan dengan jadwal bimbinganku. Praktis waktu kubagi dengan ketat. Beruntung, Prof. Nina Syam merupakan dosen yang tiap tahun berangkat umroh sangat islami, begitu juga dengan Pak Pawit yang baru saja menunaikan ibadah haji, mengetahui aku tengah marathon mengejar waktu penyelesaian tesis dengan keberangkatan ke tanah suci, keduanya sangat mendukung dan memberi kemudahan.

Usaha itu tidak sia-sia, tanggal 25 Nopember 2006 sidang tesis, 4 Desember 2006 wisuda, 17 Desember 2006 acara walimatul safar dan 20 Desember 2006 berangkat tanah suci Mekah. Sungguh Allah maha rahman dan maha rahiim...yang senantiasa membuka pintu bagi orang yang selalu berusaha.

Haji 2006 - Membekali Jiwa Dengan Iman dan Takwa

Awalnya menjadi tanda tanya besar, mengapa Asy Syiifa Wal Mahmudyah melakukan manasik haji dalam interval waktu yang panjang. Diawali pada bulan Agustus 2006 setiap hari Sabtu siang. Keberangkatan dijadwalkan pada akhir Desember 2006. Dengan demikian pelaksanaannya memakan waktu sekitar 5 bulan atau kurang lebih ada 22 pertemuan sebelum hari H. Tujuannya agar jamaah haji memiliki gambaran mengenai hal-hal yang akan dihadapi.

Aku yang malas membawa buku tulis, biasanya merekam tausyiah Pak Kiai dengan handphone. Beberapa hal penting aku ingat dengan baik. Tujuannya untuk meminimalisir kesalahan-kesalahan. Hal pertama yang aku perhatikan adalah membedakan rukun haji dan wajib haji. Rukun Haji adalah kegiatan yang harus dilakukan, bila tidak maka hajinya menjadi tidak sah. Rukun haji terdiri dari Ihram, Wukuf di Arafah, Thawaf Ifadah, Sa'i (setelah thawaf ifadah), tahalul dan tertib mengerjakan kegiatan sesuai dengan urutan dan tidak ada yang tertinggal. Sedangkan yang dimaksud wajib haji adalah kegiatan yang harus dilakukan pada ibadah haji, jika tidak dikerjakan harus membayar dam (denda). Wajib haji terdiri dari niat ihram, Mabit, melempar jumroh Aqabah pada tanggal 10 Zulhijah, mabit di Mina pada hari Tasyrik (11-13 Zulhijah), melempar jumrah Ula, Wustha dan Aqabah pada hari tasyrik (11-13 Zulhijah), thawaf wada yaitu melakukan tawaf perpisahan sebelum meninggalkan kota Makkah dan meninggalkan perbuatan yang dilarang saat Ihram.

Aku menjadi mengerti bahwa manasik merupakan sarana pembekalan pelaksanaan ibadah haji. Dengan berbagai pengetahuan yang diperoleh, akhirnya aku menarik kesimpulan bahwa manasik haji sama pentingnya dengan pelaksanaan ibadah haji itu sendiri. Intensitas dan kualitas persiapan memberi pengaruh yang signifikan dalam membantu meningkatkan kualitas pelaksanaan ibadah haji.

Takala kami bertanya mengenai perbekalan yang harus dibawa. Secara berseloroh Pak Kiai kembali menegaskan ” Di Makkah dan Madinah semua tersedia, bisa dibeli asal ada uang. Yang tak ada dan harus kita bawa adalah bekal iman dan taqwa”.
Benar...bekal paling penting adalah bekal jiwa yaitu taqwa. Kekuatan fisik dapat terbentuk dari latihan manasik, namun kekuatan taqwa tergantung dari keyakinan masing-masing karena iman dan taqwa tak ada ukurannya. Iman dan taqwa sumbernya dari lubuk hati yang paling dalam yang didorong karena ketaatan dan keyakinan.
Dengan duduk bersimpuh di bale-bale pesantren, dalam bangunan bambu yang luas, setiap calon jamaah dengan tekun mendengar berbagai tuntunan yang diajarkan.. Sambil menimba ilmu, sesekali bertukar penganan kecil. Keasyikan menyimak pengetahuan ibadah haji tidak diganggu oleh perut yang keroncongan.

Kesibukan pekerjaan dan jarak membuat kami sering absen mengikuti manasik. Namun dengan bijaknya Pak Kiai selalu mereview materi setiap kami datang sehingga tidak ketinggalan informasi. Sambil mendengarkan tuntunan-tuntunan, hati kerap mengembara mendatangi tempat-tempat yang disebutkan. “Ya Allah segerakanlah kami sampai di tanah suciMu”.

Haji 2006 - Nak…Ayah dan Bunda Pergi...

Malam semakin larut, jam yang tertempel di dinding kamar berdetak memecah kesunyian. Detaknya berpacu dengan detak jantung kami yang semakin kencang. Kami terpekur di ujung tempat tidur. Bergantian kuusap kepala kedua buah hati kami yang sudah tertidur lelap.

“Ya Allah… kendati balasannya surga bagi orang yang meninggal dunia pada saat berhaji, ijinkanlah kami pulang dengan selamat agar dapat bertemu kembali, mendidik dan membimbing mereka sampai dewasa agar kelak menjadi anak yang sholeh dan sholehah”.

Kepedihan makin terasa mendengar suamiku yang terbata-bata meninggalkan berbagai pesan di handphonenya. Mulai dari pesan untuk tidak meninggalkan shalat, mengingatkan untuk minta tolong kakeknya kalau ada Pe-er yang susah, saling membantu satu sama lain, juga tak lupa merekam berbagai cerita perjuangan nabi, sebagaimana yang diminta kedua anakku untuk nanti pengobat rindu.

Jakarta, 19 Desember 2006
Aku sendiri meninggalkan satu buku diary kecil meninggalkan pesan agar mereka meneruskan menuliskan berbagai hal-hal yang dialaminya selama mereka berjauhan dengan kami. ”Nak…ayah dan bunda pergi. Doakan agar perjalanan ayah dan bunda beroleh kemudahan dan keberkahan sehingga kita dapat berkumpul kembali. Kalau kalian merindukan ayah dan bunda, ambilah air wudhu, segera lakukan shalat, Allah akan mempertemukan kita karena dalam setiap detik jantung dan helaan nafas Ayah dan Bunda senantiasa mengalir doa untuk kalian berdua.…” kalimat itu tak sanggup kulanjutkan. Mataku makin berkabut, sedu sedan makin tak dapat kutahan. Sementara suamiku sudah bersimbah air mata. Dalam tangis yang tak bersuara, jelas kulihat guratan kesedihan.

Keheningan terusik ketika mamah mengingatkan untuk segera berangkat menuju Sumedang guna bergabung dengan jamaah Asy Syafiah wal Mahmudyah yang akan dilepas oleh Bupati Kepala Daerah Kabupaten Sumedang pada tanggal 20 Desember 2006 pukul 08.00 WIB.

“Mamah…Bapa…Ayah…tolong beri kami pintu maaf yang selebar-lebarnya, semoga pemaafan dari orang tua membantu memudahkan perjalanan kami yang hendak mencari keridhoan Allah SWT”. Cuma itu yang dapat kami sampaikan, takala orang tua melepas pergi. Hujan tangis kembali berderai. Kami teringat betapa selama ini belum berbuat banyak untuk menyenangkan hati mereka di hari tuanya.

Setelah melakukan shalat sunat 2 rakaat, kami meninggalkan rumah, tanpa sekalipun menengok lagi. ”Demi Allah yang menguasa jiwaku, demi Allah yang menentukan hidup dan matiku. Bismillah, tawakaltu Allaloh lahaulla walla quwata illaa billaah.....Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami berlindungan kepadaMu ya Allah. Tiada daya upaya dan kekuatan hanya dengan pertolongan Allah semata. Demi setiap dosa yang aku lakukan, demi setiap noktah noda yang aku torehkan, hanya rahmatMu yang akan meringankan jalanku dan melapangkan dadaku. Lindungan kami yang akan memenuhi panggilanMU, lindungi anak-anak yang kami tinggalkan serta lindungi kedua orang tua kami beserta orang-orang yang menyayangi dan turut menjaga anak-anak kami”.

20 Desember 2006

Pukul 01.00 WIB dini hari mobil berangkat menuju Sumedang 200 km ke arah Timur. Ada kehampaan Namur terasa menyesakkan dada ”Ya Allah…ajarilah kami tentang kelapangan hati, sehingga kepergian kami ke baitullahMu diiringi rasa ikhlas meninggalkan anak-anak yang masih kecil”.

Pukul 4.00 WIB mobil memasuki batas kota Sumedang. Kami menuju rumah orang tua. Rumah penuh dengan saudara-Saudara yang ingin melepas kami. Pak Ustadz yang biasa memberi ceramah di masjid dekat rumah sudah hadir untuk membimbing keberangkatan kami. Setelah shalat safar, kami mampir di masjid dekat rumah untuk shalat subuh berjamaah. Usai itu, talbiyah kembali bergema dari bibir para pengantar. Satu demi satu memeluk kami. Aku menitipkan mamah, bapak dan anak-anak. Kami meminta diantar sampai mobil saja. Tangisan itu hanya membuat jiwa kami semakin goyah.

Masjid Agung Sumedang sudah penuh. Samroh/marawis yang diperdendangkan santri-santri muda di panggung pada parkiran masjid membuat suasana bercampur baur antara bahagia dan kepedihan.

Jam 8.00 seluruh jamaah sudah berkumpul. Kami melaksanakan shalat sunat 2 rakaat. Dengan berbaris rapi, terpisah laki-laki perempuan, kami beriringan menuju gedung negara. Masyarakat yang mengantar berbaris memotong alun-alun kota. Kendati tidak kami kenal, terpancar sorot mata tulus dan turut mendoakan agar kami beroleh perlindungan Allah SWT. Hanya jamaah laki-laki yang mengikuti acara seremonial. Sedangkan jamaah wanita menunggu di bus yang siap berangkat ke asrama haji Bekasi.

Usai acara pelepasan oleh Bupati, jamaah kembali bergabung. Saat mobil mulai bergerak, lambaian masyarakat Sumedang menghantar kepergian kami. Kupegang erat-erat tangan suamiku sambil menahan tangis. Suamiku balas menggenggam dengan kencang. Kami menyatukan perasaan dalam genggaman yang erat, seakan menularkan kekuatan di hati masing- masing dan menumbuhkan keyakinan di diri, bahwa inilah jalan yang akan ditempuh, insyaallah semuanya akan baik-baik saja.

Haji 2006 - Kesabaran Mulai Diuji, Kloter 70 Delay

Jam 14.00 WIB, bus sampai di Asrama haji Bekasi. Mobil berpapasan dengan bus jemaah yang hendak menuju bandara internasional Soekarno Hatta, kami saling melambai mengucapkan selamat jalan.

Di Asrama Bekasi rombongan bergabung dengan jamaah dari Bandung dalam kloter ke 70. Perkenalan dilaksanakan dengan Ketua Kloter, dokter dan para medis yang menyertai perjalanan ibadah kami.

Dalam pemeriksaan dokumen, setiap jamaah diberi gelang perak yang mengukir nama dan nomor paspor masing-masing sebagai bukti identitas. Rampung pemeriksaan, jamaah diberi kunci dan dipersilahkan menuju kamar untuk berisitirahat sambil menunggu keberangkatan ke bandara Soekarno Hatta jam 24.00 WIB.

Keinginan mencari tahu kabar anak-anak mendorong keberanian untuk memijit nomor telepon rumah. Awalnya kusangka si kecil yang paling bersedih, ternyata si sulung yang paling jelas terdengar agak down. Suara sedih segera berganti ceria. Alhamdullilah... mereka ikhlas melepas ayah bundanya. Percakapan yang dibayangkan menguras air mata, malahan diisi menjadi canda tawa. Dari cerita mamah, saat mendapati kedua orang tuanya sudah tak ada, Asya menangis meraung-raung membaca diary yang kutinggalkan, sementara Diaz memilih bergelung di bawah selimut menyembunyikan tangisnya sambil mendengarkan suara ayahnya dari handphone. Setelah itu berdua mereka mengambil air wudhu, kemudian shalat, selanjtnya melakukan aktivitas rutin untuk berangkat sekolah. Hati menjadi lebih kuat. Puji syukur bagi Allah yang telah mengamanahkan kami anak-anak yang tegar.

Yakin keadaan anak-anak, hati terasa lebih tentram. Kelelahan berbaur rasa lega membuat mata mampu terpejam selama 2 jam. Saat bangun badan lebih segar. Shalat magrib berjamaah diteruskan dengan makan malam. Ketua Kloter memberikan pengarahan dan meminta seluruh rombongan untuk bersiap-siap menuju bandara. Beberapa hal yang penting diingatkan untuk dimasukkan ke tas tentengan, terutama baju dan kain ihram. Pukul 24.00 WIB kami sudah siap-siap diatas bus menuju bandara Soekarno Hatta. Dijadwalkan pesawat Saudi Arabia Airlines akan membawa kami ke jeddah pada tanggal 21 Desember jam 06.00 WIB.

Bus keluar dari halaman asrama haji ditingkahi raungan sirine dari mobil Satwal polisi memecah keheningan malam. Melewati jalan Gatot Subroto, teringat kantor tempatku bekerja. Namun segera kutepiskan segala masalah pekerjaan diganti dengan tekad melupakan segala bentuk urusan dunia dan berniat khusu menunaikan ibadah haji.

Tiba di Bandara, sebuah bus berdiri di luar terminal haji. Dari jauh kulihat Bus “Medal Sekarwangi”. Jelas mobil tersebut mengangkut pengantar dari Sumedang. Dari luar pagar mereka berteriak bercampur tangis, memanggil-manggil nama kerabat yang dikenalnya. Samar dalam setiap teriakannya ada doa buat kami yang hendak menunaikan ibadah haji.

Setelah melewati pemeriksaan imigrasi, kami ditampung di aula terminal haji. Jamaah kloter 69 tengah bersiap-siap menuju pesawat. Dalam suasana berkumpul sepagi ini, tempat yang paling dicari adalah toilet. Keikhlasan mulai diuji, dalam antrian panjang semua tertib menunggu giliran, tidak berebut apalagi saling mendahului. Sambil menunggu aku berdoa semoga tidak direpotkan dengan kebiasaan buang air yang harus diselesaikan dalam hitungan detik. Alhamdullilah, aku bisa berdiri tenang menunggu giliran antrian yang cukup panjang. Sebuah karunia yang tampaknya kecil namun sangat bermanfaat.

6 jam menunggu membuat kami memiliki waktu untuk berisitirahat. Lantai yang dilapisi karpet cukup nyaman untuk membaringkan badan atau sekedar meluruskan kaki. Jamaah berkumpul di kelompoknya masing-masing. Scraft warna hijau untuk perempuan dan pasmina warna coklat bagi laki-laki, cukuplah jadi penunjuk bahwa anggota Asy Syifa wal Mahmudyah.

Aula yang beratap tinggi dan dilengkapi AC membuat kami cukup kedinginan melewati dini hari sampai menjelang pagi. Mengatasi usus yang mengkerut, camilan dan minuman hangat cukup menyamankan. Bagi yang tertarik untuk makan berat, tersedia soto ayam di kantin di salah satu pojok aula. Aku membelinya 2 mangkok, satu untuk kami berdua, semangkok aku antar ke Pak Kiai. Alhamdullilah...nikmatnya walaupun kuah yang tersaji tidak seharum soto ayam yang biasa kubuat dan potongan ayam lebih mirip remah-remah.

Jam 4.00 WIB jamaah digiring memasuki pesawat berjenis boeing. Tempat duduknya bertingkat dua. Tingkat atas buat jemaah dari Bandung, yang dari Sumedang menempati lantai dasar pesawat. Hiruk pikukpun dimulai karena banyaknya jamaah yang belum pernah naik pesawat. Jamaah diingatkan untuk berjalan tertib memegang ticketnya masing-masing, menyusuri koridor pesawat dan mencari nomor kursi sesuai tempat duduknya.

Sampai di kursi masing-masing, kehebohan belum berakhir. Kesulitan terjadi pada saat menyimpan barang di kabin, mengatur kursi atau memasang safety belt. Melihat jamaahnya kerepotan, Pak Kiai ikut turun tangan. Bagi jamaah yang terpisah kursi dengan suaminya, diatur untuk duduk berdampingan. Sebuah keputusan yang bijak karena perjalanan 9 jam akan lebih nyaman ditempuh bersama dengan pasangannya masing-masing. Bagi yang tadinya ’keukeuh’ di kursinya, ketika pak Kyai menyuruh pindah, tanpa argumentasi mereka ngeloyor menuju tempat duduk baru yang sudah diatur.

Pesawat mulai menyalakan mesin. Gemuruhnya sama dengan gemuruh yang ada di hati kami. Sebagian penumpang sudah ada yang tertidur. Kelelahan terbayar oleh empuknya kursi, membuat kantuk datang menyerang. Awak kabin sudah mulai memperagakan tatacara penanggulangan keselamatan penumpang.


Pesawat mulai bergerak menyusuri landasan pacu. 5 menit, 10 menit sampai 15 menit pesawat masih ada di landasan, posisi take off pun tidak. Tiba-tiba pesawat berhenti. Seorang awak kabin menyampaikan permohonan maaf dan meminta penumpang untuk turun karena pesawat mengalami kerusakan mesin. Penumpang menjadi panik dan bertanya apakah gerangan yang terjadi. Beberapa jamaah yang tertidur menyangka pesawat sudah sampai di Jeddah. Kehebohan berulang kembali. Jamaah yang masih muda, dengan sigap membantu jamaah yang sudah berumur dan kesulitan meraih tas di atas kabin yang terletak di atas kepalanya.

400 an jemaah haji kembali beriringan menuju aula bandara. Kami kembali ke tempat yang sebelumnya menampung kami selama 6 jam. Ketua kloter sibuk mencari informasi. Jamaah menunggu dengan kelompoknya masing-masing. Berita yang diperoleh, pesawat tidak bisa diberangkatkan karena kerusakan mesin. Dari Jeddah akan dikirim pesawat Saudi Arabia Airlines. Artinya, kami harus menunggu pesawatpengganti datang sekurang-kurangnya sekitar 12 jam. Padahal beberapa jamaah laki-laki dari KBIH lain sudah memakai ihrom.

Haji 2006 - Diliput Media

Dalam kesimpangsiuran informasi, pihak pemerintah menyediakan bus untuk membawa jamaah ke asrama haji Pondok Gede. Pemberangkatan kloter 70 diperkirakan mengalami penundaan selama 18 jam.

Hasil rembukan para Ketua Rombongan, jamaah tetap bertahan di aula bandara. Bagiku tinggal di ruangan ini jauh lebih baik daripada harus bolak-balik ke asrama Pondok Gede, kubayangkan macet dan repotnya menenteng bawaan.

Tiba waktu Dzuhur kembali shalat berjamaah. Beberapa orang dari KBIH lain bergabung menjadi makmun. Usai shalat Pak Kiai tidak beranjak dan mulai memberikan tausyiah yang diakhiri dengan membaca shalawat.

Penundaan pemberangkatan kloter 70 mulai tercium media. Saat tengah berdoa, beberapa kamera TV mengarah ke kami. Bisa jadi karena sungkan, crew media tidak terlalu dekat merekam aktivitas kami. Belakangan setelah kepulangan dari tanah suci, anak-anak sempat menyaksikan nasib jamaah kloter 70 dan menyaksikan kami yang tengah berdoa bersama.

Penundaan tersebut tidak menjadikan berkecil hati, justru disyukuri karena diketahui sebelum pesawat tinggal landas. Tak dapat dibayangkan apa yang terjadi kalau kerusakan terjadi saat pesawat mengudara.

Kami ikhlas menanti sekian lama melawan rasa bosan dan menahan setiap keluh kesah apalagi harus menyalahkan pihak-pihak yang seyogianya patut untuk disalahkan. Kami terus berdoa dan baru beristirahat pada saat kiriman makanan datang


Tiba-tiba hp suamiku berdering. Ternyata yang menghubungi saudaraku yang bekerja di stasiun TV swasta nasional. Mengetahui kami berada di kloter yang mengalami penundaan, saudaraku menanyakan keadaan sekaligus mengutarakan maksud untuk mewawancara Pak Kiai. Sayangnya, semua sedang khusu berdoa. Dengan informasi seadanya akhirnya suamiku yang memberikan gambaran singkat mengenai apa yang terjadi.

Tak terasa jam menunjukkan pukul 23.00. Kami mulai berbaris kembali menuju pesawat. Pesawat boleh beda, tapi awak kabinnya masih tetap sama. Ternyata merekapun sama seperti kami harus turut menunggu pesawat dari dari Jeddah.

Alhamdullilah untuk naik yang kedua kalinya, jamaah relatif lebih tertib. Mereka duduk di kursi dengan posisi dan nomor yang sama pada pesawat sebelumnya. Pak Kiai tidak sesibuk sebagaimana keberangkatan yang pertama. Jemaah sudah cukup pintar dan ”berpengalaman”.

Tanpa kendala yang berarti, pesawat tinggal landas dengan selamat dari bandara Soekarno Hatta, meninggalkan tanah air tercinta dan orang-orang yang kami sayangi. “ Ya Allah yang telah menggerakkan kendaraan ini, padahal kami tidak kuasa menggerakannya. Ya Allah kami memohon kepadaMu dalam perjalanan kami ini kebaikan dan taqwa serta amal perbuatan yang Kau ridhai. Ya Allah mudahkanlah perjalanan kami ini dan dekatkan jauhnya. Ya Allah Engkau yang menyertai perjalanan dan melindungi keluarga yang ditinggalkan. Ya Allah kami berlindung padamu dari kesukaran dalam bepergian, penampilan yang buruk, kepulangan yang menyusahkan, dalam hubungan dengan harta benda, keluarga dan anak. Perkenankanlah doa dan permohonan kami Ya Allah...”

Labbaika Allahumma Hajjan...


Pesawat mulai bergerak meninggalkan landasan. Sepintas kulirik jam di pergelangan tanganku, waktu menunjukkan jam 24.00. Perjalanan Jakarta menuju Jeddah ditempuh dalam kurun waktu 9 jam. Berarti tiba di Bandara King Abdul Azis sekitar pukul 9.00 WIB atau jam 04.00 waktu Jeddah.

Pesawat melaju tak terasa, padahal dari screen besar di depan kursi penumpang terpampang kecepatannya 1000 km/jam. Satu-satunya pertanda sedang mengudara adalah gemuruh dengungannya. Keberadaan pesawat di atas satu negara ke negara lainnya dapat diikuti dari anak panah yang bergerak perlahan di atas sebuah peta. Setiap beberapa menit mataku melirik screen untuk mengetahui lokasinya.

Selama penerbangan, banyak jemaah yang memilih tidur untuk memulihkan tenaga setelah 24 jam tertahan di Bandara Soekarno Hatta. Aku belum bisa memejamkan mata. Pikiran senantiasa tertambat pada anak-anak di rumah. Tiba-tiba rindu menyergap dada. Mataku kembali berkabut, perasaanku sukar digambarkan karena seperti dihadapkan pada bayangan perjalanan yang masih penuh tanda tanya.

Dalam kelelahan mengikuti angan-angan, pikiran kukembalikan pada kepasrahan untuk menyerahkan segalanya kepada yang kuasa. “Ya Allah lindungi kami, dan lindungi anak-anak dan bapak ibu kami serta semua orang yang mencintai dan mendoakan kami, semoga Engkau memberikan keberkahan, kemudahan dan keselamatan”, doa ini terus kupanjatkan.

Pemandangan di luar gelap gulita. Dalam keheningan, aku melirik sekeliling, kebanyakan sudah tertidur lelap. Kurogoh tas mencoba mencari sesuatu yang mungkin mampu memancing kantukku. Cuma ada HP dan beberapa kartu identitas. Dalam keadaan offline aku masih bisa membaca memory. Iseng kubuka sms yang belum sempat aku baca. Yang paling banyak dari Asya dan Diaz, kemudian dari kakak/adikku, ada juga dari atasanku, beberapa dari teman sekantor dan kawan-kawan alumni Fikom Unpad. Isinya mendoakan agar kami diberikan kemudahan dan keridhoan serta beroleh haji yang mabrur. Ucapan-ucapan tersebut terekam dengan baik di pikiran. Aku bertekad, mereka yang dengan ikhlas mendoakan kami akan menjadi salah satu yang akan kami doakan di tanah suci.

Bosan itu, kembali aku baca doa dari buku bersampul merah marun yang sempat dihadiahkan Ade, sahabatku. Lelah mata menyusuri tulisan-tulisan tersebut, aku menggantinya dengan dzikir melafadzkan asma Allah. Begitu juga halnya dengan suamiku yang tak lepas menggenggam tasbih dan al Qur’an kecil.
Semakin lama ruang pesawat semakin temaram. Hanya beberapa kursi yang masih menyalakan lampu baca. Aku menarik satu selimut berbahan planel yang tersedia di kantung kursi pesawat. Seluruh kaki kubungkus dengan kain berwarna biru itu. Lumayan... terasa lebih hangat. Melihat nyamannya bergelung dibungkus selimut, suamiku melakukan hal yang sama.

Rasa dingin yang makin menyeruak terusir minuman hangat yang ditawarkan pramugari. Ada beberapa yang susah senyum, bisa jadi mereka juga kecapaian menunggu seperti kami. Namun ada juga yang selalu mengumbar senyum, menampakkan ketulusannya dalam melayani jamaah yang kebanyakan baru pertama kali naik pesawat.

Entah berapa lama tertidur, tiba-tiba terdengar suara merdu announcer yang mengingatkan penumpang untuk kembali ke tempat duduk dan mengenakan safety belt. Rupanya pesawat siap melakukan pendaratan. Beberapa jamaah membangunkan jamaah yang masih tertidur. Suara Pak Kiai kembali terdengar mengingatkan untuk selalu berdoa memohon keselamatan. Suasana menjadi hening. Dengung pesawat tidak mampu mengalahan gemuruh di hati kami. Pesawat mengambil posisi landing dan mulai menurunkan ketinggian. Kerlap kerlip lampu di seputar bandara menjadi pemandangan yang sangat menarik. Saking takjubnya, beberapa jamaah yang duduk disamping jendela ada yang memutar tubuh agar dapat mengintip suasana bandara pada dini hari. mereka melupakan perut yang sakit tergulung safety belt.

Pesawat menurun perlahan, bunyi roda keluar dari badan pesawat sempat terdengar di telingaku. Dengan satu goncangan halus, pesawat mendarat di negeri yang menjadi impian setiap kaum muslimin. Saat pesawat mulai menurunkan kecepatan, perasaan tambah berkecamuk, haru dan bahagia membuncah di dada. Alhamdullilah ya Allah…
Awak Saudi Arabia Airlines berjajar mengucapkan salam dan mengantar jamaah dari sebelah dalam pintu. Angin dingin menerpa wajah ketika keluar dari pesawat. Rombongan perlahan menuruni tangga pesawat. Tak nampak sisa kelelahan tampak dari wajah para jamaah. Yang terlihat binar-binar kebahagiaan sampai selamat di tanah penuh barokah ini.

”Ya Allah, hamba mohon kepadaMu kebaikan negeri ini dan kebaikan penduduknya serta kebaikan yang ada di dalamnya. Dan aku berlindung kepadaMu dari kejahatan negeri ini dan kejahatan penduduknya serta kejahatan yang ada di dalamnya”.
Seorang petugas bandara menyambut di landasan dan mengarahkan kami menuju shuttle bus. Sadar ada di negeri orang, setiap calon jamaah berkelompok dan memilih berjejal-jejalan dalam satu bus asal satu kelompok. Bus bergerak perlahan menuju terminal penumpang.

Bandara King Abdul Azis sepertinya tak pernah tidur selama musim haji. Petugas bandara 24 jam beroperasi untuk melayani transit jamaah yang datang dari berbagai belahan dunia. Sesuai perkiraan, menjelang subuh rombongan sampai di lobby pemeriksaan imigrasi. Kami tidak langsung dilayani. Petugas masih memeriksa jamaah dari negara lain. Selama menunggu giliran, kami duduk di kursi kayu panjang. Cukup nyaman untuk meluruskan kaki dan melemaskan pinggang yang kaku.

Suasana antar bangsa mulai terasa. Di pojokan ada sekelompok rombongan berkulit hitam tengah berbincang dengan suara berbisik. Sementara di sudut lain, tampak rombongan kakek dan nenek, mereka sudah berumur tapi kelihatan sehat dan bersemangat. Seragam warna khaki membuat gampang menebak bahwa mereka rombongan jamaah dari Turki. Subhanallah...dalam keragaman budaya dan ras, kami dipersatukan oleh niat yang sama menjejakan kaki di tanah harramMu, semata-mata hanya untuk beribadah dan menganggungkan asmaMu Ya Allah...

Sebagian jemaah mulai antri ke toilet mengambil wudhu. Shalat subuh segera tiba. Di tengah kerumunan, Jamaah bergantian melaksanakan shalat secara berjamaah.
Pemeriksaan memakan waktu sekitar 2 jam. Dapat dimaklumi, pemeriksaan imigrasi tak bisa dilakukan secara kolektif. Kelengkapan dokumen jamaah seperti paspor dan identitas lainnya diperiksa satu persatu dibantu oleh petugas imigrasi Indonesia.
Petugas bandara rata-rata masih muda. Mayoritas berwajah negara teluk, namun ada juga terselip wajah-wajah India. Mereka menyapa ramah dengan menggunakan bahasa Indonesia yang terpatah-patah.

Kami berbaris dalam antrian panjang dengan berbagai tentengan di tangan. Tiba di meja pemeriksaan, petugas mengambil paspor, menatap fotoku kemudian selintas melirik wajahku. Barangkali sedang menyamakan foto dengan wajah yang berdiri di hadapannya. Tanpa bersuara, paspor tersebut di cap sebagai legalisasi. Sambil menunggu aku merogoh segenggam permen yang memang sudah dipersiapkan sejak di tanah air.
”Do you like candy ? ”

Mata petugas itu langsung bersinar. ”Oh yes, I like it”, timpalnya.
Setumpuk kecil permen kusimpan di meja pemeriksaan. Dengan antusias petugas tersebut meraupnya. Dalam sekejap permen beraneka rasa tersebut berpindah ke dalam genggamannya.
”Sukron Siti Rahmah...terima kasih”, ujarnya berulang-ulang. Aku membalasnya dengan senyum kecil.

Hari sudah mulai terang saat jamaah terakhir ke luar dari meja imigrasi. Kami digiring sekitar 300 meter menuju areal terbuka. Rupanya tempat penampungan sementara sebelum diberangkatkan ke Makkah atau Madinah.

Matahari pagi membuat area ini bersimbah cahaya dan menampakan keunikan artistekturnya. Atapnya berbentuk kerucut mirip tenda. Ujung atas tenda dilengkapi beberapa lubang sebagai tempat masuknya udara dari blower pendingin. Tinggi atap sekitar 30-an meter. Satu atap dengan atap lainnya saling berangkaian, sehingga mirip arena perkemahan masal. Tiang-tiang kokoh berdiri meyangga atap berbahan fiberglass menaungi aktivitas awal para jemaah. AC central dipasang di tiap sudut.
Alhamdullilah... Suhu di jajirah Arab sepertinya berkah dari Allah SWT, seterik apapun panas yang menyengat, kami tidak merasa kepanasan dan kegerahan. Tak ada mandi keringat. Cukup kepala dibalut kain, badan akan terasa sejuk.

Masalah fasilitas jangan ditanya. Pemerintah Arab Saudi menyediakan berbagai kebutuhan para jamaah. Kendati bandara ini dipenuhi jutaan manusia silih berganti, kedatangan para jamaah tersebut dapat diatur dengan baik dan ditempatkan dengan tertib sesuai dengan negara asalnya masing-masing.

Iring-iringan rombongan kami menepi menuju sebuah sudut yang ada plang kecil bertuliskan Indonesia. Tengah beristirahat, tiba-tiba kiriman makan siang datang.. Inilah makanan pertama kami di negara ini. Menunya cukup lengkap ; semur daging/ayam, sejumput sayuran dan beberapa goreng kerupuk udang dan buah jeruk atau pisang. Beberapa orang langsung menyantapnya seraya mengambil tempat duduk di lantai. Aku hanya menyimpannya. Selera makan belum tumbuh. Selama di pesawat aku lebih banyak begadang dan menikmati cemilan dan kenyangnya masih terasa.
Usai bebenah, seluruh jamaah diminta untuk segera bersuci. Kami mulai memenuhi kamar mandi yang tersebar di seputar ruang tunggu. Demi keamanan, jamaah perempuan diharuskan pergi bersama-sama, sekurang-kurangnya 2 orang, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Guyuran air yang jernih dan sejuk, menyegarkan badan dan menghilangkan penat perjalanan selama 9 jam. Sudah 2 hari sejak badan belum terguyur air secara penuh. Melihat gelontoran air, kubasuh badan badan mulai ujung rambut sampai ujung kaki. Mandi kali ini harus benar-benar bersih karena inilah mandi wajib menjelang ihram.
Usai mandi, aku keluarkan seperangkat baju ihram baru. Baju ihram yaitu pakaian yang menutup semua badan kecuali muka dan dua tapak tangan. Pergelangan tangan hendaklah terbuka sebagaimana dalam sembahyang. Baju ihram perempuan tidak jauh berbeda dengan pakaian muslim yang sehari-hari kita kenakan. Berbeda dengan kain ihram laki-laki yang berupa dua helai kain lepas (tidak berjahit), sehelai dipakai untuk menutupkan auratnya yaitu di antara pusat dan lutut, sehelai lagi dibuat selendang yang biasanya menutupi dada dan leher. Disunatkan berwarna putih dua kain tanpa jahitan yang menutup bagian bawah badan dan bagian atas.

Setelah semua melakukan mandi wajib, Pak Kiai mengumpulkan kami dan menanyakan kesiapan melaksanakan ibadah haji. Kami diberi pilihan untuk haji Ifrad dan haji Tamatu. Bagi yang sudah tua dapat mengikuti haji tamatu karena lebih praktis dan tidak memakan waktu. Namun semua rombongan menyatakan berniat untuk haji ifrod. Maka kami mulai mengucapkan niat bersama-sama. Berarti sampai thahalul awal kami harus tetap berihram dan menjaga larangan ihram.

Setelah beres melafalkan niat, jamaah langsung diurus petugas haji. Tampaknya mereka mahasiswa atau warga Indonesia yang sudah mukim disana. Hal itu tampak dari dialek jawa yang akrab di telinga kami, tapi juga fasih ketika berdialog dengan petugas-petugas bangsa Arab yang sesekali mengawasi dengan mata tajam tanpa senyum keramahan. Jamaah dibawa oleh seorang pemandu sesuai nomor rombongannya. Setelah memastikan jumlahnya lengkap, mereka mengantar ke atas bus menuju Makkah. Suami istri duduk terpisah. Pemisahan dilakukan karena kami sudah memakai ihram. Laki-laki duduk di bagian depan bis, sementara perempuan menempati bagian tengah dan belakang. Aku berusaha untuk mengingat larangan ihram sebagaimana yang pernah diajarkan di manasik ; tidak boleh memotong dan mencabut rambut, memotong kuku, menggaruk sampai kulit terkelupas atau mengeluarkan darah, tidak menggunakan parfum termasuk yang ada pada sabun, tidak boleh bertengkar, tidak boleh bermesraan, tidak boleh berhubungan suami isteri, tidak boleh berkata yang tidak senonoh, tidak boleh menikah atau menikahkan, tidak boleh berburu atau membantu berburu, tidak boleh membunuh binatang (kecuali mengancam jiwa) dan memotong atau mencabut tumbuhan dan segala hal yang mengganggu kehidupan mahluk, tidak boleh ber make-up, untuk pria tidak boleh memakai penutup kepala, memakai pakaian berjahit dan tidak boleh memakai alas kaki yang menutup mata kaki. Sedangkan wanita tidak boleh : menutup wajah dan memakai sarung tangan sehingga menutup telapak tangan.

Mulut kami tak henti mengucap talbiyah. Laki-laki diperbolehkan mengucapkannya dengan suara keras, sementara yang perempuan cukup melafadzkannya dengan perlahan atau di dalam hati saja.

”Labbaika Allaahumma labbaika, labbaika laa syariika laka labbaika, innal hamda wan ni'mata laka wal mulka laa syariika laka” (Kusambut panggilan-Mu, Ya Alloh, kusambut panggilan-Mu, Kusambut panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, Kusambut panggilan-Mu, sesungguhnya segala puji, karunia, dan kekuasaan hanyalah milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu).

Talbiyah merupakan bentuk pengikraran iman dan tauhid karena talbiyah adalah pengakuan yang sebenar-benarnya tentang keesaan dan kekuasaan Allah. Talbiyah juga merupakan puja-puji bagi Allah SWT yang maha rahman dan maha rahim. Talbiyah yang dikumandangkan jemaah haji laki-laki, sama menggeloranya dengan talbiyah perempuan yang diucapkan dengan perlahan. Yang mempersamakan adalah semangatnya untuk memenuhi panggilan Allah SWT guna melaksanakan ibadah haji. Semoga Allah menerima pengakuan dan kesungguhan kami…

Haji 2006 - Mekkah,Kota Yang Berlimpah Berkah…

Bus yang membawa kami dari bandara King Abdul Azis berjejer rapi. Kuli-kuli berbadan tegap sigap mengangkat kopor-kopor jamaah yang menggelembung. Dengan sekali angkat, kopor-kopor tersebut tersusun rapi di bagasi bus. Seorang petugas mengumpulkan paspor kami dalam satu tempat. Dengan diawali ucapan basmallah bus bergerak menuju Makkah Al Mukarommah. Sepanjang jalan kami melafadzkan talbiyah secara bersama-sama.
Beberapa kali bus harus melewati penjagaan. Petugas yang tadi mengumpulkan paspor turun dan menunjukkan identitas seluruh rombongan kepada penjaga. Kami menunggu di mobil sampai pemeriksaan selesai dan melanjutkan perjalanan.

Bus kembali berhenti di tempat mirip pom bensin. Seorang pemuda berkulit hitam naik dari pintu depan, menyampaikan salam dan mengucapkan beberapa patah kata Arab yang sulit dipahami. Dari senyum yang memamerkan sederet gigi putihnya, kelihatannya ingin menunjukkan keramahannya. Selanjutnya ia menghitung jumlah penumpang bus. Satu pemuda lagi menyusul dengan membawa dus-dus besar. Keduanya membuka dus dan membagikan satu dus snack dan sebotol air zamzam kepada jamaah. Isi dus snack lumayan berjejal; roti, crackers, sebungkus kacang dan dodol kurma. Seperti juga yang lainnya, aku segera mencicipi dodol kurma, rasanya legit dan manis. Rada asing sih tapi cukup nikmat di lidah. Kelak...dengan makanan ini kami terhindar dalam kelaparan di Muzdalifah.



Bus menyusuri jalan yang lengang. Terik matahari membakar jalanan. Badan bus yang tinggi dan dilengkapi AC membuat kami tetap merasa sejuk. Bus terus melintas melewati bukit-bukit batu. Sesekali di balik batu menyembul segerombolan ternak. Allah SWT kembali menunjukkan kebesaranNya, dalam gurun pasir yang serba gersang, ternak tersebut tampak terurus dan gemuk-gemuk. Gembalanya bukan anak kurus bertopi caping dan duduk mencangkung di atas ternaknya, yang ada seorang lelaki tegap sibuk menghalau ternak dalam sebuah mobil mewah bermerk Cherokee atau Land Cruiser.

Dalam hitungan satu Jam bus sampai di areal yang kembali menampakan rumah-rumah kotak khas Arab dengan tempelan pembuangan air AC. Aku mengedarkan pandangan mencari rumah yang bentuknya beda. Ternyata tidak kutemukan rumah bergaya spanyol yang berhiaskan pilar-pilar besar, apalagi rumah bergaya country yang terbuat dari kayu lengkap dengan gemericik air disela-sela tumbuhan.

Kota Makkah berada 300 m dari permukaan laut. Letaknya di bagian Barat Kerajaan Arab Saudi di tanah Hijaz. Pusat kota Makkah dikelilingi oleh gunung-gunung terutama di sekitar masjidil Harram. Dataran rendah di sekitar ka’bah disebut Batha. Sebelah Timur terdapat perkampungan Ma’la, tempat dimana Rasullulah lahir dan menetap sampai beliau hijrah ke Madinah. Di Barat Daya masjid terdapat daerah yang bernama Misfalaah.



Bus tiba di persimpangan, tampak papan penunjuk jalan membelah jalan. Penunjuk tersebut bertuliskan Arab dan berbahasa Inggris. Papan tersebut merupakan penunjuk batas wilayah suci. Sekitar Masjid Harram dan teritory sekitar Makkah memang dikenal sebagai daerah terlarang untuk orang Non-Muslim. Batasannya, sebelah utara Masjid Harram sekitar 7 km, selatan sekitar 13 km dan arah barat sekitar 21 km. Sampai tahun 8H non Muslim masih boleh memasuki Makkah, setelah turun Surat At-Taubah ayat 28 kota ini terlarang untuk Non Muslim.

Memasuki kota Makkah, Ketua Rombongan mulai membimbing doa dan mengumandangkan talbiyah kembali. Hati semakin bergemuruh, dada terasa disesaki keharuan. Aura keutamaan kota Makkah terasa menjalar ke sekujur tubuh. Sambil memandang takjub ke sekeliling, tak henti hati mengucap doa “Ya Allah SWT, kota ini adalah tanah harramMu dan tempat yang aman. Maka hindarkan daging, darah, rambut, bulu dan kulitku dari neraka. Amankanlah aku dari siksaMu pada hari Engkau membangkitkan kembali hamba-hambaMu. Masukanlah aku ke dalam golongan auliaMu dan ahli tha’at padaMu”.

Tak terasa linangan air mata, mengalir perlahan wujud keharuan yang bercampur dengan rasa syukur karena sampai di tanah yang paling dirahmati Allah SWT dan dicintai oleh junjunan kita Nabi Muhammad SAW.

Sejarah Makkah bermula ketika Nabi Ibrahim AS. menerima perintah dari Allah SWT supaya meninggalkan anaknya Nabi Ismail AS. dan isterinya Siti Hajar di sebuah gurun yang kering kontang. Selepas Nabi Ibrahim AS meninggalkan isteri dan anaknya beliau kembali ke tempat asalnya.


Di Makkah jugalah Nabi Muhammad SAW dilahirkan dan pertama kalinya menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk sekitarnya. Namun penduduk Makkah banyak yang menentang, atas perintah Allah SWT maka Rasulullah SAW hijrah ke Madinah pada 622 M. Kendati demikian Makkah tetap menjadi kota yang dicintai Nabi. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Adi bin Al Hamra, beliau mendengar Rasullulah SAW yang sedang berada di untanya di Hazwarah yaitu pasar yang tempatnya tepat berada di halaman rumah Ummu Hani yang kemudian masuk dalam kawasan masjidi Harram : “Demi Allah SWT, sesungguhnya engkau (Makkah) adalah bumi Allah SWT yang paling baik dan tanah yang paling dicintai Allah SWT. Andaikan aku tidak diusir darimu, niscaya aku tidak akan meninggalkannmu”.


Sampai sekarang, takala Nabi sudah ribuan tahun meninggal dunia, kecintaan kaum muslimin terhadap Makkah tidak berkurang. Talbiyah, takbir dan tahmid sebagai bukti kecintaan muslimin kepada Allah SWT senantiasa bergema selama 24 jam. Kota ini menjadi pusat dimana 5 milyar muslimin, minimal 5 kali sehari, bersujud menghadap Allah dan mengakui keesaanNya dan mengakui RasulNya. Subhanallah....

Haji 2006 - Jarwal 21 Menjadi Rumah Kedua....


Pemerintah Saudi tampaknya terus berupaya untuk memberikan fasilitas yang memadai buat tamu-tamu Allah SWT. Bukit-bukit batu yang memagar Makkah dikeruk diubah menjadi terowongan yang menghubungkan jalan yang satu dengan jalan yang lainnya. Makkah sudah mulai hijau, pohon-pohonan menghias halaman-halaman gedung pemerintah dan jalan protokol.

Bus langsung menuju Maktab 21 di Jarwal, tempat jamaah kloter 70 bermukim selama 1 bulan. Lokasinya berjarak 1 km dari masjid Harram ke arah utara. Pemilik bangunan keturunan Pakistan. Tempat tersebut merupakan bangunan tua bertingkat 8. Semua serba sederhana namun cukup bersih sebagai sebuah hunian sementara. Jamaah Asy Syifaa wal Mahmudyah menempati lantai 6 dan lantai 7. Lantai 6 untuk perempuan dan lantai 7 ditempati laki-laki.

Seluruh paspor dipegang muasasah. Sebagai gantinya adalah kartu identitas yang harus selalu dibawa ketika bepergian ke luar maktab. Tulisannya arab gundul sehingga sulit memahami apa yang tertera di atasnya. Dari fungsinya kutebak pasti memuat lokasi dan nomor maktab. Bila disematkan dibaju dengan menggunakan peniti jadi seperti panitia seminar.

Maklum gedung tua, lift lambat dan kapasitasnya hanya 8 orang. Untuk menggunakannya harus menunggu giliran. Beberapa jamaah yang menempati lantai 1,2 atau 3 banyak memilih menaiki tangga darurat. Begitu lift mulai kosong, aku mengambil giliran. Beberapa ibu tua memegang tanganku dengan kencang, beberapa malah istighfar, maklum lift merupakan barang langka dan belum familiar. Aku mengajari mereka cara menggunakan tombol-tombolnya agar mandiri ketika harus naik turun gedung sendiri.

Tiba di lantai 6, koridor penuh dengan jamaah yang direpotkan oleh tentengan tas. Seluruh kunci kamar masih dipegang Pak Kiai. Setiap jamaah sudah berdiri di hadapan kamar yang diincarnya. Aku menandai kamar di pojok kanan bersama 3 saudara dari Sumedang : Bi Nunung, Teh Teti dan Nina. Maklum sejak awal kami bersepakat untuk tidur sekamar. Kami memilih kamar yang bertuliskan 4 orang.
Begitu pintu kamar terbuka agak tercium bau apek. Bisa jadi kamar ini hanya berpenghuni pada musim haji. Artinya, dalam setahun hanya 1 bulan berpenghuni. Sebuah kamar berukuran sekitar 3,5 x 3,5 m. Ada 3 tempat tidur single yang berjejer rapi dan 1 lagi diletakan melintang di bagian kaki 3 tempat tidur tadi.
Aku edarkan pandangan melihat sudut-sudut kamar. Kendati yang terakhir dibuka, kamar ini lumayan paling nyaman. View nya menghadap ke jalan. Dari jendela kecil terlihat iringan jamaah yang menyemut hilir mudik menjadi pemandangan yang menarik.

Di pojok kiri tampak pintu kamar mandi dengan ubin putih kusam kekuning-kuningan. Aku melongok kedalamnya, cukup bersih kendati sudah tidak ketahuan lagi warna asli interiornya. Satu AC split terpasang di dekat pintu masuk. Sebuah kipas angin tergantung di langit-langit. Aku cek satu demi satu, suara AC mendengung ketika ditekan tombol on. Begitu juga dengan kipas angin suaranya berkelepak memutar baling-baling. Ah...lumayan... Alat-alat itu pasti bermanfaat pada saat kepanasan. Belakangan baru ketahuan, ternyata dari 4 penghuni kamar kamar hanya aku yang tinggal di Jakarta yang membutuhkan AC, sementara saudara-saudaraku dari Sumedang lebih memilih kipas angin. Padahal kamar tersebut didisain untuk AC, satu-satunya ventilasi hanya jendela kecil. Alhasil aku sering merasa pengap, tapi memaksakan memakai AC pun kasihan yang lainnya. Namun inilah ujian untuk ikhlas karena harus lebih toleran terhadap penghuni lain.


Suamiku bergabung dengan 2 temannya menempati salah satu kamar di lantai 7. Seluruh lantai memang dihuni oleh jamaah laki-laki. Pemisahan ini akan dilakukan selama ibadah haji.

Selesai beristirahat, Ketua Regu mengingatkan kami segera membenahi barang-barang sampai tersimpan dengan aman di kamar masing-masing. Usai menyimpan barang, secara berombongan jamaah berjalan kaki menuju masjid Harram untuk melakukan thawaf qudum.
Aku memilih membereskan barang karena sedang berhalangan sehingga tidak bisa pergi ke masjid. Rasa letih yang tiba-tiba menyerang sedikit meredakan kekecewaan karena tidak dapat bersama-sama pergi melaksanakan thawaf Qudum. Seperti kata Pak Kiai, halangan yang dialami setiap perempuan pun merupakan ketentuan Allah SWT karena tubuh kita diberi kesempatan buat beristirahat. Di maktabpun dzikir dan doa dapat kita panjatkan, karena Allah SWT sangat dekat dengan mereka yang senang menyeruNya.

Masjid Dengan 100.000 pahala…

Sebelum berangkat aku sudah melakukan berbagai upaya medis untuk menunda datangnya menstrusi. Ternyata Allah SWT berkehendak lain, obat itu tak mampu menghalangi “tamu bulanan”. Kendati merupakan berkah bagi perempuan untuk beristirahat, hati tetap merasa sedih karena tidak dapat segera beribadah di masjid.

Aisyah RA pun pernah bersedih takala ibadah terhalang mens. Rasullulah suatu mendapatinya sedang menangis
”Apakah engkau sedang nifas (maksudnya sedang haid)?”
”Benar”, ujar Aisyah RA
Sabda Rasullulah : ”Itu merupakan sesuatu yang sudah ditetapkan Allah terhadap golongan putri dari anak cucu Adam. Oleh karena itu kerjakanlah apa yang menjadi kewajiban pelaksanaan haji, tetap engkau tidak boleh thawaf sebelum mandi terlebih dahulu”.

Aku dapat menerima bahwa setiap perempuan normal memang harus menstruasi dalam setiap bulannya. Aku terus memohon pada Allah agar segera ’bersih” sehingga dapat segera mensucikan diri. Dalam hamparan doaku, tiba-tiba pikiran tersentak. Rasa malu menjalar ke relung hati. Ya Allah...selama ini setiap akhir menstrusasi sering mengulur-ulur waktu untuk mandi wajib. Aku istighfar memohon ampun pada Allah SWT. ”Ya...Allah, ampunilah hambaMu yang sering lalai ini. Tolonglah hamba, betapa hamba rindu untuk beribadah di masjidmu yang agung”.

Satu dua hari menstruasi masih keluar. Kendati banyak yang berhalangan, tinggal di maktab tidak membuat gembira. Hari ketiga usai shalat dzuhur suamiku pulang dari Harram membawa sebotol kecil air zamzam ”Bunda minum air zamzam ini, insyallah nanti malam sudah bisa ke mesjid. Perbanyak isthigfar”, ujarnya.

Seperti biasanya aku meyakini setiap kata-katanya karena dalam banyak hal suamiku memiliki kepekaan dalam mempergunakan indra keenamnya. Diawali basmallah pelan kuteguk air tersebut. Sejak tiba waktu Ashar, aku bolak-balik ke kamar mandi. Ditunggu sampai Maghrib, alhamdullilah sudah bersih. Aku segera mandi wajib dengan antusias. Padahal biasanya, hari mestruasi paling cepat membutuhkan waktu 5 - 7 hari. Dengan ridha Allah, 3 hari saja sudah bersih sehingga dapat segera pergi ke masjid.

Seperti anak kecil yang kegirangan, seusai makan malam aku menunggu suami yang akan menemani thawaf qudum. Jalanan menuju mesjid, dipenuhi lautan manusia dari berbagai ras. Mayoritas berbaju ihram. Sambil berjalan tertib kami bebaur dalam lautan manusia. Mulut tak lekang mengucap talbiyah berbaur dengan ucapan serupa dari rombongan lain. Dalam keragaman bahasa dan warna, dalam perbedaan fisik dan adat istiadat, setiap jamaah menganggungkan Allah SWT dalam bahasa yang sama ”Labbaik Allahumma Labaik...”

Kontur jalan yang naik turun tidak menyurutkan antusias menuju Harram. Saking bersemangatnya kakiku sering terantuk kaki jamaah lain. Suamiku mengingatkan untuk sabar.

Subhanallah....masjid megah itu sudah ada di hadapan mata. Keagungannya ke seluruh jiwa, menyelusuri relung hati dan menimbulkan getaran yang luar biasa. ”Ya Allah engkau sumber keselamatan dan daripadamulah datangnya keselamatan dan kepadaMu kembalinya keselamatan. Maka hidupkanlah kami wahai Allah dengan selamat sejahtera. Masukanlah kami dalam surga negeri keselamatan”.
Rasa takjub yang kurasakan tidak berbeda dengan perasaan ketika pertama menginjakkan kaki di tanah kelahiran junjunan kita Nabi Muhammad SAW. “Ya Allah aku datang kembali ke baitullahMu”.

Masjid Harram tujuan utama setiap muslimin terkait dengan kemuliaan dan keutamaan yang dimilikinya. Dari Abu Dzar diriwayatkan bahwa masjid Harram merupakan masjid pertama yang dibangun di muka bumi.

Abu Dzar pernah bertanya, ”Wahai Rasulullah, masjid apakah yang dibangun pertama kali di muka bumi ini?”
Rasulullah menjawab, ”Masjidil Harram.”
Abu Dzar kembali bertanya ”Lalu masjid apa lagi?”,
Sang kekasih Allah kembali menjawab, ”Masjidil Aqsa.”
”Berapa lama antara keduanya?” timpal Abu Dzar.
”Empat puluh tahun”.

Dahulu masjid Harram tidak bertembok, tetapi dikelilingi oleh rumah-rumah penduduk. Perbaikan terus dilaksanakan oleh setiap khalifah. Luas lantai atas dan lantai bawah masing-masing 8.000 m2 dengan 90-an pintu dan sejumlah terowongan dari semua jurusan. Setiap terowongan dilengkapi toilet dan tempat berwudhu. Luas areal masjid, atap dan halaman seluas 328.000 m2 yang dapat mengakomodasikan 730.000 orang sholat.

Bangunan masjid memiliki menara setinggi 89 meter dengan desain dan material yang seragam. Setiap lantai bangunan memiliki 492 tiang yang semuanya dilapisi dengan marmer dengan tinggi 4,3 meter untuk lantai dasar dan 4,7 meter untuk lantai pertama. Dasar tiang-tiang berbentuk segi enam. Masjid Al-Harram terdiri dari 3 lantai ; lantai bawah tanah tingginya 4 meter, lantai dasar dan lantai satu masing-masing setinggi 10 meter. Pada musim haji atau bulan ramadhan jamaah memenuhi masjid sampai di tingkat paling atas.

Masjid dihiasi kubah setinggi 13 meter dengan jendela di sekelilingnya. Bentuk luar kubah-kubah ini sama dengan kubah-kubah yang telah ada.

Raja Fahd bin Abdul Aziz yang melakukan pengembangan horizontal dari lantai-lantai yang sudah ada : ruang bawah tanah, lantai dasar, lantai satu dan atap. Ruangan bawah tanah diperlengkapi dengan ventilasi udara. Sementara itu lantai dasar dan lantai satu berada di atas permukaan tanah. Ventilasi udaranya dibuat alami melalui jendela yang saling berlawanan.

Saat ini Masjid Harram memiliki pintu dengan nama tersendiri yaitu pintu Shafa, Darul Arqam, All, Abbas, Nabi, Babussalam, Bani Syaibah, Huju, Mudda'a, Ma'ala , Marwaht, Quraisy, Afqodisiyah, Oziz Thuwa, Umar Abdul Aziz, Murod, Hudaibiyah, Babussalam Jahid, Garoroh, Alfatah, Faruq Umar, Nadwah, Syamsiyah, Al-Qudus, Umrah, Madinah Munawarah, Abubakar Sidiq, Hijrah, Umi Hani, Ibrahim, Wada, Malik Abdul Aziz, Alyad, Bilal, Hunsisni, Ismail.

Untuk fasilitas jalan masuk ke lantai disediakan 7 eskalator yang tersebar di penjuru masjid. Setiap eskalator berkapasitas 15.000 orang per jam. Selain itu terdapat 8 buah tangga.

Kendati puluhan akses pintu masuk tersebar untuk jamaah masuk, pada jam-jam shalat di setiap pintu masuk tetap berdesak-desakan. Bahkan jamaah meluber sampai ke pelataran-pelatarannya. Jubelan manusia semakin terhambat oleh askar-askar yang memeriksa bawaan jamaah. Kamera, benda-benda tajam dan handphone tidak boleh dibawa masuk.

Subhanallah…ya Allah terimakasih hambaMu yang penuh dosa ini berkesempatan untuk shalat dan beribadah di masjidil Harram, masjid yang dirindukan muslim di seluruh dunia. Bagaimana tidak, banyak kemuliaan yang Allah tempatkan di masjid yang agung ini. Sebut saja Ka'bah, Maqam Ibrahim, Hijr Ismail, sumur Zamzam dan tempat Sa'i. Dengan berbagai keistimewaan itulah, Masjidil Harram memiliki tempat tersendiri di kalangan umat Muslim se-dunia. Hal ini juga ditegaskan oleh Rasulullah, yang bersabda, ''Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) ini adalah 1.000 kali lebih utama dari shalat di masjid lainnya, kecuali di Masjidil Harram. Karena shalat di Masjidil Harram lebih utama 100.000 kali daripada shalat di masjid lain”.
Sempat terbersit dalam pikiran, kalaulah Allah SWT hanya melipatgandakan pahala beribadah di tanah Harram, bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki kemampuan ekonomis untuk datang ke sini? Aku meyakini Allah SWT maha rahman maha rahiim, ibadah tidak semata-mata ditentukan oleh tempatnya namun juga diukur dari kekhusuan dan kecintaan kepadaNya. Surga hak semua mahluk, siapapun mereka, tanpa harus memupuk nilai beribu-ribu lipatan dalam ibadah, niscaya tetap memperoleh kesempatan yang sama.

”Ya Allah betapa kemurahanMu membuat kami beroleh kesempatan berlimpah rahmatMu. Ya Allah jagalah agar ibadahku di baitullahMu semata-mata karena aku mencintaimu bukan mengejar pahala yang engkau janjikan”. Aku terus beristhighfar dan memanjatkan doa, memohon perlindungan agar hati dan pikiran terjaga.

Kami mulai melangkah memasuki pelataran masjid dengan jiwa serasa melayang, tubuh rasanya menjadi meriang, perasaan berkecamuk dalam campuran rasa yang aneh. Kebahagiaan oleh rasa syukur kepada Allah SWT yang memberikan umur dan melapangkan rezeki sehingga kembali ke baitullah. Upuk mataku semakin menghangat. Tak dapat dibendung air mataku mudah sekali bercucuran.

Sesuai dengan contoh Nabi, kami masuk masjid dari pintu Babussalam yang letaknya berhadapan dengan tempat tinggal nabi. Melintasi tempat sa’i kami langsung ke tengah tempat ka’bah berada. Tak lekang mulut mengucap talbiyah dan wirid bergantian. ”Wahai dzat yang maha agung dan maha mulia, bukakanlah untukku pintu rahmat dan ampunan, serta masukan aku dalam ampunanMu”.

Bangunan hitam yang agung tertangkap mataku. Di sekelilingnya menyemut manusia yang thawaf mengagungkan asma Allah memohon keridhaanNya. “Ya Allah tambahkanlah kemuliaan, kehormatan, keagungan, kehebatan pada baitullah ini dan tambahkan pula pada orang-orang yang menganggungkannya diantara mereka yang berhaji atau yang berumrah padanya dengan kemuliaan, kehormatan dan kebaikan”.

Haji 2006 - Thawaf Qudum Dalam Dekapan Suami

Tempat thawaf merupakan area di sekitar kabah. Di areal tersebut hanya ada maqam Ibrahim. Allah berfirman : ”Dan (ingatlah) ketika kami menjadikan rumah itu (baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat”.

Thawaf merupakan salah satu ritual penting dalam ibadah haji. Thawaf adalah ibadah yang dicintai Allah : “Dan telah kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: Sucikanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan sujud.” (QS. Al Baqoroh: 121).

Kendati dilakukan dalam waktu yang tidak terikat, pelaksanaan thawaf hanya dilakukan di depan kabah (di luar Hijir Ismail) dan tidak boleh di tempat lain sekalipun di kuburan nabi Muhammad SAW. Imam An Nawawi berkata: ”Tidak diperbolehkan untuk berthawaf mengelilingi kuburan Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam”.


Thawaf dilakukan dengan tertib dan dalam keadaan suci, dari hadast besar dan kecil, serta menutup aurat selayaknya kita shalat. Dimulai dari Hajar Aswad, kemuadia melingkar berlawanan dengan arah jarum jam. Dengan demikian pada saat thawaf posisi kabah berada pada sebelah pundak kiri. Sementara pundak kanan terbuka sehingga bebas takala melakukan istilam.

Selama menjalankan ibadah haji dan umroh ada bermacam thawaf yang kami lakukan. Karena memilih haji ifrad, terlebih dahulu harus thawaf qudum (thawaf kedatangan) yaitu thawaf yang dikerjakan oleh orang baru datang dari luar tanah harram dan hendak melaksanakan haji ifrad.

Selanjutnya ada thawaf ifadah atau thawaf ziyaroh yaitu thawaf ini dikerjakan pada tanggal 10 Dzulhijjah atau sesudahnya. Thawaf ini harus dikerjakan dan merupakan tahallul tsani hagi yang berihram haji.

Kemudian adalah thawaf wada (thawaf berpamitan) yaitu thawaf ini dikerjakan saat mau berangkat meninggalkan Makkah. Thawat tersebut harus dikerjakan kecuali wanita yang sedang haid.

Ada lagi Thawaf Tathawwu atau thawaf sunat yang dapat dikerjakan setiap waktu baik siang maupun malam. Thawaf di masjid Harram memang tidak mengenal waktu. Dan dianjurkan orang mengerjakannya sebanyak mungkin selama berada di Makkah. Hal ini sejalan sebagaimana yang dikatakan Rasullulah SAW : Hai Bani abdi Manaf janganlah kamu melarang seseorang thawaf di Baitullah ini dan di saat manapun dia suka baik malam maupun siang hari”. (H.R. Ashabus Sunan).

Dari kejauhan areal thawaf seperti lukisan mozaik. Manusia menyemut bergerak ke satu arah. Sambil mengelilingi ka’bah mulut dan hati tak henti berdoa. Pinggiran areal thawaf yang biasanya dipinggirnya dipasang karpet untuk orang shalat 3 - 4 shaf sudah tidak terpasang lagi. Jamaah yang thawaf penuh sampai ke pinggir-pinggirnya.
Ka’bah berdiri megah dikelingi kaum muslimin menganggungkan kebesaran dan keesaan Allah. Kaum muslimin tertib berada pada jalur yang semestinya dipergunakan untuk thawaf. Konon yang pertama yang memberi ubin di tempat thawaf adalah Abdullah ibn Zubair dengan garis tengah 5 meter. Lalu diikuti oleh bagian lain sampai tahun 1375 H, dengan bentuk oval saling berhadapan 40-50 meter. Kini lantai tempat thawaf dibuat dari marmer dingin yang dapat menahan panasnya matahari, sehingga memungkinkan orang thawaf tanpa alas kaki di bawah terik matahari tanpa kepananasan.

Perlahan kami menjejakan kaki di area thawaf berbaur dengan jamaah lainnya. Posisi kami sudah melewati dari lampu hijau. Untuk amannya kami ikuti arus manusia sampai di lampu hijau tempat diawalinya thawaf. Berjalan mundur dengan melawan arus akan bertabrakan dengan jamaah yang sedang thawaf. Selain mengganggu kekhusuan juga membahayakan. Sampai di lampu hijau kami melakukan istilam (salam) yaitu melambaikan tangan kemudian mengecupnya seraya mengucapkan kalimat “Bismillahi…Allahu Akbar…”.
Dalam kepadatan manusia, kami mulai melakukan ibadah thawaf qudum. Jubelan manusia menumbuhkan rasa khawatir. Namun perasaan itu kubuang jauh karena yakin bahwa thawaf adalah hak yang memiliki batasan. Hak setiap muslim adalah melakukan thawaf 7 kali putaran berlawanan dengan arah jarum jam. Maka ketika selesai 7 putaran, hak tersebut akan berpindah ke orang lain.

Putaran pertama kami masih berada di ujung lingkaran. “Ya Allah aku thawaf karena beriman kepadaMu, membenarkan kitabMu, memenuhi janjiMu dan mengikuti sunah nabiMu Muhammad SAW. Ya Allah sesungguhnya kepadamu aku mohon ampunan, kesehatan, perlindungan yang kekal dalam menjalankan agama, di dunia dan di akhirat dan beruntung memperoleh surga serta terhindar dari api neraka”.

Perlahan kami berjalan, mulai di rukun yamani aku membaca doa sapu jagat “Rabbanaa aatinaa fiddun yaa hasanatan wa fil aakhirati hasanatan wa qinaa azaabannaar, Wahai Tuhan berilah kami kebaikan dunia dan akhirat dan hindarkanlah kami dari siksa neraka. Masukanlah kami ke dalam surga bersama orang-orang yang berbuat baik”. Setelah itu kami melafadzkan sebanyak-banyaknya takbir, tasbih dan tahmid.
Aku kembali cengeng, keharuan yang menyesak dada telah mendorong butiran-butiran air mata meleleh di sepanjang pipiku. Suamiku tak kurang terharunya. Kedua tangannya mendekap seluruh badanku dari belakang. Walaupun tidak dapat melihat wajahnya, namun bibirnya yang tertempel di telingaku terisak perlahan.

Pertengahan putaran pertama, langkah kami agak dipercepat. Putaran kedua kami mulai mendekat ke arah ka’bah dan mulai mengelilingi ka’bah diantara bangunan tersebut dan maqom Ibrahim.

Desakan manusia makin menggelora. Jamaah dari berbagai belahan bumi bersatu dalam satu pusaran dengan membawa karakter bangsanya masing-masing. Lautan manusia yang berjubel dari berbagai ras, menimbulkan perbedaan fisik yang cukup mencolok. Jamaah Indonesia lazimnya orang Asia memiliki tinggi sekitar 155 – 165 cm. Postur ini tampak kecil dibandingkan dengan jamaah berkulit hitam. Yang berasal dari Nigeria, Ghana, dan negeri afrika lainnya. Ciri-ciri umumnya : berbadan tegap dengan tinggi menjulang, baik laki-laki maupun perempuan. Ukuran dan tingga badan mereka membuatnya lebih leluasa dalam kerumunan. Beberapa kali kami terkurung dalam kerumunan mereka karenanya aku sering berjinjit meninggikan wajah agar dapat menghirup udara segar. Ketika dihadapkan situasi saling mendorong dengan sikutnya yang panjang dan kuat mereka tidak bergeming dalam pusaran lautan manusia. Sikut-sikut orang berkulit hitam terkadang menyerempet muka jamaah yang lebih pendek. “Please...Dont push like that”, beberapa kali aku meminta mereka meninggikan sikutnya agar menjauh dari wajah kami. Mereka biasanya tersenyum dan mengangguk tanda mengerti apa yang diminta. Seorang jamaah Nigeria yang pernah bersisian shalat bersamaku mengaku bahasa inggris sebagai bahasa kedua di negara mereka.
Lain lagi kebiasaan jamaah Turki yang berseragam baju warna khaki. Mereka sedikit lebih tinggi dari orang Asia, tubuhnya yang besar tampak lamban namun begitu kuat. Dengan bahasa tubuhnya dan senyumnya mereka menularkan keramahan kepada jamaah lainnya. Pada saat thawaf mereka berkelompok membentuk barikade yang kokoh.
Kami lebih sering thawaf di areal dekat ka’bah. Dengan mendekati titik pusat tentunya jarak putaran akan lebih pendek. Kami agak menjauh mulai dari Rukun Yamanai sampai Hajar Aswad karena disitulah manusia saling mendorong, terutama bagi mereka yang ingin mencium Hajar Aswad.

Alhamdullilah....7 putaran hampir kuselesaikan. Mulai Rukun Yamani langkah diarahkan ke tepi. Pas di lampu hijau, kami sudah ada diujung area thawaf. Alhamdullilah ya Allah..... Perlahan kami kembali masuk barisan mencoba mendekati maqom Ibrahim untuk melaksanakan shalat sunat 2 rakaat.

Haji 2006 - Batu Surga Penopang Kaki Nabi Ibrahim AS...

Tempat shalat yang paling banyak dicari setelah thawaf dalam rangkaian prosesi ibadah haji ataupun umroh adalah shalat di maqom ibrahim. Awalnya, begitu mendengar kata maqom yang kubayangkan adalah kuburan. Ternyata, Maqom ibrahim bukanlah makam sang nabi. Maqam Ibrahim adalah batu yang dibawa oleh Nabi Ismail AS untuk tempat pijakan ayahandanya, Nabi Ibrahim takala mereka membangun ka’bah.
Aslinya tinggi batu hanya 20 cm. Dengan kekuasaan Allah, batu tersebut dapat bertambah tinggi atau kembali rendah sesuai keperluan sehingga nabi Ibrahim mampu menjangkau bagian-bagian ka’bah yang hendak dibangunnya.

Diriwiyatkan bahwa Nabi Ismail lahir dari perkawinan Nabi Ibrahim dan Siti Hajar. Kecemburuan Sarah istri pertamanya, membuat Nabi Ibrahim mengungsikan Siti Hajar dan Ismail keluar dari Palestina menuju Makkah. Dalam suatu kunjungan ketika menengok anak dan istrinya.

Nabi Ibrahim bertanya kepada putranya. “Wahai Ismail sesungguhnya Allah SWT memberiku perintah”.
“Lakukankah apa yang diperintahkan TuhanMu kepadamu”, ujar Ismail.
“Maukah engkau membantuku?” Tanya Nabi Ibrahim
“Aku akan membantumu”, demikian Nabi Ismail menyanggupi.
“Sesungguhnya Allah memerintahkanku untuk membuat rumah ibadah disini (sambil menunjuk anak bukit sedikit lebih tinggi dari tanah sekitarnya)”.

Maka dimulailah pembangunan ka’bah. Nabi Ismail yang mengangkat batu, sementara sang ayah memasangnya. Ketika dinding mulai tinggi, Nabi Ibrahim mengambil batu untuk pijakan yang kemudian dikenal dengan nama maqom Ibrahim. Setiap Nabi Ibrahim memasang pondasi yang lebih tinggi, atas kuasa Allah batu tersebut ikut meninggi. Begitu juga sebaliknya. Setelah itu mereka thawaf mengelilinginya

Sering melintas di persis di maqam Ibrahim, rasanya syaitan sering menggoda untuk mengusapnya. Namun aku menahan diri karena masih berada dalam larangan ihram. Namun terusik rasa penasaran saat melintasi maqom Ibrahim aku mengintip ke dalamnya. Batu tersebut menampakan bekas jejak kaki yang memiliki kedalaman 10 cm dan 9 cm, dengan panjang 22 cm dan lebar 11 cm. Tidak tampak bekas jari-jari karena maqam ini dulunya terbuka. Jejak jari hilang dari seringnya batu tersebut disentuh orang.

Konon jejak ini sama persis dengan jejak Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian diperkirakan tinggi nabi Ibrahim sama dengan tinggi kebanyakan manusia sekarang ini. Kini, atas perintah Raja Fahd ibn Abdul Azis, maqam Ibrahim disimpan terlindung rangka tembaga, bagian dalamnya dilapisi emas dan bagian luarnya dilapisi kaca setelal 10 mm tahan panas dan anti pecah. Penyangganya dari marmer putih dengan dilapisi granit berwarna kebiru-biruan sebagai penanda bagian paling bawah.

Beberapa keutamaan yang dimiliki maqom Ibrahim antara lain : Pertama, dijadikannya sebagai tempat shalat. Dalam Al Qur’an disebutkan “Dan jadikanlah sebagian maqam ibrahim tempat shalat (QS Al Baqarah 2 ; 121). Kedua, maqam Ibrahim bersama Hajar Aswad merupakan batu yang berasal dari surga. Ketiga, tempat dikabulkannya do’a. Oleh karenanya kami lebih menginginkan untuk melakukan shalat di belakang maqam.

Arus manusia di sekitar maqam berjejal-jejal oleh jamaah yang sedang shalat maupun jamaah yang ingin mengusapnya. Situasi seringkali membahayakan jika memaksa untuk melakukan shalat dipinggirnya. Alhamdullilah, kesempatan baik terbuka takala melihat seorang askar yang masih muda berjaga-jaga di sekitarnya. Dalam pusaran manusia kami menyelinap di punggung askar tersebut. Kemudian bergeser di depannya. Inilah tempat yang paling aman karena jamaah relatif tertib dibawah pengawasan askar. Dengan menganggukan kepala meminta ijin, kamipun mulai melakukan shalat dan berdoa sepuasnya. “Ya Allah sesungguhnya Engkau maha mengetahui rahasiaku yang tersembunyi dan amal perbuatanku yang nyata, maka terimalah ratapanku. Engkau maha mengetahui keperluanku, kabulkankanlah permohonanku. Engkau maha mengetahui apapun yang terkandung dalam hatiku, maka ampunilah dosaku. Ya Allah, aku ini mohon padaMu iman yang tetap yang melekat terus di hati, keyakinan yang sungguh-sungguh sehingga aku dapat mengetahui bahwa tiada suatu yang menimpa aku selain dari yang Engkau tetapkan bagiku. Jadikanlah aku rela terhadap apapun yang Engkau bagikan padaku. Wahai Tuhan yang maha pengasih dari segala yang pengasih. Engkau adalah pelindungku di dunia dan di akhirat. Wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkanlah kami ke dalam orang-orang yang shaleh. Ya Allah janganlah Engkau biarkan di tempat kami ini suatu dosa apapun kecuali Engkau ampunkan, tiada satu kesusahan hati kecuali Engkau lapangkan, tiada suatu hajat keperluan kecuali Engkau penuhi dan mudahkan, maka mudahkanlah segenap urusan kami dan lapangkanlah dada kami, terangilah hati kami dan sudahilah semua amal perbuatan kami dengan amal yang shaleh. Ya Allah matikanlah kami dalam keadaan muslim, hidupkanlah kami dalam keadaan muslim dan masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh tanpa kenistaan yang fitrah.”

Ditengah takbir-takbir dan do’a jamaah yang berkumandang, kami berdoa dengan kesungguhan dan kepasrahan. Kami manusia kerdir yang seringkali terjebak pada rasa sombong dan jumawa terasa begitu kerdil di hadapan Allah. Yang kami lakukan hanyalah taubat nasuha memohon pengampunan atas dosa-dosa yang telah dilakukan. Air matapun kembali terburai membasahi muka kami. Semoga Allah mengabulkan dan memperkenankan.
Do’a kami terusik takala askar tersebut menyentuhkan tongkatnya ke badanku dan memerintah dengan bahasa yang tidak kumengerti. Kami paham pasti meminta untuk menyelesaikan doa dan bergantian dengan jamaah lainnya. Maka kamipun pergi menuju tempat air zamzam tanpa mengusap maqom sebagaimana yang dilakukan orang. Nabi hanya mengajarkan bahwa mengusap dan mencium hanya berlaku untuk Hajar Aswad dan Rukun Yamani, sementara keutamaan maqom Ibrahim diperoleh apabila kita menjadikannya tempat shalat.

”Demi dzat yang memeliharaan kesempurnaan ibadah hambaNya, kami berlindung padamu dari perbuatan yang berlebihan atau melebih-lebihkan”.